Mohon tunggu...
Ulil Aydi
Ulil Aydi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hukum / Sosiologi / ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Impeachment Presiden dalam Tinjauan Hukum Islam

11 Juli 2024   23:10 Diperbarui: 11 Juli 2024   23:46 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penulis : Nazzuma Ihsanudin Yusuf

IG : nazzuma_

Indonesia merupakan negara hukum yang dalam sistem pemerintahannya menggunakan sistem presidensial dengan muatan bahwa seorang pemimpin negara adalah suatu titik yang kuat dan tidak mudah dijatuhkan hanya dengan manuver politik. Pada dasarnya sistem controlling presiden terhadap apapun yang dapat dilakukan telah diatur di dalam undang-undang. Presiden dalam menjalankan tugasnya apabila dikenai adanya pidana yang berat, melanggar atau menghianati konstitusi ataupun persyaratan sebagai seorang presiden tidak lagi dipenuhi olehnya, maka jabatan sebagai seorang presiden tersebut dapat dilengserkan. 

Konsep trias politika yang diakumulasikan dalam banyak negara hukum di dunia memiliki tiga konsep dasar yakni adanya unsur legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam konstelasi kenegaraan. Adanya ketiga konsep ini secara substansial adalah agar terjadi check and balance  diantara pemerintahan. Lembaga legislatif yang mengawasi pemerintah dengan produk hukum yang dibuat dan juga dengan hak-hak yang dimiliki oleh lembaga legislatif dalam mengawasi pemerintah eksekutif dalam menjalankan tugasnya. 

Keseimbangan antara kebijaan dan juga kepentingan yang ada di dalam suatu negara agar dapat diadakan keseimbangan yang nyata dalam kebijakan yang dikeluarkan dan juga dengan subjek kebijakan yang ditujukan. Adanya controlling yang nyata dari lembaga legislatif terhadap lembaga eksekutif dimaksudkan pula output dari  keseimbangan yang ada adalah untuk menunjang kepuasan rakyat terhadap pemimpin negaranya.Hal ini dapat ditujukan agar pemikiran rakyat terhadap pemimpin sangat minimal terhadap adanya ketidakpuasan sehingga keinginan untuk  pemakzulan presiden yang terkesan menghianati rakyat dapat diminimalisir dan ditekan. 

Masa pasca reformasi, pemakzulan presiden tidak hanya dapat dilakukan oleh lembaga legislatif, akan tetapi dalam pemakzulan presiden  juga harus melibatkan lembaga yudikatif yang dalam hal ini direpresentasikan oleh mahkamah konstitusi. Konseptualisasi yang krusial dalam muatan undang-undang dasar 1945 yang mengatur tentang pemakzulan presiden dijelaskan pad apasa 7a dan 7b yang mana konsep pemakzulan yang dijelaskan merupakan konsep yang menggabungkan proses politik dan hukum secara konfrontatif.

Pada dasarnya proses pemakzulan presiden diawali dengan mekanisme pengawasan presiden yang dilakukan oleh lembaga legislatif yang apabila menemukan sebuah indikasi yang dapat menyebabkan pemakzulan presiden maka lembaga legislatif kemudian melaporkan hal yang ditemui ke mahkamah konstitusi untuk kelanjutan dari proses hukum formil yang berlaku terhadap pemakzulan presiden yang dimiliki oleh mahkamah konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan.


Jimly asshiddiqie dalam bukunya konstitusi dan konstitutionalisme menjelaskan bahwa pemakzulan merupakan bahasa yang berasal dari bahasa arab yang memiliki makna diturunkan dari jabatan. Sesuai dengan konsep Impeachment yang diterapkan di barat yang ditafsirkan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa Impeachment adalah tuntutan pertanggungjawaban dalam rangka pengawasan lembagaa legislatif ke presiden apabila presiden melanggar hukum.   Istilah lain yang dikenal dalam islam secara etimologis berasal  dari bahasa arab Bughot yang memiliki arti dzolim atau menindas.


Stabilitas posisi presiden sebelum undang-undang dasar mengalami amandemen, sering mengalami ketidak pastian politik katrena sebelum amandemen UUD 1945 tidak mengatur secara eksplisit tentang pemakzulan presiden.  Sebelum amandemen satu-satunya momenklatur yang mengatur tentang pemberhentian presiden adalah pasal 8 UUD 1945 yang menyatakan bahwa jika presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatan nya ia diganti oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya. 

Kemudian yang dijelaskan pada angka VII alinea ketiga sebelum amandemen terhadap pasal tersebut yang menyebutkan Jika dewan menganggap bahwa presiden sungguh melanggar haluan  negara yang telah ditetapkan undang-undang dasar atau majelis permusyawaratan rakyat, majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya biasa meminta pertanggungjawaban presiden.  


Menurut al-baqillani, konsep ketatanegaraan Islam yang khalifahnya dalam proses bernegara tidak jujur, berbuat dosa, bid’ah, tidak adil, lemah fisik dan lemah mental, kehilangan kebebasan karena ditawan oleh musuh, maka khalifah tersebut memenuhi syarat untuk dimakzulkan dari kursi kepresidenan.  Dengan keadaan khalifah yang sedemikian, maka dia dianggap tidak akan mampu kembali untuk memimpin negeri. 

Impeachment ditafsirkan sebagai suatu muatan tindak lanjut atas peradilan pidana terhadap pejabat dihadapan badan legislatif. Impeachment dimulai dengan adanya articles of impeachment, yang memiliki fungsi yang sama dengan surat dakwaan dari peradilan pidana. Article impeachment merupakan surat resmi yang berisi tuduhan yang mendasari dimulainya suatu proses impeachment. 

Pimpinan tertinggi negara yang cacat dalam menegakkan keadilan, kemampuan fisik yang berkurang sehingga tidak dapat menjalankan proses bernegara, melakukan perbuatan munkar, serta perbuatan tercela, maka kepala negara tersebut harus dilengserkan dan tidak dapat memimpin untuk kedua kalinya. Dalam hal ini, pihak yang berwenang yang dalam konteks ini adalah lembaga legislatif khalifah sebagai representasi dari rakyat harus memilih pemimpin yang baru untuk menjaga stabilitas politik dalam satu negara dan agar tugas atas pemimpin negara yang digantungkan kebijaksanaannya dalam satu negara dapat dipenuhi sepenuhnya sehingga tidak menimbulkan dampak yang signifikan atas terjadinya kekosongan jabatan pemimpin negara. Lembaga legislatif dalam hal ini juga berwenang untuk merumuskan undang-undang sebagai turunan atas hierarki perundang-undangan dari masing-masing negara. 

Hal tersebut diperlukan pula karena dalam setiap sendi konstutusi negara tidak semuanya termaktub secara detail dan gamblang di dalam Al-Quran dan Sunnah. Lembaga legislatif yang dalam posisinya tidak bermitra dengan sepenuhnya terhadap presiden dalam memberikan kebijakan seharusnya dalam muatan yang ada dalam kebijakan yang dirumuskan oleh lembaga legislatif tersebut memang harus meminimalisir mandhorot dan memperbesar mashlahat terhadap keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam lingkup agama Islam agar memang umat muslim dapat memiliki keamanan yang maksimal sebagai warga negara dalam output masyarakat yang bebas merdeka atas segala sesuatu termasuk juga untuk menyembah tuhan nya yang memang membutuhkan jaminan keamanan yang nyata untuk melindungi masing-masing hak konstitusi warga negara yang baru untuk menjaga stabilitas keamanan negara dan menjalankan  tugas  negara.


Pasca kepemimpinan Rasulullah Saw, tampuk kekuasaan negara seutuhnya dipanggul sahabat-sahabat Khulafauurasyidin. Dalam massa kepemimpinan khulafaurrasyidin, terdapa 2 kali pemberhentian khalifah dengan cara yang inkonstitutional yakni yang pertama khalifah utsman bin affan yang meninggal karena dibunuh oleh pemberontak yang merasakan ketidakpuasan dan ketidak percayaan terhadap kepemimpinan khalifah utsman. Hal tersebut terjadi karena khalifah utsman dituduh telah melakukan nepotisme dengana memasukkan kolega-koleganya kedalam pemerintahan yang kemudian fitnah pun saling berdatangan hingga fitnah korupsi yang menjerat khalifah utsman. 

Berdasarkan atas beberapa uraian mengenai pemakzulan pemimpin negara, terdapat beberapa sistem yang sama atas konsep Impeachment presiden yang berdasarkan konstitusi di indonesia dengan konsep hukum islam.

