Mohon tunggu...
irawan boma
irawan boma Mohon Tunggu... lainnya -

pengamat kehidupan, praktisi revitalisasi untuk sustainability (lingkungan) hidup, saya sungai, saya suka hujan, mendung, guntur, namun paling suka cahaya yang menyembul dari balik awan tebal.

Selanjutnya

Tutup

Drama

Setan Silau

19 Mei 2012   18:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:05 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Dari tadi baru kali ini pertanyaan kau itu berarti,”

Pewawancara meringis beneran.

“Seturut kehendakNya, itu jawabannya, kau artikan sendiri, caci makiku ini, sama redaktur kau pasti dibelok sana-sini, mereka semua sudah terlanjur bilang aku ini setan, jadi, jadilah aku setan, sama-kan, kalau ada perkara, pesanannya bilang – biar bagaimana pun, stop sampai disini, capnya jelas, ya sudah, fakta yang ga pas, jadi pas juga-kan?

Mau dibawa kemana kita ini sama cecunguk-cecunguk yang katanya manusia, yang katanya berke-Tuhan-an Yang Maha Esa, yang katanya berperikemanusiaan yang adil dan beradab, yang katanya bersatu, yang katanya, dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, yang katanya, berkeadilan sosial?

Kalau kita sadar akan dasar pembentukan adanya kita ini sebagai bangsa yang dasarnya seperti yang aku tadi sudah sebut, kalau kau tidak ngantuk, kau pasti ngerti apa yang aku bicarakan ini, dimana sadar adalah dasar, dan dasar dari semua adalah sadar, impian yang muluk - kata mereka yang mencemooh, lupa kalau kita berasal dari sebuah kesempurnaan, coba kau pikir sendiri, kau, punya anak kan?”

Pewawancara, menganggukkan kepalanya, artinya – ya, saya punya anak.

“Kau kasih makan apa anakmu? Kau kasih nasehat apa anakmu? Apa waktu dia bayi kau bisikkan ditelinganya – bapak kasih tau ya, kau itu manusia tidak sempurna, makanya bapak maklum kalau kau besar nanti, jadi sundal, jadi maling, jadi koruptor, jadi cecunguk, preman pasar, tengkulak, rentenir, tukang tipu – begitu ngga?”

Pewawancara, menggelengkan kepalanya, artinya – tidak, saya tidak membisikkan itu pada anak saya.

“Kalau kau saja tidak seperti itu, apalagi Tuhan, jadi yang bilang manusia tidak sempurna itu siapa?”

Pewawancara, bukan atas usahanya, tapi auto pilot, dahinya berkerut.

“Jangan kau pikir itu, tambah botak kau nanti, Kaliuga, teriak orang yang mengerti, susah, memang susah, sudah seharusnya demikian, kotak, penjara, kita semua yang buat, dunia, jangan bicara alam semesta, dunia saja, luasnya begitu luas, budaya, tata cara, suku, etnis, luas, tapi yang katanya manusia, menyempitkan sudut pandangnya sendiri, seperti kecoak, bagus kalau bisa seperti burung hantu, ada yang sengaja seperti anjing, jilat pantat, lidah keluar-keluar, yang penting dapat tulang, syukur-syukur dikasih steak sama majikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun