Mohon tunggu...
irawan boma
irawan boma Mohon Tunggu... lainnya -

pengamat kehidupan, praktisi revitalisasi untuk sustainability (lingkungan) hidup, saya sungai, saya suka hujan, mendung, guntur, namun paling suka cahaya yang menyembul dari balik awan tebal.

Selanjutnya

Tutup

Drama

Setan Silau

19 Mei 2012   18:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:05 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Yang aku tidak mengerti, kenapa banyak dari kita yang tidak mengenal lagi malu, tata krama, sopan santun, sikap bertanggung jawab dan ksatria, kita berani kalau kita sedang bergerombol, kita berani kalau kita sedang pegang pistol, ada yang berani bila dalam pengaruh alkohol dan atau obat-obatan lainnya, cecunguk.

Makin berkuasa, makin besar ketidak-maluannya, mungkin karena kemaluannya tidak terlalu besar, gembar-gembor seenak udelnya, bicara semaunya, seolah yang mendengarkan tidak punya otak, tidak bernalar, kambing congek, Dori, itu lho, temannya bapaknya Nemo, karakter Disney di film Finding Nemo, yang ingatannya pendek, kita dikira Dori, pendek sekali ingatannya, sekarang diajak bicara, dua menit kemudian lupa, begitu kita dikiranya, kutuk, kita dikutuk, kok mau ya?

From down to bottom, from bottom going up, bedanya dimana? Manusia, species kita hampir punah?”

“Bukannya kita over populated, kok punah?”, potongnya.

Matanya menatap sinis, senyumnya berhenti di sudut bibir.

“Manusia tidak bunuh, perkosa, anaknya sendiri, manusia tidak bunuh manusia, manusia itu sempurna, yang tidak manusia, bilang diri mereka tidak sempurna, maka semua kegiatan yang ada sekarang, semua kekacauan, semua kekisruhan, ketidak-jelasan, sms-an dijalan raya sembari mengemudi, baik motor atau mobil, jual anak, jual organ tubuh, jual tubuh, JELAS BUKAN MANUSIA!!! MONYET KAU!!! Lain kali kalau saya bicara jangan kau potong!”

Tak ada kata yang keluar dari pewawancara.

“Pikir, pepatah bilang – buah jatuh, tak jauh dari pohonnya, manusia ciptaan siapa?”

Masih tak ada kata yang keluar.

“Nah itu, yang bukan manusia bilang percaya sama Tuhan, sembah-sembah, tapi korupsi juga, manusiawi – katanya, kita kan manusia, jelas tidak sempurna,

pergi sembah Tuhan, minta supaya kaya,

pergi sembah Tuhan, minta – 'tolong dong, biar si anu dapat balasan yang setimpal',

pergi sembah Tuhan, minta supaya dikasih tahu nomer togel,

pergi sembah Tuhan, kasih duit sama dukun santet,

pergi sembah Tuhan, kasih makan anak duit haram,

pergi sembah Tuhan, kasih kesaksian palsu, diatas Kitab Tuhan lagi,

pergi sembah Tuhan

pergi sembah Tuhan,tuhantuhantuhantuhantuhantuhantuhantuhantuhantuhantuhantu.”

“Maaf, apakah dengan demikian, bapak menyebut,” wajah pewawancara terdaftar sebagai wajah ragu, setengah percaya diri, setengah meringis,

“...diri bapak sempurna?”,

lepas nafas sang pewawancara.

Tawa lepas dari seberang.

“Dari tadi baru kali ini pertanyaan kau itu berarti,”

Pewawancara meringis beneran.

“Seturut kehendakNya, itu jawabannya, kau artikan sendiri, caci makiku ini, sama redaktur kau pasti dibelok sana-sini, mereka semua sudah terlanjur bilang aku ini setan, jadi, jadilah aku setan, sama-kan, kalau ada perkara, pesanannya bilang – biar bagaimana pun, stop sampai disini, capnya jelas, ya sudah, fakta yang ga pas, jadi pas juga-kan?

Mau dibawa kemana kita ini sama cecunguk-cecunguk yang katanya manusia, yang katanya berke-Tuhan-an Yang Maha Esa, yang katanya berperikemanusiaan yang adil dan beradab, yang katanya bersatu, yang katanya, dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, yang katanya, berkeadilan sosial?

Kalau kita sadar akan dasar pembentukan adanya kita ini sebagai bangsa yang dasarnya seperti yang aku tadi sudah sebut, kalau kau tidak ngantuk, kau pasti ngerti apa yang aku bicarakan ini, dimana sadar adalah dasar, dan dasar dari semua adalah sadar, impian yang muluk - kata mereka yang mencemooh, lupa kalau kita berasal dari sebuah kesempurnaan, coba kau pikir sendiri, kau, punya anak kan?”

Pewawancara, menganggukkan kepalanya, artinya – ya, saya punya anak.

“Kau kasih makan apa anakmu? Kau kasih nasehat apa anakmu? Apa waktu dia bayi kau bisikkan ditelinganya – bapak kasih tau ya, kau itu manusia tidak sempurna, makanya bapak maklum kalau kau besar nanti, jadi sundal, jadi maling, jadi koruptor, jadi cecunguk, preman pasar, tengkulak, rentenir, tukang tipu – begitu ngga?”

Pewawancara, menggelengkan kepalanya, artinya – tidak, saya tidak membisikkan itu pada anak saya.

“Kalau kau saja tidak seperti itu, apalagi Tuhan, jadi yang bilang manusia tidak sempurna itu siapa?”

Pewawancara, bukan atas usahanya, tapi auto pilot, dahinya berkerut.

“Jangan kau pikir itu, tambah botak kau nanti, Kaliuga, teriak orang yang mengerti, susah, memang susah, sudah seharusnya demikian, kotak, penjara, kita semua yang buat, dunia, jangan bicara alam semesta, dunia saja, luasnya begitu luas, budaya, tata cara, suku, etnis, luas, tapi yang katanya manusia, menyempitkan sudut pandangnya sendiri, seperti kecoak, bagus kalau bisa seperti burung hantu, ada yang sengaja seperti anjing, jilat pantat, lidah keluar-keluar, yang penting dapat tulang, syukur-syukur dikasih steak sama majikannya.

Temanku pecinta anjing protes, katanya anjing itu binatang setia, kesetiaan langka, anjing masih bisa lebih setia, - aku tanya sama dia, lebih setia dari apa?

Karena temanku yang lain, rumahnya kemasukan maling, gara-gara – herder-nya disuap daging yang sudah dikasih obat bius.

Alasan ketidak-setiaan itu sama dengan alasan-alasan lain, alasan ya alasan, sama juga sama arti kata cukup, sama juga sama arti kata bahagia, sama juga sama arti kata – menurut hemat saya – bla...bla....bla...., opini, opini, seribu kepala, sembilan ratus sembilan puluh delapan alasan, yang dua bersaudara, punya kepentingan yang sama – hajar bleh.”

Dahi pewawancara makin berkerut.

“Sudahku bilang, jangan kau pikir, tambah lebar landasan pesawat kau nanti, mengkilap kayak bola boling, silauuuuuuuu,maaaaannnnnnnnn!!!

Kayak orang yang pakai dasi, silauuuuuuuuuuu, jadi presenter, pembawa berita, kok beropini, pembawa atau pembaca berita ya baca berita, kok beropini, kadang ngotot lagi.”

Pewawancara, mulutnya menganga, lalu sadar, otaknya kering.

“Sudahlah, besok kau kembali lagi, hari ini sudah dululah.”

Duduk di sofanya, pewawancara meneguk habis air putih dingin yang baru diambilnya dari lemari pendingin, mengambil remote control, menyalakan TV-nya, lalu tertawa,

“Silauuuuuuuuuuu man....” teriaknya, sembari mengusap bagian licin dikepalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun