"Bahkan sabtu dan minggu?" aku mulai berang.
"Iya..."
"Rani siapa? Rani di Jakarta, ya? Viona siapa? Viona di Medan, ya? Kau selalu punya cadangan di dua kota itu, khan? Untuk pelampiasan nafsumu!!!" Teriakku.
"Kau ngomong apa, sih?"
"Diam kau!!!"
"Oke, terserah! Aku memang punya pacar baru! Aku mau kita cerai!"
"Aku tidak mau!!!" Pekikku dan kau pun mematikan telepon.
Aku gundah setiap malam, beberapa saudara menasehati aku karena khawatir akan kondisi kandunganku. Aku selalu bilang pada semua orang, bahwa aku membenci kelakuanmu tetapi tidak untuk perceraian, karena aku sangat menyayangi anak-anakku. Aku bertahan demi anak, bukan demi cinta.
Sampai suatu ketika aku bertemu teman lamaku di bangku SMA yang ternyata Direktur di tempat kau bekerja.
"Aku minta maaf, yang memerintahkan dia dimutasi ke Medan adalah aku." Katanya menyesal. "Mungkin kalau tidak dimutasi dia masih bersama denganmu."
"Jangan merasa bersalah begitu! Di Jakarta saja dia sudah seperti itu..." Kataku menghapus air mata.