Jabatan presiden keempat Indonesia, yang dipangku oleh Abdurrahman Wahid yang secara demokratis dipilih oleh MPR dan dipilih dengan suara terbanyak, namun dimakzulkan juga oleh MPR. Menurut teori pemakzulan presiden di Indonesia itu harus memenuhi syarat: korupsi, berbuat maksiat, melanggar hukum, dan sejenisnya. Hal ini terjadi pada Presiden Abdurrahman Wahid yang tanpa dipanggil terlebih dahulu untuk mempertanggungjawabkan yang termuat dalam kepemimmpinan presiden, dengan tiba-tiba MPR memakzulkan jabatan tersebut. Pemakzulan yang terjadi kepada kursi presiden ke empat republik Indonesia yang dipangku oleh presiden abdurrahman wahid merupakan pemakzulan yang tidak berkesinambungan dengan UUD 1945 yang mana untuk memakzulkan presiden tidak sesederhana konsolidasi politik di parlemen dan harus menempuh perjalanan hukum yang panjang dan kepastian hukum yang tepat. 

Namun presiden abdurrahman wahid didepak begitu saja dari singgasana kepresidenan dengan suara hingar bingar wakil rakyat di Gedung DPR/MPR saat itu. Indonesia cenderung tidak menunjukkan karakternya sebagai negara hukum secara sempurna, yaitu tidak terdapat penguatan terhadap supremasi hukum, seperti keputusan hukum MK yang bersifat final dan mengikat (finally binding) dilaksanakan oleh kesepakatan politik di MPR.  Anggapan bahwa presiden Abdurrahman wahid dimakzulkan akibat kasus korupsi dan kontroversi selama pemerintahannya terjadi atas penggiringan opini yang dilakukan pasca pelengseran presiden abdurrahman wahid. Ketika terjadi krisis konstituisional saat itu, terdapat dua opsi yang ditawarkan:


1. pertama, pelimpahan tugas konstitusional dan
2. kedua, menggunakan Tap MPR Nomor III tahun 1978.


Opsi pertama ditawarkan oleh presiden Abdurrahman Wahid melalui Tim Tujuh dari Pemerintah, kepada Megawati sebagai Wakil Presiden. Opsi ini juga muncul berdasarkan saran dari Akbar Tanjung selaku ketua DPR-RI, sebagai solusi jalan tengah yang sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945. Dengan terlebih dahulu, Presiden Abdurrahman wahid mengundurkan diri dan selanjutnya pelimpahan kewenangan diserahkan kepada Megawati. Kompromi ini ditolak oleh para politik yang ada di lembaga legislatif saat itu. Meskipun presiden Abdurrahman wahid sudah bersedia mundur dan melimpahkannya kepada Megawati. Agar proses pergantian tersebut dibenarkan dan diabsahkan oleh konstitusi. Lembaga legislatif lebih memilih opsi menggunakan Tap MPR No III tahun 1978 sebagai dasar pemakzulan.

Berdasarkan hal tersebut yang didasarkan pada tap MPR nomor III tahun 1973  pelanggaran-pelanggaran atas norma hukum terjadi. Diantara nya adalah Pelanggaran pertama, pemakzulan dengan menggunakan Pasal 7 Tap MPR No. III tahun 1978, bersifat ekstra konstitusi. Keputusan hukum yang ditempatkan di atas konstitusi. Padahal dalam tata urutan perundang, Tap MPR berada dibawah konstitusi sesuai dengan yang tercantum dalam Tap MPRS XX/MPRS/1966. Praktek ini menunjukan MPR telah mengabaikan produk hukum yang telah dibuatnya sendiri. Dalam hal tersebut, alternatif mengenai konstitutionalisme pemakzulan sudah ada dengan merujuk pasal 37 UUD 1945, MPR terlebih dahulu melakukan amandemen pasal 8 UUD 1945 dengan memasukan pasal 7 Tap MPR III/1978. Sehingga pemakzulan memiliki kekuatan hukum secara konstitusional. 

Namun, hal ini tidak dilakukan oleh MPR. Amandemen ketiga tentang pemakzulan baru dilaksanakan pada bulan November 2001pasca pemakzulan presiden Abdurrahman wahid terjadi pada 23 Juli 2001. Amandemen UUD 1945 ketiga dengan menambahkan pasal 7A dan 7B, yang tidak lain dari norma yang terkandung dalam pasal 7 Tap MPR III/ 1978. Dengan kata lain, pemakzulan atas Gus Dur (Juli 2001), MPR tidak menggunakan konstitusi tetapi Tap MPR III/1978.

Pelanggaran kedua, penggunaan pasal 7 Tap MPR III/ 1978 bukan saja menyandang status ekstra konstitusi namun juga bertentangan dengan konstitusi. Apa yang disebut body of constitution, dengan adanya dua katagori kuasa dan relasi competence dari MPR, Presiden dan DPR. Berdasarkan pasal 3, pasal 6 ayat 2 dan pasal 37 UUD 1945, MPR tidak memiliki kompetensi untuk menentukan sikap jalannya pemerintahan negara. Pada dekade tersebut, relasi antara kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif dapat dinilai seimbang.Keadaan pemerintahan dengan sedemikian rupa memiliki intrik yang dekat dengan prinsip presidensil atas suatu negara. Hal ini kontradiktif dengan pasal 7 tap MPR RI nomor III tahun 1978 yang menjelaskan dengan prinsip parlementer. Dengan adanya sistem parlementer uang sebenarnya, konstitusi seharusnya melimpahkan kekuasaan legislatif dalam konteks demikian kepada dewan perwakilan rakyat, tidak kepada majelis permusyawaratan rakyat. 

Rumusan MPR RI III tahun 1978  lahir pada saat rezim presiden soeharto berkuasa yang memberikan indikasi bahwasanya terdapat adanya upaya merumuskan produk hukum yang digunakan untuk melanggengkan kekuasaan yang memang tidak dijelaskan dengan detai mengenai sistem pemakzulan yang diatur di dalam konstitusi. Yang pada dasarnya presiden tidak dapat di makzulkan hanya dengan atas tap MPR akan tetapi memang harus berdasarkan konstitusi. 

Tap MPR yang disusun pada saat itu secara kuantitatif disusun dengan ½ anggota MPR yang berasal dari DPR-RI yang pada saat itu mayoritas dikuasai oleh partai yang berafiliasi dengan presiden. Penunjukan langsung dalam perwakilan yang ditujukan dari daerah-daerah semakin memperkiat adanya kepentingan politik hukum yang fundamental berdasarkan hak prerogatif yang dimiliki oleh penguasa sehingga saat itu sangat mustahil untuk memakzulkan presiden karena kekuatan legislatif pada umumnya berpihak kepada presiden dengan indikasi adanya komposisi yang nyata atas lembaga legislatif dengan segala keterpihakan yang dimiliki. 

Pelanggaran ketiga, substansi memorandum I dan II telah melampaui batas kewenangan DPR sebagaimana yang termaktub dalam pasal 7 ayat 2 Tap MPR III/1978. Yang berbunyi Apabila DPR menganggap Presiden sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara, maka DPR menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden. Sedangkan muatan materi memorandum I dan II, berbunyi patut diduga bahwa presiden Abdurahman Wahid berperan dalam pencairan dan penggunaan dana Yanatera Bulog. Diksi bentuk pelanggaran dengan kata Kata patut diduga hanya bersifat sementara dengan tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap, sedangkan Tap MPR mensyaratkan adanya sungguh-sungguh telah memiliki kekuatan hukum tetap. 

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahfud MD dan Akil Mochtar, bahwa Presiden Abdurrahman wahid tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum atas kasus dana Yanatera Bulog dan dana bantuan Sultan Brunai. Alasan ini dikemukakan atas berdasarkan pemeriksaan Jaksa Agung secara projustisia yang mengumumkan secara resmi Presiden bersih dari soal hukum dalam kasus tersebut. Dalam konstelasi lembaga negara pada saat tersebut, lembaga legislatif telah melampaui kewenangannya dan beranggap bahwa hal tersebut secara subtsansial mengakuisisi kewenangan lembaga yudikatif. 

Pelanggaran oleh Presiden sebagaimana Tap MPR di atas adalah pelanggaran atas haluan negara yang bersifat manajerial pemerintahan dalam masa jabatan yang emban oleh warga negara selama masa jabatan. Isi memorandum yang berisi pelanggaran tindak pidana yang menggunakan frasa patut diduga dengan tanpa putusan dari pengadilan yang mana tindak lanjut dalam material ini dapat dikaitkan dengan dictum dari memorandum yang menjelaskan bahwa presiden telah melanggar TAP MPR nomor XI tahun 1998 tentang penyelenggaran negara yang bersih dan bebas KKN. 

Sedangkan pelanggaran yang dimaksud tidak terdapat putusan pengadilan yang menyatakan dengan jelas bahwa presiden Abdurrahman wahid memang bersalah. Memorandum ke II yang dikeluarkan oleh MPR kontradiktif dengan pasal 7 ayat 3 tap MPR III tahun 1978 yang mengutip bahwa  apabila dalam waktu tiga bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum tersebut pada ayat 2 pasal ini, maka DPR menyampaikan memorandum yang kedua. DPR mengeluarkan memorandum pertama pada tangal 1 februari 2001 setelah hal tersebut, presiden abdurrahman wahid  memberi jawaban atas memorandum tersebut satu bulan setelahnya yang kemudian ditolak oleh mayoritas anggota DPR dengan kata tidak memuaskan dan mendorong dikeluarkannya Memorandum II. Sedangkan pasal 7 ayat 2, tidak mensyaratkan apapun dari frasa “memperhatikan”, apakah memuaskan atau tidak. Jawaban Presiden Abdurrahman wahid atas memorandum I telah memenuhi anggapan bahwa presiden telah memperhatikan memorandum I yang telah dilayangkan DPR pada 1 februari 2001. 

Kemudian sidang istimewa MPR yang dilakukan sebagaimana tap MPR III tahun 1978 untuk meminta pertanggungjawaban presiden tidak sah dikarenakan syarat atar persidangan tersebut adalah harus di hadiri oleh seluruh fraksi sedangkan pada saat tersebut yang tidak hadir dalam sidang istimewa Sidang adalah fraksi FDKS dan fraksi PKB yang dilakukan pada tanggal 23 juli 2001. Maka secara formil proses hukum yang laksanakan oleh MPR terhadap pemakzulan presiden dapat dikategorikan sebagai inkonstitutional. Yang selanjutnya dasar hukum yang digunakan untuk pemakzulan presiden abdurrahman wahid hanya menggunakan dasar tap MPR yang di akuisisikan kedalam sidang istimea yang dilaksanakan pada tanggal 23 juli 2001.dengan fakta yang demikian adanya, pemakzulan presiden yang terkesan inkonstitutional memiliki kecacatan ang nyata dalam formilnya dengan fakta politik bahwa presiden tidak memiliki kekuatan politik yang seimbang dalam hal pemakzulan tersebut.


Konsep Pemakzulan Presiden Ditinjau Dari Fiqh Siyasah.  Dalam hal ini lembaga yang berhak atas kewenangan ini dalam mengupayakan penyelamatan negara atas pemimpin yang telah disyaratkan kepadanya atas suatu negara dan tidak dapat mempertanggungjawabkan karena beberapa hal dzalim yang menyertainya maka lembaga yang dapat memerikan putusan adalh mahkamah madzalim.  Beberapa kewenangan lain yang menyertai dalam lembaga ini adalah wewenang untuk memberhentikan dan memberikan peringatan kepada khalifah. 

Apabila dalam hal ini khalifah mengalami pelanggaran atas selalu mengundurkan diri, maka masalah atas hal ini selesai tanpa perlu pembuktian yang dilaksanakan oleh mahkamah. Dalam hal umat memilih seseorang untuk diangkat  menjadi Khalifah, umat tidak dapat semerta-merta memberhentikan khalifah. Dalam kategori ini, ketaatan kepada khalifah banyak disebutkan dalam hadis meskipun secara contiune melakukan kemunkaran dan kedzaliman. Dari Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah  Saw.  bersabda:  "Siapa  saja  yang melihat  sesuatu  (yang  tidak disetujuinya) dari amirnya hendaknya bersabar. Karena siapa saja yang memisahkan diri dari jama'ah sejengkal saja kemudian mati, maka matinya (seperti) mati jahiliyah."

Kata amir (pemimpin) di dalam hadits ini maknanya umum,  yang meliputi khalifah, karena khalifah merupakan amirul mukminin. Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw. bersabda:


"Dahulu, Bani Isra'il dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah." Para sahabat bertanya: "Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?" Beliau menjawab: "Penuhilah bai'at yang pertama dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya, karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban  mereka  tentang  rakyat  yang  dibebankan  urusannya kepada mereka."


Imam Muslim pernah meriwayatkan bahwa Salamah Bin Yazid Al Ja'fie bertanya kepada Rasulullah Saw. lalu berkata: "Wahai nabi Allah, kalau ada pemimpin-pemimpin yang memimpin kami, lalu mereka meminta kepada kami hak mereka, namun mereka melarang kami meminta hak kami, maka apa yang engkau perintahkan kepada kami?" Beliau tidak menghiraukannya, lalu dia bertanya lagi dan beliau juga tidak menghiraukan lagi, kemudian dia bertanya untuk yang kedua atau yang ketiga kalinya, lalu (tangannya) ditarik oleh Asy'ats Bin Qais. Beliau kemudian menjawab:
"Dengar  dan  ta'atilah, sebab  
mereka  wajib (mempertanggungjawabkan apa yang mereka pikul, sedangkan kalian wajib mempertanggungjawabkan
apa yang kalian pikul."


Dari Auf Bin Malik yang berkata:  
"Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: "Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; mereka mendo'akan kalian dan kalian pun mendo'akan mereka. Seburuk-buruk  pemimpin  kalian  ialah  mereka  yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian; kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian." Ditanyakan kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka itu?" Beliau menjawab: "Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam) di tengah- tengah kamu sekalin. Ingatlah, siapa saja yang diperintah oleh seorang penguasa, lalu ia melaksanakan suatu kemaksiatan kepada Allah, maka hendaknya dia membencinya yang merupakan kemaksiatan kepada Allah saja. Dan janganlah sekali-kali melepaskan tangannya dari ketaatan kepadanya."


Dari Hudzaifah Bin Al Yaman bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
"Nanti akan datang setelahku, para imam yang mempergunakan petunjuk bukan  petunjukku,  dan  mengikuti  sunnah  bukan  sunahku. Dan di tengah-tengah kalian akan ada orang-orang yang hatinya seperti hati syetan yang berada di dalam tubuh manusia." Aku bertanya: "Bagaimana yang harus aku lakukan, wahai Rasulullah kalau hal itu aku temui." Beliau menjawab: "Engkau dengar dan taati, sekalipun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, maka dengar
dan taatilah."


Dari Abi Dzar bahwa Rasulullah Saw. pernah bertanya (kepadanya):
"Wahai Abu Dzar, bagaimana kalau kamu mendapatkan pemimpin yang mengambil banyak (hak) darimu dalam pembagian fai' ini?" Dia menjawab: "Demi Dzat yang mengutusmu dengan haq, aku akan menghunus pedangku ini lalu aku letakkan di atas pundaknya. Dan aku akan tebas hingga dia (berubah) sepertimu (baik)." Beliau bersabda: "Bukankah aku pernah tunjukkan sesuatu yang lebih baik untuk kamu lakukan daripada hal itu?, sebaiknya kamu bersabar.


Dalam konteks ini, pemakzulan dapat terjadi apabila sesuai dengan ketentuan berikut, yakni :
a.adanya asas praduga tak bersalah.
b.pemberhentian sementara waktu sampai kasus yang dialami memiliki kebenaran.
c.Memiliki tim khusus dalam melakukan tabayyun.
d.Adanya kontradiktif.
e.Tabiat  politik yang tidak jelas.
f.Cross-check  (tabayyun).
g.Kedudukan masjid yang juga memiliki kekuasaan.
h.Jamaah masjid yang memilikii suara terhadap pemerintahan.
i.Kedudukan yang setara antara imam sholat dan imam negara.


Terdapat tiga hal yang dapat memakzulkan khalifah secara otomatis, yakni :
a.Murtad
b.Gila Total
c.Khalifah ditahan musuh yang kuat


Alam keadaan inilah khalifah dapat langsung dimakzulkan meskipun dalam tahap pembuktian terhadap yang dilakukan khalifah dengan yang berhubungan dengan pemakzulan ini dilakukan oleh mahkamah madlaim. Akan tetapi hal ini dapat segara dilakukan agar umat segara mengangakat khalifah yang lain agar stabilitas negara tetap terjaga.  
Pema'zulan Berjenjang, manakala:
a.Melakukan kefasikan secara terang-terangan,
b.Transgender
c.Gila yang tidak parah
d.Cacat
e.Mendapat tekanan hebat


Pihak yang berhak untuk mema'zulkan adalah qadhi (hakim) pada Mahkamah Madzalim (Mahkamah Konstitusi),  tentunya setelah pengadilan membuktikan penyimpangan-penyimpangan yang bersangkutan. Ahlussunnah wal-Jama'ah   berpandangan   bahwa   hak   pema'zulan   berada   di   tangan Mahkamah, bukan di tangan rakyat. Sementara Khawarij dan Syi'ah berkeyakinan,  bahwa pema'zulan  berada di  tangan  rakyat.  


Dari beberapa pendapat ulama, terdapat dua belas faktor yang menyebabkan khalifah atau kepala negara untuk dapat diimpeachment, yakni :
a.Melanggar Syari‟at Islam.
b.Melanggar konstitusi.
c.Melanggar hukum.
d.Menyimpang dari keadilan.
e.Kehilangan panca indera dan/atau organ-organ tubuh lainnya.
f.Kehilangan wibawa dan kebebasan bertindak karena telah dikuasai oleh orang- orang dekatnya.
g.Tertawan musuh.
h.Menjadi fasik atau jatuh ke dalam kecenderungan syahwat.
i.transgender.
j.Sakit jiwa yang tidak bisa disembuhkan atau cacat mental.
k.Menderita sakit keras yang tidak ada harapan untuk dapat sembuh total.
l.Murtad dari Islam.


Seorang pemimpin itu bisa dimakzulkan di dalam Islam khususnya ini pendapat Imam Al-Mawardi sesuai dengan yang otentik dari Imam Al-Mawardi Saya memiliki dua kesimpulan bahwa kutipan yang yang memaksudkan bahwa yang dimaksud dengan sifat adil adalah sifat yang berarti karakter moral atau kredibilitas moral Jadi bukan bukan keadilan dalam arti keadilan dalam keadilan ekonomi atau keadilan dalam bidang sosial itu bukan keadilan dalam arti seperti itu tapi berat lebih berarti lebih bermakna sifat atau berbagai dibeli tas moral seorang pemimpin itu yang dimaksud dengan gagal kalimat yang pertama sebab seseorang bisa dimakzulkan sebagai pemimpin umat Islam itu.

Jika ada lebih ada cacat pada sifat adil itu sempat kecil yang dimaksud kredibilitas moralnya ada bukankah hilang dalam arti keadilan yang empiris yang terjadi pada realitas kehidupan bernegara atau Permata rangkap. Kemudian komentar saya yang kedua itu adalah bahwa Sebenarnya apa yang diterangkan oleh Imam kalau Mawardi itu ada fokus yang khusus atau tempat yang khusus untuk memberlakukannya yaitu dalam sebuah tatanan masyarakat yang menerapkan Syariah Islam itu dengan kata lain itu diterapkan itu adalah negara yang menerapkan Syariah bukan dalam sistem demokrasi yang sekarang ya 

Jadi ini sebenarnya ada ada pembahasan yang ada konteks pembahasan yang berbeda Jadi apa yang disebutkan oleh Imam Mawardi itu titik Menurut saya itu tidak bisa diterapkan dalam konteks sekarang. Ketika dalam sistem politik Barat yaitu sistem politik Republik alat demokrasi yang menolak sekularistik dalam sistem yang sekuler itu berbeda dengan sistem yang diterangkan oleh Imam Al-Mawardi dalam sistem masyarakat yang diterangkan oleh Imam Mawardi itu meniscayakan mengisahkan penerapan Syariah Islam secara komprehensif sedangkan dalam sistem tata negara modern sekarang yang berlaku apa namanya syariat Islam yang diterangkan itu hanya bersifat parsial ya tidak mengatur urusan-urusan publik Jadi sekarang ini ya sistem yang ada sekarang ini disebut dengan sistem sekuler jadi ini sebenarnya sangat berbeda antara system yang diterangkan oleh Imam Mawardi dengan sistem yang ada sekarang.


Dengan adanya pertimbangan-pertimbangan yang melingkupi aspek-aspek filosofis, sosiologis dan yuridis atas adanya persyaratan dan ketentuan bagaimana seorang khalifah dapat dimakzulkan maka pada dasarnya khalifah hanyalah pembantu rakyat yang hanya bertugas untuk melayani. Khalifah yang tidak baik maka akan menjadi representasi yang tidak baik pula untuk negaranya, berdasarkan hal tersebut maka posisi khalifah haruslah memiliki integritas yang kuat dalam memimpin negara untuk memberikan jalan yang baik bagi jalannya pemerintahan dalam memfasilitasi umat untuk beribadah sepenuhnya kepada Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun