Mohon tunggu...
Umbu Tagela
Umbu Tagela Mohon Tunggu... Guru - guru

olahraga

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Quo Vadis Kemahirwacanaan dalam Pendidikan

19 Agustus 2024   06:12 Diperbarui: 19 Agustus 2024   06:13 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

QUO VADIS KEMAHIRWACANAN  DALAM  PENDIDIKAN 

 

Oleh: Umbu Tagela

 Pengajar di  FKIP UKSW Salatiga

  • Secara global dapat di saksikan sejumlah fenomena. Perubahan cara kerja dan gaya hidup pada umumnya yang semakin  pesat kelajuannya akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merebak sangat cepat kesegenap permukaan bumi melalui teknologi telekomunikasi yang semakin canggih. Tata nilai yang mapan dilanda oleh nilai-nilai yang baru yang mengiringi perubahan cara bekerja. Disamping membantu masalah serta teknologi yang berkembang pesat juga menimbulkan permasalahan baru yang tidak kalah rumitnya, mulai dari penggerogotan lapisan ozon sampai dengan pergulatan etis yang menyertai kemampuan rekayasa genetik baik yang di terapkan kepada tanaman dan hewan, apalagi kepada sistem ragawi manusia.
  •              Penting untuk disimak dalam hubungan ini adalah bahwa perbuatan perorangan ternyata berdampak global. Gejala dan peristiwa yang berdampak global bermula dari perbuatan individu. Peristiwa-peristiwa besar (seperti pendekatan Amerika, Cina  dan Rusia) dimulai dengan visi dan gagasan serta prakarsa  dan keuletan individual, sementara dengan teknologi embaran (information), gagasan serta peristiwa dapat dengan sangat cepat menyebar luas sehingga memengaruhi lebih banyak individu-individu lain dengan dampak yang fenomena. Ditinggalkannya sistem pemerintahan komunis di negara-negara Eropah Timur merupakan contoh yang mutakhir. Penggerogotan ozon terjadi akibat pemanfaatan teknolgi pendinginan dan aerosol yang menyajikan kenyamanan hidup sementara pengotoran lingkungan, di samping oleh industri, juga terjadi di banyak bagian dunia oleh individu-individu yang belum memiliki sistem pembuangan yang memadai di samping terpaksa menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk keperluan sehari-hari. Oleh karena itu mereka yang lebih pesimis bahkan secara lugas menyatakan bahwa "people polute"-lebih banyak manusia bearti lebih banyak polusi yang memerosotkan mutu lingkungan.
  •             Oleh karena itu, penanganan masalah-masalah yang bersifat global itu  pada dasarnya memsyaratkan perubahan acuan didalam pengambilan keputusan dan tindakan oleh setiap individu di dalam arti yang sebenar-benarnya. Artinya, pemecahan permasalahan yang bersifat global itu harus di mulai penanganannya dari tingkat individual, yang mengisyaratkan pentingnya peranan potensial, dan sekaligus tanggung jawab, pendidikan untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang di tandai oleh partisipasi yang di galakkan oleh kepedulian yang dibangkitkan oleh sensivitas serta persetujuan yang bertolak dari pemahaman ("informed consent") yang di berikan berdasarkan kemampuan berpikir mandiri dan perasaan tanggung jawab oleh segenap individu warganegara. Dengan perkataan lain, salah satu ciri khas abad embaran ( informasi ) erat dengan individualisasi yaitu dengan keberjayaan".... individual (awareness and responsibility against the anonymity (and indifference) of the collective" (Naisbitt dan Aburdene, 1990. Kesadaran individual bahwa umat manusia adalah "penumpang senasib" pesawat ruang angkasa maha besar yang bernama bumi itu telah semakin meningkat. Oleh karena itu, pendidikan ditantang untuk memberikan urunan di dalam mere - ka masa depan.
  • Merujuk uraian di atas dapat di angkat 2 karakteristik khas yang dapat di gunakan untuk melukiskan manusia indonesia masa depan yang di kehendaki yaitu kepekaan, kemandirian, dan tanggung jawab, yang tentu saja penjabaran, pengembangan serta penerapannya selalu berpijak pada landasan pandangan hidup bangsa, yaitu pancasila. Kepekaan berarti kemampuan yang tajam-dalam dalam arti kemampuan berpikir maupun kemudahtersentuhan hati nurani-didalam melihat atau merasakan segala sesuatu, mulai dari kepentingan orang lain, termasuk mereka yang akan di lahirkan, sampai dengan kelestarian lingkungan yang merupakan gubahan Sang Maha Pencipta (Cf. Emil Salim, 1981). Kemandirian  berarti kemampuan menilai hasil dan proses berpikir sendiri di samping menilai hasil dan proses berpikir orang lain serta keberanian bertindak sesuai dengan apa yang dianggap benar dan perlu. Sedangkan tanggung jawab berarti kesediaan untuk menerima segala konsekuensi keputusan serta tindakan sendiri.
  • Ketiga ciri operasional tersebut merupakan persyaratan setiap individu warga masyarakat, untuk mampu bertahan-baik sebagai individu, maupun bersama dengan individu-individu lain, sebagai masyarakat-didalam badai perubahan yang, di negara kita, secara serempak dibawa oleh revolusi industri dan revolusi embaran lain. Oleh karenanya, maka ketiga sasaran operasional tersebut harus terjadi sebagai salah satu acuan dasar penting didalam  merancang serta melaksanakan program pendidikan nasional, yang tidak semata-mata merupakan penerusan nilai-nilai luhur warisan nenek moyang, melainkan penerjemahan nilai-nilai tersebut kedalam latar masa kini dengan antisipasi masa depan secara bermakna bagi setiap peserta didik. Dari sudut pandangan ini, upaya mencerdaskan kehidupan bangsahanya mungkin membuahkan hasil yang di kehendaki, apabila pendidikan terhayati oleh peserta didik sebagai kesempatan untuk "....answering questions, questioning answers, and questioning questions" (Hutson, dkk. 1988) sehingga kelas terwujud sebagai "a vigorous community of learners where intellectual authority derives from evidence and argument and not from assertion" (White, 1987). Oleh karena itu maka apabila di simpulkan, ciri utama dari manusia dan masyarakat masa depan yang di maksud dapat di rumuskan sebagai (a) manusia yang mendidik diri sendiri sepanjang hayat, dan (b) masyarakat belajar yang terbuka terhadap perubahan, namun memiliki pandangan hidup yang mantap sehingga tidak kehilangan jati dirinya di dalam mengarungi badai perubahan yang semakin melaju.

KEMAHIRWACANAAN SEBAGAI TUNTUNAN ABAD EMBARAN

Salah satu kemampuan penting yang di perlukan untuk mengelola embaran (information) bagi penetapan pendirian serta pengambilan keputusan dan tindakan oleh individu adalah kemahirwacanaan atau kemampuan "literate thinking" (Wells, 1990). Dikaitkan dengan bidang wacana, Gordon Wells mendefinisikan "literacy"menggunakan simbol-simbol pesan dalam bentuk tulisan. Sebaliknya, ia mengartikannya sebagai kemampuan bergaul dengan wacana sebagai representasi pengalaman, pikiran perasaan dan gagasan secara tepat sesuai tujuannya. Demikinlah, ia memilah niat penciptaan wacana itu menjadi 3 kelompok yaitu sebagai (a) alat untuk memengaruhi tindakan secara langsung, yang dapat mengambil rentangan wujud dari pesan tertulis dari seorang ibu rumah tangga yang terpaksa meninggalkan rumah untuk sesuatu keperluan sehingga rumah menjadi kosong kepada putera/i nya yang belum pulang dari sekolah ("Kunci di Bu Don" sekarang via whatshap) sampai dengan paduan pengoperasian perangkat lunak yang rumit ("3.30 MS-DOS Manual"), (b) sedia informasi yang dapat dirujuk sewaktu-waktu sesuai keperluan, juga dengan rentangan ragam yang luas dengan resep pembuatan rendang didalam majalah khas untuk khalayak wanita sampai dengan "Encyclopedia Britanica", dan (c) hasil kajian ("considered interpretation") penulis tentang aspek tertentu, baik riil maupun imajiner, yang berkenaan dengan pemikiran, perasaan, pilihan nilai serta pergaulatan batin lain juga di tampilkan dalam aneka wujud-paparan teoritik, sejarah, biografi, novel, puisi, dan drama.

Pergaulan ragam pertama dengan wacana menuntut modus fungsional, yang kedua mempersyaratkan modus informasional, dan yang ketiga di tandai pemikiran kritikal dan imajinatif yang dinamakan "literate thinking" sebagaimana dikemukakan sebelumnya  dengan istilah kemahirwacanaan. Baik menulis maupun membaca yang di lakukan dalam modus  kemahirwacanaan ditandai oleh kegiatan berpikir yang intens-penciptaan makna yang sangat mempribadi dengan mengarahkan segenap khasanah pengalaman menggauli gagasan melalui analisis dan sintesis, proses membandingkan dan mempertentangkan, serta pengakomodasian dan pengasimilasian. Membaca yang dilakukan didalam modus kemahirwacanaan ditandai oleh kemampuan menilai makna yang diberikan kepada wacana yang dibaca, sedangkan menulis yang dilakukan didalam modus kemahirwacanaan ditandai oleh kemampuan memanfaatkan wacana yang diciptakan untuk membaca dan menjernihkan makna berkenaan dengan permasalahan yang ditulis. Perwujudan kemampuan menilai proses serta hasil berpikir sendiri selain menilai proses serta hasil pikir orang lain yang merupakan karakteristik penting kemahirwacanaan didalam membaca maupun menulis inilah yang menandai kemandirian berpikir. Tanpa kemampuan berpikir secara mandiri tidak akan pernah ada kemerdekaan yang sebenarnya, sedangkan tanpa kemerdekaan, masyarakat yang demokratis tidak mungkin berfungsi.

Rasanya, pembentukan kemampuan serta kebiasaan berpikir kritikal dan imajinatif baik yang di terapkan di dalam modus "menulis" maupun "membaca" yang dinamakan kemahirwacanaan inilah yang diamanatkan sebagai salah satu perwujudan penting upaya "mencerdaskan kehidupan bangsa" dan bukan kegesitan mengingat potongan-potongan informasi miskin makna sebagaimana dituntut didalam acara "cerdas cermat" dan sejenisnya. Kemampuan dan kebiasaan mengelola embaran yang bertumpu pada kemahirwacanaan inilah yang akhirnya merupakan "cutting edge" yang akan sangat menentukan "survival" kita sebagai bangsa, baik di dalam menangkal kemungkinan ancaman yang akan datang dari luar, maupun yang justru berada di tengah-tengah kita, bahkan yang bersembunyi didalam diri kita sendiri dalam bentuk kebodohan dan keterbelakangan akibat keenggaan belajar didalam wabah ledakan embaran. Dengan perkataan kata lain, sebagaimana disyaratkan didalam, pembentukan kemahirwacanaan juga bertolak dari pilihan nilai.

IMPLIKASI BAGI PENDIDIKAN

Acuan Konseptual Sistem Persekolahan

Penyelenggaraan pendidikan sebagai pemberian embaran (informasi) dengan sistem tagihan yang terlalu mementingkan pencapaian belajar jangka pendek dalam bentuk potongan-potongan embaran yang nyaris hampa makna yang menggejala di lingkungan sekolah kita dapat di lacak pada kesenjangan yang terdapat antara rumusan tujuan utuh pendidikan dengan jabaran operasionalnya yang merupakan upaya pencapaiannya melalui program pengajaran yang dilaksanakan dari hari ke hari di sekolah. Jelasnya, meskipun tujuan rumusan utuh pendidikan itu telah benar-benar secara lengkap merangkum ciri-ciri individu-warganegara yang dikehendaki-bahkan ada yang secara bergurau mengatakan bahwa tujuan pendidikan yang di cantumkan dalam UUSPN  sebenarnya melukiskan malaikat, bukan manusia yang hidup di alam fana ini-akan tetapi penerjemahannya ke dalam program pengajaran yang operasional cenderung disertai oleh pengebirian-pengeberian. Di samping faktor-faktor lain yang saling berhubungan secara rumit, pendekatan Pengembangan Program Sistem Instruksional, yang sangat kuat dipengaruhi oleh penekanan berlebihan kepada tujuan berbentuk perilaku yang di cetuskan oleh Robert Mager (Mager 1975) agaknya ikut bertanggungjawab terhadap terjadinya pengebirian-pengebirian pesan kependidikan yang utuh menjadi serentetan pemberian informasi miskin makna, termasuk bagi mata pelajaran yang kehadirannya bertolak dari niat pembentukan afektik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun