Rumah Bian memiliki kesan sederhana, namun mempunyai interior bangunan yang klasik sehingga membuatnya tampak mewah. "Udah selesai belum liat-liatnya? Sampe kagum gitu, rumahnya mempesona ya kayak yang punya, hehe."
"Diem ian. Berisik kayak tetangga aja. Udah kamu duduk, aku buatin teh anget dulu, teh sama gula kamu taruh mana? Jangan protes," Bian hendak mengomel, langsung bungkam.
"Adanya air keran aja. Nggak pernah buat teh. Hehe, udah nggak usah aneh-aneh kamu....." belum selesai Bian bicara aku segera keluar mencari ruang terdekat mencari gula dan teh.Â
Setelah dapat, aku bergegas kembali ke rumah Bian. "Ian, bentar ya...." aku melihat Bian tertidur di sofa ruang tamunya. Oke, sebelum Ia bangun aku membuatkannya teh, sambil menunggu air matang aku melihat-lihat isi lemarinya. Ada bubur instan, aku memasaknya sekalian. Setelah semua siap, aku membangunkan Bian.
"Ian bangun, minum dulu ada bubur juga." Bian bangun, terlihat agak pucat.Â
"Makasih loh, wah ada bubur juga, kamu nggak makan sekalian? Pulang aku anterin ya," Aku menggeleng. "Udah makan aja, gampang, nanti aku pulang naik taksi. Kamu beneran cuma kecapean kan Ian?"Â
"Nanti aku pesenin taksi langgananku, iyaaa cuma kecapean doang kok, cie khawatir. Hehe." Beruntung Bian sedang sakit, aku hanya menatapnya tajam.Â
Taksi datang, Bian sudah memesannya 5 menit lalu. "Pulang dulu ya Ian, kalo ada apa-apa langsung hubungi aku. Besok libur, aku usahain kerumahmu lagi."
"Kok tumben jam segini baru pulang Sell? Bian mana? Kamu pulang sendiri? Ibu melontarkan banyak pertanyaan setelah aku menutup pintu. "Tadi Sella ikut ekskul Voli sama Bian bu. Terus Bian tadi agak kecapean, aku anterin pulang deh. Besok juga kalo ada waktu aku mau ngecek keadaannya lagi bu."
"Syukur deh, kamu sendiri juga harus kesehatan. Â Udah sana mandi, ganti baju, terus makan. Udah ibu siapin makan malamnya. Ajakin bapak sekalian. " aku mengacungkan jempol.Â
Keesokan harinya, aku mampir ke rumah Bian, setelah dari pasar. Sebelumnya Ia bilang kalau dia belum baikan.Â