Pembicaraannya semakin panjang dan wajahnya semakin menarik untuk terus-menerus ku pandang. Dia tahu betul saat aku tidak menyimak ceritanya. Dia akan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Membelai lembut pipiku, lalu bibirnya mendekat, dan dia bisikkan di telingaku “apa menurutmu aku sedang mendongeng?”. Jika sudah demikian, aku hanya bisa memandangnya dengan tatapan memelas dan mulai memperhatikan ceritanya.
Awalnya hanya ada canda dan tawa dalam perbincangan kami, tetapi aku mulai terpancing sedikit emosi saat dia menceritakan seorang teman wanitanya. Telingaku memanas, hatiku bergejolak, dan bibirku tak bisa berhenti berbicara. Tidak sadarkah dia bahwa aku cemburu padanya. Aku hanya ingin dia mengatakan bahwa hanya aku satu-satunya yang dia cinta, tetapi itu hanya khayalan belaka. Kenyataannya, dia pergi meninggalkanku di tengah keramaian.
Tubuhku gemetar, napasku sesak, bendungan air matakupun hampir runtuh. Ku jatuhkan tubuhku di kursi dan memikirkan dalam-dalam apa yang baru saja terjadi. “salahkah aku? Salahkah yang aku ucapkan, hingga dia memutuskan untuk meninggalkanku sendiri di tengah orang-orang yang sedang bercengkrama mesra di depanku”.
Pikiranku kacau, tatapanku hampa, dan aku hanya bisa diam membisu. Tak ku hiraukan pandangan-pandangan sinis yang mengarah kepadaku. Aku ambil sehelai tissue dan ku tutup wajahku. Ku dengar handphoneku berdering, tanda pesan masuk.
Receive:
Tak perlu kamu rusak keceriaan kita dengan semua sikap kekanak-kanakanmu itu. Aku ingin pertemuan kita indah, bukan seperti ini. Lebih baik kamu pulang.
Air mataku menetes tanpa sempat ku cegah. Aku berusaha menekan tombol-tombol huruf dengan sekuat tenaga yang ku punya. Aku hanya ingin membalas pesan itu, namun entah kenapa jari-jemariku justru lemas dan gemetar.
Sent:
Aku masih ingin tetap di sini. Tak mengapa jika kamu memilih pergi. Aku minta maaf. Aku tahu yang ku lakukan adalah salah.
Hatiku semakin hancur berkeping. Sosok yang aku harapkan datang menghampiriku kembali, ternyata pergi menjauh dariku. Kini aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Aku tak dapat lagi menahan ini semua. Aku kuatkan kakiku, aku berdiri, dan mulai melangkahkan kaki keluar dari tempat pertemuan kami. Aku ingin pulang dan menceritakan kesedihanku pada langit yang mulai menguning.
Tiba-tiba aku merasa tubuhku ditarik dan aku hampir jatuh ke belakang. “kamu mau kemana?” tanyanya dengan wajah yang 360 derajat berbeda dengan saat kami pertama bertatapan. Aku hanya diam membisu dan menganggukkan kepala. “ya sudah, hati-hati” jawabnya singkat dan dengan cepat dia langkahkan kakiknya meninggalkanku. Meninggalkanku untuk yang kedua kalinya.