Sampai sekarang saya terus "bertahan" untuk tetap mengucapkan kalimat itu, apa pun keadaannya, serba sulit memang, ada orang yang mengucapkannya tapi sama sekali tak mengerti makna kalimat yang diucapkannya itu, "Terima Kasih" kehilangan makna, karena "Terima Kasih" itu program kalimat doktrin, yang harus dilakukan sambil menunduk sewaktu tamu pergi keluar, wajib hukumnya,
jadi bukan dilandaskan makna sebenarnya dari "Terima Kasih" sudah datang ke restoran kami, karena kalian datang ke restoran kami, bos kami bisa terus berusaha, dengan demikian bos kami dapat menggaji kami, "Terima Kasih"!
Itu restoran, coba saja pergi ke rumah sakit,yang katanya unit pelayanan kemanusiaan yang baik, kita jangan bicara hotel ya, apalagi yang bintang 5, atau diamond, kalau di hotel macam ini , "Terima Kasih" itu bukan wajib lagi, tapi tercatat dalam pajak pelayanan yang jelas (Ha Ha Ha).
Di rumah sakit, sudah bayar mahal perawatnya mahal senyum, boro-boro "Terima Kasih", malah katanya, kita yang harus terus menerus bilang "Terima Kasih" karena kita yang dilayani, lha kita bayar-kan?Bingung-kan kalau sudah begini, tulusnya kemana coba?Pak Tulus ayah sahabat saya meninggal, orang yang tidak hanya bernama Tulus, tapi tulus juga dihatinya, meninggal karena kecelakaan, ditabrak saat bersepeda pagi oleh anak SMA yang sama sekali tidak mengerti kata "Terima Kasih" dibelikan motor untuk sekolah tapi dipakai untuk kebut-kebutan, orang tua empot-empotan bayar kreditan, "Terima Kasih"!
Saya juga pernah menelusuri perilaku mereka yang "kata"nya tidak mampu mengekspresikan perasaan, "Terima Kasih" atau gratifikasi juga termasuk didalamnya, begitu introvert-nya mereka , kadang bentuk terima kasih itu bisa berbagai macam, misalnya seorang pelukis/seniman yang notabene "sah" berperilaku tak lazim,
monyet, saya tak mau terjebak di istilah lazim, tak lazim, normal, tak normal, saya tidak mengerti lagi arti kata normal, karena apa yang dulu pernah dianggap normal sekarang tidak lagi begitu, apa yang dulu dianggap tidak normal sekarang juga tidak lagi begitu, jadi lupakan lazim tidak lazim, normal tidak normal,
kembali lagi soal gratifikasi tadi, seorang seniman, pelukis misalnya, tak mampu berucap "Terima Kasih", karena memang semua perasaannya telah ia tuangkan dalam bentuk lukisan, maka pada sang sponsor atau yang ia anggap berjasa, sebuah lukisan ia persembahkan sebagai tanda "Terima Kasih".
"Gimana perasaan Pak Sapri, bukannya Pak Sapri yang mengajari Pak Dilah melukis cat air di kanvas, dengan segala trik dan metoda, tapi Pak Dilah yang mengakuinya dimuka dunia? Diwawancarai disana dan disini sebagai pioneer, gimana coba perasaan Pak Sapri?" tanyaku.
"Kenapa nanya gitu?"
"Saya sedang belajar mengatasi perasaan macam itu?"
"Kalau percaya putaran Semesta, tidak ada yang baru di dunia ini, semua bentuk pengulangan, karma, yang ini begini, yang itu begitu, ya masing-masing mengemban tanggung jawabnya sendiri, kita bersyukur saja, kalau tuntut menuntut sih bisa, tapi mending uangnya dipakai untuk betulin mobil itu tuh...yang mangkrak, wong kalau mau dirunut ya bukan aku juga yang pertama, aku ini kan coba-coba, eh bisa.....ya otak yang dipakai untuk coba-coba ini kan yang buat yang Di Atas-toh, jadi ya bukan aku juga-to..."