"Untuk menebus perasaan bersalahku, aku akan memperingati dia dan memerintahkan dia untuk pindah ke Jakarta."
"Yakinkah kau? Setiap malam dia selalu berteriak cerai dari telepon. Kalau proses mutasi ini dipersulit oleh dia. Pecat saja dia!"
"Lho... Lalu bagaimana dengan kamu dan anak-anakmu?"
"Aku sudah resign dari pekerjaan terbaikku, aku masih ingat untuk mendapatkan pekerjaan itu sulit, tetapi keluarganya malah memaksa aku untuk resign. Minimal dia harus dipecat, biar impasss!!!" Tangisku.
***
Hari berjalan seperti biasa, aku harus berjualan tas dan sepatu untuk biaya makan sehari-hari. Saat ATM gajimu sudah kau blokir. Pada saat itu aku tersadar kau memang tidak mencintai aku dan anak-anakmu. Bahkan saat melahirkan pun kau dan keluargamu tidak datang. Kalian memang hantu yang paling mengerikan.
"Kita cerai! Kau menghasut bosku untuk memutasi aku? Kau pikir berhasil..." Teriakmu melalui telepon.
"Terserah! Yang pasti semampuku, kita tidak akan bercerai! Kalau pun bercerai kau harus mati, atau mungkin minimal kau dipecat!" Teriakku.
Hari demi hari, kita masih belum bertemu bahkan kau belum menjumpai anakmu yang baru kulahirkan susah payah. Sungguh mertua macam apa mendoktrin anaknya untuk membenci istrinya. Kalian terlalu banyak drama, perselingkuhan anaknya tidak dipermasalahkan, tetapi omongan anaknya yang mengatakan aku sebagai 'istri tidak tahu diri' diperdengarkan dengan baik.
Sampai suatu ketika, aku mendengar kabar dari teman semasa SMA-ku bahwa kau sudah dipecat karena tidak masuk kerja selama sebulan memilih bertahan dengan selingkuhan, setelah dipindah ke Jakarta. Aku hanya tersenyum kecut. Kita lihat saja, apakah perempuan-perempuan selingkuhanmu masih bertahan saat kau tak ada uang.Â
Kudatangi kau yang ternyata di rumah orangtuamu.