Mohon tunggu...
Ulya Rahma
Ulya Rahma Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Life

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Destiny

23 April 2020   04:19 Diperbarui: 23 April 2020   04:15 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Abian Adlan. Teman pertama sekaligus cinta pertamaku, yang mungkin tidak pernah diketahui oleh Bian. Kisah ini dimulai dengan tahun pertama ku di SMA. Di saat aku yang malas untuk berteman dengan siapapun, tapi Abian dengan lancarnya mengajakku untuk berteman.

Setiap saat tak henti-hentinya Abian selalu datang hanya untuk menjahiliku. Hingga suatu hari, aku benar-benar marah karena bercandanya yang sudah kelewatan. Yang juga mood ku kurang baik karena hasil nilai ulangan harian matematika ku mendapat nilai C+.

"Bian!!!! Kamu bisa urusin dirimu sendiri kan? Kamu kelewatan ian" segera aku pergi meninggalkan Bian yang melongo tak mengerti.

Aku menuju taman belakang sekolah untuk menenangkan diri. Seseorang tiba-tiba mengulurkan tangan dan memberikan ku minuman bersodara.  "Maaf" ucapnya kemudian. Bian. "Aku kelewatan ya, marahin aku sepuasnya deh," 

Aku menghela napas, "maaf juga, akunya juga lagi sensitif."

"Kalo mau cerita nggak papa. Mau dengerin kok aku." Ucap Bian sambil memberikanku minuman yang sudah ia buka. 

" ulangan matematika ku menurun, C+." Ucapku setelah meminum soda. 

Bian hanya tersenyum. "Udah jangan sedih, nanti aku ajarin." Ucapnya sambil mengacak-acak rambutku.

Satu tahun berlalu, yang artinya satu tahun pertemananku dengan Bian. Aku mulai terbiasa dengan kehadiran Bian. Dan juga kejahilannya yang masih berlanjut. Waktu itu aku belum jatuh cinta pada Bian.  Selama itu aku hanya memintanya untuk menjadi tutor matematika ku. Dan berhasil. Aku peringkat dua, dia satu. 

"Sell, ayo ke kantin, laper. Mau nge-bakso." Aku mengangguk dan mengikutinya ke kantin dan makan bakso bersama.

"Ian, kamu ambil ekskul apa?" Ucapku setelah menghabiskan bakso.

"Nggak tau, ngikut kamu ajalah. Tapi nggak mau yang bikin capek." Ku timpuk Bian dengan sumpit bekas bakso ku tadi. "Ngintil mulu ah. Ikutkelas masakaja sono, aku rencana mau ekskul Voli. Mulai Sabtu besok. Mau ikutan?" Bian merengut.

"Kok Voli sih. Tapi ya uda deh ngikut. Hehehe." Ucap Bian dengan wajah konyolnya. 

Hari sabtu datang, tepat pukul 3 siang, ekskul Voli dimulai. Tiba-tiba ada yang merangkulku dari belakang. "Duh capek Sell, kamu jalan cepet banget sih." Bian berkeringat. 

"Plis ian, belum aja mulai loh ini udah keringetan gitu, lagian aku tadi jalan biasa aja kok, lebay ah Bian."

3 jam berlalu, pukul 5 sore. "Ayo pulang, udah selesai nih. Aku anter pulang." Sudah biasa Bian mengantarkanku pulang ke rumah. Aku hanya mengangguk.

Sepanjang perjalanan pulang, aku mendengar napas Bian yang pendek-pendek. Awalnya kukira dia bercanda seperti biasanya. "Ian, are you okay?"

"Nggak papa, cuma agak capek aja hari ini." Jawab Ian sambil masih dengan napas pendek-pendeknya.

"Pindah belakang, aku anterin kamu pulang dulu. Aku gampang." Aku menyuruhnya untuk berhenti dan mengantarnya pulang.

"Nggak, udah tenang aja. Penting kamu pu..." aku menggoyangkan motornya, "kamu mau aku jatuh dari motor?" Satu-satunya cara untuk meluluhkan keras kepalanya.

Bian menyerah. Ia meminggirkan motornya, detik kemudian setir motor berpindah tangan padaku. Aku belum pernah kerumah Bian sebelumnya. "Ian, tunjukkin jalan kerumahmu," Bian menunjukkan jalan kerumahnya, lawan arah dengan rumahku.

Akhirnya sampai kerumah Bian. "Papa mama nggak ada, lagi dinas. Ayo masuk."

Rumah Bian memiliki kesan sederhana, namun mempunyai interior bangunan yang klasik sehingga membuatnya tampak mewah. "Udah selesai belum liat-liatnya? Sampe kagum gitu, rumahnya mempesona ya kayak yang punya, hehe."

"Diem ian. Berisik kayak tetangga aja. Udah kamu duduk, aku buatin teh anget dulu, teh sama gula kamu taruh mana? Jangan protes," Bian hendak mengomel, langsung bungkam.

"Adanya air keran aja. Nggak pernah buat teh. Hehe, udah nggak usah aneh-aneh kamu....." belum selesai Bian bicara aku segera keluar mencari ruang terdekat mencari gula dan teh. 

Setelah dapat, aku bergegas kembali ke rumah Bian. "Ian, bentar ya...." aku melihat Bian tertidur di sofa ruang tamunya. Oke, sebelum Ia bangun aku membuatkannya teh, sambil menunggu air matang aku melihat-lihat isi lemarinya. Ada bubur instan, aku memasaknya sekalian. Setelah semua siap, aku membangunkan Bian.

"Ian bangun, minum dulu ada bubur juga." Bian bangun, terlihat agak pucat. 

"Makasih loh, wah ada bubur juga, kamu nggak makan sekalian? Pulang aku anterin ya," Aku menggeleng. "Udah makan aja, gampang, nanti aku pulang naik taksi. Kamu beneran cuma kecapean kan Ian?" 

"Nanti aku pesenin taksi langgananku, iyaaa cuma kecapean doang kok, cie khawatir. Hehe." Beruntung Bian sedang sakit, aku hanya menatapnya tajam. 

Taksi datang, Bian sudah memesannya 5 menit lalu. "Pulang dulu ya Ian, kalo ada apa-apa langsung hubungi aku. Besok libur, aku usahain kerumahmu lagi."

"Kok tumben jam segini baru pulang Sell? Bian mana? Kamu pulang sendiri? Ibu melontarkan banyak pertanyaan setelah aku menutup pintu. "Tadi Sella ikut ekskul Voli sama Bian bu. Terus Bian tadi agak kecapean, aku anterin pulang deh. Besok juga kalo ada waktu aku mau ngecek keadaannya lagi bu."

"Syukur deh, kamu sendiri juga harus kesehatan.  Udah sana mandi, ganti baju, terus makan. Udah ibu siapin makan malamnya. Ajakin bapak sekalian. " aku mengacungkan jempol. 

Keesokan harinya, aku mampir ke rumah Bian, setelah dari pasar. Sebelumnya Ia bilang kalau dia belum baikan. 

Sesampainya dirumah Bian, aku melihat ada seorang dokter keluar dari rumahnya. Firasatku buruk.

"Ian?" Dia terbaring lemah di sofa.

"Maaf Sell, selama ini aku nggak ngasih tau tentang keadaanku. Aku divonis gagal jantung akut. Maaf atas kesalahanku selama ini dan terimakasih udah mau jadi sahabat terbaikku. Kamu tau Sell? Kamu bisa berteman dengan siapa saja. Kamu baik, aku berharap setelah aku nggak ada kamu bisa bahagia selalu Sell. Sekali lagi maaf dan terima kasih." Aku terdiam. Bian bangkit dan memelukku. "Maaf...."

Belum genap dua tahun ini, aku berteman dengan Bian, yang diam-diam kusukai juga. Bian, yang mengisi hari-hariku, akan segera meninggalkanku. 

Seminggu berlalu, setelah kepergian Bian aku mulai beradaptasi dengan teman sekelasku. Aku harus melakukan apa yang dikatakan Bian sebelum dia pergi.

Ian, kamu nggak perlu khawatir sekarang. Aku udah banyak teman. Terimakasih Bian sudah menemani hari-hariku. Selamat jalan Bian, semoga kamu tenang di sana. Sekali lagi, terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun