Note : Harap memutar lagu yang ada di video youtube yang saya lampirkan. Soalnya saya lupa cara bikin backsound di Kompasiana... :p
Jam 6 pagi, halte transjakarta Ragunan sudah terlihat panjang antrian. Aku tetap khusyuk dengan headset mendengarkan lagu-lagu pada Aplikasi  Joox yang ada di HP. Sebenarnya bukan lagu-lagu melainkan hanya satu lagu, lagu yang mungkin sudah membuat aku jatuh cinta sejak 17 April 2014. Lagu ini yang selalu aku repeat dan mungkin akan terputar sebanyak 30x, terhitung dari posisiku berada di halte sampai di kantor. Aku menghapal lagu ini luar kepala, lagu yang selalu memberi rasa saat sedang tak ada rasa. Konyol!Â
Me And You - Ashilla.
*
Khayalanku terbang pada kejadian beberapa tahun yang lalu saat berdua menonton film "Me And You Vs. The World" yang tidak terlalu ramai penonton. Penontonnya pun ternyata tidak tembus sampai 100ribu penonton, angka yang tidak terlalu menarik. Iya, betul. Tak ada yang menarik. Yang membuat aku masih kepikiran adalah kenapa aku dan dia harus menonton film Indonesia bertemakan cinta, sementara pada saat bersamaan ada film "Captain America"?
"Penulisnya temenku..." katanya dengan nada berapi-api. Sambil menatapku dalam-dalam dengan tatapan mata elangnya yang pasti akan membuat wanita mana saja jadi susah tidur.
"Oh, ya?" kataku mengalihkan wajah buru-buru, sebelum aku ketahuan terpana akan tatapannya.
"Iya, makanya aku pengen 'nonton. Temen-temen yang lain  diajak nonton pada sibuk semua, makanya aku ajak kau," katanya tanpa merasa bersalah.
"Kampret..." gumamku dalam hati sambil tetap tersenyum palsu.
Dia tak pernah merasa bersalah akan apa yang sudah dia katakan. Itu yang membuat aku merasa hambar, saat aku sudah terlena dengan rasa yang seharusnya dimiliki orang yang saling mencintai. Dia tidak pernah merasa bersalah berlari-lari dari kamar mandi ke kamarnya dengan sehelai handuk, saat aku duduk rapi menunggu dia 'dandan' di ruang tamu rumahnya. Dan masih banyak lagi kelakuannya yang salah, tapi dia tidak pernah merasa.
"Gimana filmnya? Bagus, khan?" tanyanya berapi-api.
"Apaan? Aku gak ngerti", kataku jujur.
"Kau khan bodoh, makanya kau gak ngerti film", kata dia mengerutkan dahi lebarnya. Jenggotnya tertiup-tiup AC mobil yang tepat berada di depan mukanya. Membuatnya terlihat lebih menyeramkan. Â
"Eh, nonton Captain America lagi, yuk?" ajaknya.
"Apa? Udah jam 10, katanya mau cari makan? Malah 'ngajak nonton lagi!" kataku ketus. Yang lebih memalukannya lagi hari itu adalah Kamis Putih, di mana semua orang pergi ke Gereja dan kami dengan gobloknya malah pergi 'nonton.
Sayangnya kenangan goblok itu tidak akan pernah terulang. Sejak aku memutuskan merantau lebih jauh. Sejak dia memandangku sinis seolah-olah aku sengaja menyakitinya. Aku dan dia sama-sama tahu bahwa ada cinta yang pupus saat akan bersemi.
"Bodoh" katanya.
*
Tiba-tiba lamunan masa laluku buyar, karna panggilan seorang wanita yang mengantri di belakangku. Dia sedikit mendorong-dorong badanku yang kaku.
"Mba, maju dong. Itu busnya udah datang..." katanya ketus sambil terus mendorong aku.
"Eh, sorry..." aku segera berlari memasuki bus koridor 6 yang bangkunya sudah dipenuhi penumpang. Mau tak mau, aku harus berdiri di dekat pintu bus. Beberapa orang tetap memaksa masuk, walau bus sudah penuh sesak. Aku segera memasang masker sebelum bau-bau yang tidak enak menghinggapi hidungku.
Tuk!Â
"Awww..." keningku terbentur sikut seorang pria bermasker yang yang sedang pegangan pada bus hand holder. Aku mengusap-usap keningku, sambil melirik sadis ke arah pria itu.Â
"Sorry," katanya pelan sambil menatapku dalam-dalam. Aku terkesima sebentar akan tatapan elang itu, yang dulu pernah aku dapatkan tapi entah di mana dan kapan? Aku tetap mengusap-usap jidatku yang sudah tidak terlalu sakit itu.
"Gapapa..." kataku sambil mencari pegangan, dikarenakan tubuhku pendek akhirnya aku memilih berpegangan pada tiang dekat pintu bus. Aku sadar diri tidak akan bisa meraih bus hand holder berwarna kuning itu. Sesekali aku melirik ke arah pria itu yang menutup setengah wajahnya dengan masker. Dia menggunakan HP-nya, kulirik dia sedang menggunakan Google Maps.Â
Aku mencari kesibukan dengan mencari-cari ganti lagu yang akan kuputar di HP. Dipikir-pikir, sakit juga telinga dengar lagu yang itu-itu saja. Sesekali aku melirik ke arah pria yang sudah mengetuk keningku dengan sikutnya. Ada rasa penasarannya di tiap sudut wujudnya.
Tiba-tiba HP-nya berdering dengan ringtone yang familiar di telingaku, tapi aku lupa lagu apa itu. Lagi pula pria itu terlihat aneh sekali, zaman sekarang mana ada yang memasang ringtone dengan volume yang lumayan. Di-silent aja khan bisa keleus. Gumamku dalam hati. Saat dia bertelepon, aku segera menambah volume lagu yang ada di HP-ku, sekarang aku sedang me-repeat lagu Side to side-nya Ariana. Sesekali tubuhku bergoyang mengikuti irama musik, kepalaku geleng sana dan sini. Tak peduli orang lain melihatku atau tidak.
"Mbak... Mbak..." tangan pria tadi mencolek punggungku.
"Ya?" Aku segera mencabut salah satu headset dari telinga.
"Mau tanya, kalau ke Mampang itu turun di mana ya?" tanyanya sambil tersenyum ramah di balik masker.
"Oh... Kayaknya 3 halte lagi deh, nanti kalau udah sampe aku bilangin, hehehe..." kataku membalas senyumnya. "Mau kemana, Mas?" tanyaku ingin tahu.
"Iya, daerah Mampang. Kebetulan hari ini hari pertama kerja... Jadi masih bingung kalau naik bus..." Jawabnya.
"Oh. Masih baru kerja toh? Semoga sukses ya, Mas..." kataku sok akrab. "Eh, ngomong-ngomong nih dari logatnya kayaknya orang Sumatera?" tanyaku lagi sok tahu.
"Hahaha... Emang iya... Aku dari Pekanbaru..." jawabnya sambil tertawa dengan matanya yang semakin sipit.
Glek! Aku terdiam. Kuambil headset yang sedari tadi kulepas dan kupasang kembali. Mataku memandangi jalanan ibukota yang semakin macet. Aku berusaha tak menyambungkan pembicaraan lagi. Pria itu pun terlihat sibuk dengan HP-nya. Bus berhenti di depan halte Mampang Prapatan.
"Ummm... Mas, turun di sini..." kataku pelan.
"Oh ya?"
Pintu bus terbuka otomatis. Sebelum dia melangkahkan kaki ke luar bus, dia membukakan masker yang sedari tadi menutupi wajahnya. Aku melangkah mundur seperti baru melihat hantu. Kunaikkan lebih ke atas masker yang kukenakan. Dia mengulurkan tangannya padaku.
"Douglas. Makasih bantuannya..." Katanya tersenyum manis.
"Oh... Ohh... Aku, aku Merry..." jawabku gelagapan.
"Dahhh..." Dia menghilang bersamaan dengan ditutupnya pintu bus.
*
 Hiks, padahal namaku bukan Merry, namaku adalah nama yang sudah seharusnya dihafalnya.Â
Pantas saja ringtone itu begitu familiar bagiku. Bukankah lagu itu yang selalu kudengar setiap hari.
Dan tatapan itu adalah tatapan yang selalu menyenangkan hatiku sebelumnnya.
Sayangnya aku tak cukup percaya diri memperkenalkan namaku. Sayangnya aku terlalu ego memblokir semua tentang dia. Nomor telepon, account Facebook, Instagram, Twitter, Path dan lain sebagainya. Setelah dunia yang memisahkan aku dan dia. Kini egoku yang sudah mematahkan secercah kesempatan untuk bertemu.
Sebulan kemudian, aku masih berdiri di antrian. Mataku menyapu seluruh isi halte. Tak ada sosok yang sebenarnya ingin kutemu. Aku memperbaiki maskerku yang hampir melorot, agar jika sewaktu-waktu bertemu aku tidak mempertontonkan wajah bodohku padanya. Â Walau sebenarnya dari lubuk hati yang paling dalam aku merindukan tatapan itu lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H