Mohon tunggu...
Ulfa Arifah
Ulfa Arifah Mohon Tunggu... Guru - Konselor SMP

Halo. saya suka membaca dan menulis. Mari berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengislamkan Masyarakat Muslim

26 Agustus 2024   09:00 Diperbarui: 26 Agustus 2024   09:04 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

          Menurut etimologi, islam berasal dari bahasa Arab, terambil dari asal kata salima yang berarti sentosa. Dari asal kata itu dibentuk kata aslama yang artinya memeliharakan dalam selamat sentosa, dan berarti juga menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat. Kata aslama itulah menjadi pokok Islam, mengandung segala arti yang terkandung dalam arti pokok. 

Sebab itu orang yang melakukan aslama atau masuk islam dinamakan muslim. Berarti orang itu telah menyatakan dirinya telah taat, menyerahkan diri, dan patuh kepada Allah swt. Dengan melakukan aslama selanjutnya orang itu terjamin keselamatan hidupnya di dunia dan akhirat (Nasaruddin, 1986:56)

          Tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim. Akan tetapi keislamannya masih sebatas formalitas yang ditunjukkan dengan tulisan 'Islam" di kartu tanda penduduk (KTP). Faktanya, dalam praktik kehidupan sehari-hari tidak sedikit dari mereka yang masih jauh dari ajaran islam. Sebagai contoh, banyak laki-laki maupun perempuan muslim yang yang belum paham cara menutup aurat yang benar, atau mereka sudah menutup aurat tapi tidak melaksanakan perintah Allah yang lain seperti sholat, atau pun sudah sholat tetapi tidak mengetahui ilmunya, dll.

Ketidakakraban mereka dengan ajaran agama, diantaranya disebabkan oleh beberapa hal:

Pertama, Pola asuh orang tua.

          Keislaman mayoritas masyarakat Indonesia adalah karena faktor keturunan. Anak yang dilahirkan oleh orang tua muslim, maka secara otomatis dia akan menjadi muslim. Sayangnya identitas ini tidak dibarengi dengan kesadaran bahwa, anak itu ibarat "gelas setengah isi", artinya secara kodrati setiap anak memiliki potensi kesucian/keislaman. 

Akan tetapi potensi itu akan menjadi potensi ansich atau tidak akan berkembang apabila lingkungan tempat dia tinggal (dalam hal ini menjadi tanggung jawab terutama orang tuanya) tidak memberikan kesempatan untuk belajar atau memahami dan mempraktekkan ilmu agama sejak dini.

           Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw. "Kullu mauluudin yuuladu 'alal fitrah, faabawaahu yuhaawidanuhu au yunassiroonuhu au yumajjisaanuhu". Jadi, hitam putihnya anak sangat bergantung dari cara kedua orang tuanya mendidiknya.

Kedua, Teladan Orang Tua

           Mencontoh adalah kodrat manusia. Hal ini seperti dikisahkan dalam Al-Qur'an dengan subyek putra nabi Adam yang pertama yaitu Qobil. Allah mengajarinya cara mnegubur saudara laki-lakinya Habil yang telah dibunuh, lewat seekor burung gagak.

          Dalam ilmu psikologi perkembangan pun dijelaskan bahwa nilai-nilai orang tua akan diserap oleh anak dan menjadi bagian dari dirinya melalui proses identifikasi, yaitu si anak menyamakan dirinya dengan orang yang ia cintai dan ia hormati, serta berusaha meniru mereka (Dewa Ketut Sukardi, 1986 :120).

          Orang tua adalah figur utama dalam pendidikan awal di rumah. Apapun yang orang tua dan orang dewasa atau yang lebih besar dari anak tersebut lakukan, akan ditiru dengan segera, dan apabila hal itu dilakukan berulang-ulang maka akan menjadi kebiasaan yang pada ahirnya akan membentuk watak/karakter. Hal ini diperparah dengan seringnya orang tua memerintah tentang sesuatu hal kepada anaknya, tetapi dia sendiri tidak melakukannya. Perlakuan ini selain akan menjadi contoh buruk bagi anak, juga akan membuat anak menjadi tidak percaya dan kehilangan rasa hormat kepada kedua orang tuanya. Dan Allahpun telah menegaskan dalam Al-Qur'an bahwa amat besar kebencian di sisi Allah bagi orang-orang yang mengucapkan tetapi dia sendiri tidak melakukan apa yang diucapkannya itu.

Ketiga, Kondisi Lingkungan

          Lingkungan yang dimaksud di sini adalah lingkungan di luar rumah. Saat anak masih kecil, pengaruh lingkungan diperantarai oleh orang dewasa di rumah yang membawanya ke luar rumah untuk berbaur dengan orang lain. Sejak anak mampu berjalan, sejak itu pula dia memiliki keinginan untuk keluar dari lingkungan keluarga menuju lingkungan masyarakat sekitarnya. Individu-individu dari banyak karakter keluarga berbaur ke dalam masyarakat dan saling mempengaruhi.

          Apabila pengaruh buruk di lingkungan masyarakat lebih dominan, maka anak akan mudah mentransfer, yang dengan seiring berjalannya waktu pengaruh tersebut akan mengkristal. Selanjutnya, dia akan menularkannya kepada orang lain atau lingkungan masyarakat lain yang dia kunjungi.

          Karena itu menjadi tugas yang teramat penting bagi semua anggota masyarakat, terlebih para tokohnya untuk mendidik individu-individu dalam masyarakat tersebut. Dan tidak kalah pentingnya peran para orang tua kepada anak-anaknya. Hanya orang tua yang berkualitas yang mampu membangun keluarga dan masyarakat yang baik. 

Untuk itu, setiap orang dewasa berkewajiban untuk terus belajar memperbaiki diri, supaya kelak mampu memperbaiki orang lain. Jalan memperbaiki diri tersebut tidak lain adalah dengan mendalami ilmu ahirat dan dunia atau ilmu agama dan ilmu umum. 

Meskipun pada hakikatnya sumber ilmu itu satu yaitu Allah. Ilmu ketuhanan akan menginspirasi manusia untuk tidak henti-hentinya 'meneguk' ilmu Allah yang Maha Luas, yang tidak akan pernah habis. Digalakkannya taman-taman pendidikan dalam berbagai bentuk untuk berbagai usia dengan pendidikan yang bermutu adalah sebuah keniscayaan.

Keempat, Pendidikan di Sekolah

           Sebelum istilah pendidikan karakter muncul, saat itu yang diutamakan di hampir semua sekolah formal adalah kepandaian dan kecerdasan otak kiri (IQ).

          Proses berpikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linear, dan rasional. Walaupun berdasarkan realitas, ia mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolis. Cara berpikirnya sesuai untuk tugas-tugas teratur ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi auditorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik dan simbolisme. Sedangkan cara berpikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat nonverbal, seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan perasaan (merasakan kehadiran suatu benda atau orang) kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas dan visualisasi(Bobby dan Mike, 2000: 36). Untuk mencapai keberhasilan hidup kedua otak tersebut harus bekerja seimbang dan saling mendukung. Keduanya harus dilatih sejak kecil.

           Pada waktu yang lalu, seorang siswa akan disebut hebat jika dia pandai dalam ilmu eksak (IPA dan Matematika). "Kehebatan" tersebut tidak terlepas dari kondisi kecerdasan siswa yang bersangkutan (selain faktor latihan/lingkungan yang mendukung, dan gizi). Padahal kecerdasan adalah masalah gen (sifat yang bisa diturunkan), sehingga nasib anak-anak dari keturunan 'kurang cerdas' akan tersisihkan.

          Sementara, kecerdasan otak kiri yang berkaitan dengan fungsi berpikir, manalar, menganalisis, berhitung, menulis, menghafal, dan mengurutkan, tidak diimbangi dengan latihan mencerdaskan otak kanan (EQ dan SQ) dengan sungguh-sungguh yakni berkaitan dengan perasaan, cita-cita, kebijaksanaan, cinta, sifat diri, dan nilai-nilai (agama). Akhirnya, IQ dan kepandaian tersebut difungsikan tanpa memperhatikan nilai-nilai/baik buruk. Karena itu lahirlah orang-orang pintar tetapi tanpa karakter (akhlak).

          Faktanya, tiap anak yang lahir itu memiliki potensi yang sama, serta memiliki multitalenta. Berhasil atau tidaknya anak tersebut (berkembang tidaknya talenta tersebut menjadi kemampuan) di kemudian hari sangat tergantung dari lingkungan di luar dirinya (terutama orang tua dan pendidikan di sekolah). Dan pendidikan karakter, termasuk di dalamnya pendidikan agama merupakan dasar bagi terbentuknya jiwa-jiwa yang memiliki semangat belajar yang tinggi dan semangat untuk terus melakukan kebajikan.

          Oleh sebab itu, pendidikan di era teknologi dan informasi ini, karakter dan pelajaran agama mulai diintensifkan kembali sebagai dasar, filter, sekaligus benteng dari pengaruh buruk globalisasi. Kurikulum dan manajemen sekolah yang tangguh sangat dibutuhkan, termasuk menghadirkan suasana sekolah yang agamis yang ditunjukkan dengan kegiatan rutin warganya baik guru maupun siswa dan karyawan. Seperti misalnya, disiplin melaksanakan sholat dzuha atau dzuhur berjamaah terjadwal, mengawali pelajaran pagi dengan puji-pujian  untuk mengingat Sang Pemberi Ilmu, mengintegrasikan nilai-nilai agama dalam tiap mapel, selalu menjadi contoh yang baik dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan, selalu memotivasi siswa dan teman sejawat dan menghindari hal-hal yang membuat siswa tidak percaya dan hilang rasa hormat terhadap guru serta memanfaatkan setiap potensi diri dan fasilitas sekolah secara optimal.

Kelima, Fasilitas Hiburan

          Di era teknologi informasi ini tiap individu di segala usia telah nyata dimanjakan dengan adanya fasilitas yang mudah nan canggih. Gadget telah menjadi raja dan guru yang seakan harus didahulukan (dari sholat, dll.), ditakuti (bila tidak menonton program tertentu), dan dipatuhi (keinginan kuat untuk mengikuti gaya hidup). Racun-racun pikiran dari konten-konten yang kurang bermanfaat benar-benar telah melemahkan syaraf dan jiwa manusia, menyibukkannya dengan dunia dan membuat hati menjadi mati dari mengingat Allah.

          Kehadiran benda "ajaib" itu menjadi semakin memprihatinkan ketika bayi, anak-anak, dan remaja yang nota bene masih dominan emosinya dari pada penggunaan akalnya menikmati semua konten, tanpa orang dewasa mampu mengontrolnya. Handphone yang pada awal penciptaannya ditujukan untuk mempermudah manusia dalam berkomunikasi dan mencari informasi penting, telah disalahfungsikan untuk melakukan hal-hal yang tidak terpuji yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Misalnya browsing dan sharing gambar ataupun video porno, sex chat, "kencan", penipuan, tindak kekerasan verbal, dan perdagangan manusia (Human Trafificking).

          Berbagai jenis games dan fasilitas chatting dalam gadjet, maupun tempat-tempat hiburan seperti caf, diskotik, sebagaian hotel, salon, dan panti pijat, membuat anak-anak, remaja dan dewasa melupakan tugas utamanya dan cenderung ingin menyimpang dari ajaran agama.

          Sebagian kerusakan fisik dan psikis manusia itu disebabkan oleh kurangnya kemampuan dalam mengontrol nafsu dari godaan duniawi di atas, juga kurangnya kemampuan dalam memanage atau memfungsikan fasilitas secara benar.

          Sejatinya, apabila manusia cerdas, maka adanya fasilitas tersebut justru akan menjadikan manusia sehat dan banyak prestasi - karena adanya kemudahan dan kelimpahan/keserbaadaan. Dengan demikian masalahnya terletak pada diri manusia itu sendiri. Kendali terletak pada diri, yang mana hal tersebut bisa dilatih dengan terus menumbuhkan motivasi intrinsic untuk menanamkan nilai-nilai luhur pada diri sendiri dan orang lain di sekitarnya dengan cara bersama-sama dan mandiri mengkaji agama serta memaksakan diri untuk belajar menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

                                                               DAFTAR PUSTAKA

 

DePorter, Bobby; Hernacki, Mike. 2000. Quantum Learning. Kaifa. Bandung.

Dewa Ketut Sukardi. 1986. Bimbingan Perkembangan Jiwa Anak. Ghalia Indonesi. Jakarta.

Nasaruddin Razak. 1986. Dienul Islam. Al-Ma'arif. Bandung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun