Mohon tunggu...
irawan boma
irawan boma Mohon Tunggu... lainnya -

pengamat kehidupan, praktisi revitalisasi untuk sustainability (lingkungan) hidup, saya sungai, saya suka hujan, mendung, guntur, namun paling suka cahaya yang menyembul dari balik awan tebal.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kalimat Langka - "Terima Kasih"?

14 November 2011   10:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:41 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Awal-awal saya menetap di Jakarta, saya kerap kali harus mengulang kalimat, "TERIMA KASIH", seperti suatu kali saya sedang memesan makan malam di daerah Pecenongan, saya pesan ini, itu, minum ini, itu, lalu setelah semua terkonfirmasi,

saya bilang, "Terima Kasih Bang..."

"Ya...bagaimana?" tanya si pelayan kembali, seolah tidak terlalu mendengar atau mungkin salah mendengar apa yang harusnya ia dengar.

"Terima Kasih."

"Oooo...ya..." jawab pelayan tadi.

Lalu, masih ditempat yang sama, pelayan yang lain mengantarkan pesanan minuman saya, setelah menaruhnya dimeja,

saya bilang, "Terima Kasih Bang..."

"Hah...?"

"Terima Kasih." kata saya kembali.

Si pelayan hanya tersenyum dan mengangguk, tapi matanya seperti mencari jawaban.

Kejadian yang saya ceritakan ini berlangsung diawal saya menetap di Jakarta, pertengahan 1997, dan sampai sekarang pun bukannya tak sering saya mengalami hal yang serupa, begitu langka-kah kita mengucapkan kata "Terima Kasih" itu, sehingga sering kali asing terdengarnya?

Sampai sekarang saya terus "bertahan" untuk tetap mengucapkan kalimat itu, apa pun keadaannya, serba sulit memang, ada orang yang mengucapkannya tapi sama sekali tak mengerti makna kalimat yang diucapkannya itu, "Terima Kasih" kehilangan makna, karena "Terima Kasih" itu program kalimat doktrin, yang harus dilakukan sambil menunduk sewaktu tamu pergi keluar, wajib hukumnya,

jadi bukan dilandaskan makna sebenarnya dari "Terima Kasih" sudah datang ke restoran kami, karena kalian datang ke restoran kami, bos kami bisa terus berusaha, dengan demikian bos kami dapat menggaji kami, "Terima Kasih"!

Itu restoran, coba saja pergi ke rumah sakit,yang katanya unit pelayanan kemanusiaan yang baik, kita jangan bicara hotel ya, apalagi yang bintang 5, atau diamond, kalau di hotel macam ini , "Terima Kasih" itu bukan wajib lagi, tapi tercatat dalam pajak pelayanan yang jelas (Ha Ha Ha).

Di rumah sakit, sudah bayar mahal perawatnya mahal senyum, boro-boro "Terima Kasih", malah katanya, kita yang harus terus menerus bilang "Terima Kasih" karena kita yang dilayani, lha kita bayar-kan?Bingung-kan kalau sudah begini, tulusnya kemana coba?Pak Tulus ayah sahabat saya meninggal, orang yang tidak hanya bernama Tulus, tapi tulus juga dihatinya, meninggal karena kecelakaan, ditabrak saat bersepeda pagi oleh anak SMA yang sama sekali tidak mengerti kata "Terima Kasih" dibelikan motor untuk sekolah tapi dipakai untuk kebut-kebutan, orang tua empot-empotan bayar kreditan, "Terima Kasih"!

Saya juga pernah menelusuri perilaku mereka yang "kata"nya tidak mampu mengekspresikan perasaan, "Terima Kasih" atau gratifikasi juga termasuk didalamnya, begitu introvert-nya mereka , kadang bentuk terima kasih itu bisa berbagai macam, misalnya seorang pelukis/seniman yang notabene "sah" berperilaku tak lazim,

monyet, saya tak mau terjebak di istilah lazim, tak lazim, normal, tak normal, saya tidak mengerti lagi arti kata normal, karena apa yang dulu pernah dianggap normal sekarang tidak lagi begitu, apa yang dulu dianggap tidak normal sekarang juga tidak lagi begitu, jadi lupakan lazim tidak lazim, normal tidak normal,

kembali lagi soal gratifikasi tadi, seorang seniman, pelukis misalnya, tak mampu berucap "Terima Kasih", karena memang semua perasaannya telah ia tuangkan dalam bentuk lukisan, maka pada sang sponsor atau yang ia anggap berjasa, sebuah lukisan ia persembahkan sebagai tanda "Terima Kasih".

"Gimana perasaan Pak Sapri, bukannya Pak Sapri yang mengajari Pak Dilah melukis cat air di kanvas, dengan segala trik dan metoda, tapi Pak Dilah yang mengakuinya dimuka dunia? Diwawancarai disana dan disini sebagai pioneer, gimana coba perasaan Pak Sapri?" tanyaku.

"Kenapa nanya gitu?"

"Saya sedang belajar mengatasi perasaan macam itu?"

"Kalau percaya putaran Semesta, tidak ada yang baru di dunia ini, semua bentuk pengulangan, karma, yang ini begini, yang itu begitu, ya masing-masing mengemban tanggung jawabnya sendiri, kita bersyukur saja, kalau tuntut menuntut sih bisa, tapi mending uangnya dipakai untuk betulin mobil itu tuh...yang mangkrak, wong kalau mau dirunut ya bukan aku juga yang pertama, aku ini kan coba-coba, eh bisa.....ya otak yang dipakai untuk coba-coba ini kan yang buat yang Di Atas-toh, jadi ya bukan aku juga-to..."

"Amin...terima kasih Pak Sapri, sudah berbagi."

"Tapi orang macam Dilah itu ya memang, cecunguk!"

Lalu kita berdua tertawa meski jarak memisah ribuan kilometer, tapi kemudian Pak Sapri menjelaskan bahwa ia tidak dendam pada Dilah, malah ia ber"Terima Kasih" pada Dilah, karena cat air di kanvas tidak memenjarakan diri Pak Sapri sebagaimana cat air dikanvas telah memenjarakan Dilah dalam berkarya.

Sayangku bilang, "Dalam lubuk hati yang paling dalam, Dilah pasti gelisah, dunia mungkin menyanjungnya, tapi dia, Sapri dan Dia, tahu kebenaran yang sebenarnya."

Pernyataan sayangku menyejukkan, selalu.

Tapi menurutku orang macam Dilah, itu memang cecunguk.

Tapi kata dunia yang sekarang ini, dunia yang lupa ber"Terima Kasih", semua sah saja, pengkhianat jadi pemimpin itu OK, normal, Terima Kasih,

kalau orang benar dipinggirkan, Terima Kasih,

kalau yang berjuang benar lalu menjadi skeptis, Terima Kasih,

kalau karya bersama kita diakui menjadi karya tunggal oleh seorang tanpa berterima kasih, Terima Kasih!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun