Orang tua adalah figur utama dalam pendidikan awal di rumah. Apapun yang orang tua dan orang dewasa atau yang lebih besar dari anak tersebut lakukan, akan ditiru dengan segera, dan apabila hal itu dilakukan berulang-ulang maka akan menjadi kebiasaan yang pada ahirnya akan membentuk watak/karakter. Hal ini diperparah dengan seringnya orang tua memerintah tentang sesuatu hal kepada anaknya, tetapi dia sendiri tidak melakukannya. Perlakuan ini selain akan menjadi contoh buruk bagi anak, juga akan membuat anak menjadi tidak percaya dan kehilangan rasa hormat kepada kedua orang tuanya. Dan Allahpun telah menegaskan dalam Al-Qur'an bahwa amat besar kebencian di sisi Allah bagi orang-orang yang mengucapkan tetapi dia sendiri tidak melakukan apa yang diucapkannya itu.
Ketiga, Kondisi Lingkungan
     Lingkungan yang dimaksud di sini adalah lingkungan di luar rumah. Saat anak masih kecil, pengaruh lingkungan diperantarai oleh orang dewasa di rumah yang membawanya ke luar rumah untuk berbaur dengan orang lain. Sejak anak mampu berjalan, sejak itu pula dia memiliki keinginan untuk keluar dari lingkungan keluarga menuju lingkungan masyarakat sekitarnya. Individu-individu dari banyak karakter keluarga berbaur ke dalam masyarakat dan saling mempengaruhi.
     Apabila pengaruh buruk di lingkungan masyarakat lebih dominan, maka anak akan mudah mentransfer, yang dengan seiring berjalannya waktu pengaruh tersebut akan mengkristal. Selanjutnya, dia akan menularkannya kepada orang lain atau lingkungan masyarakat lain yang dia kunjungi.
     Karena itu menjadi tugas yang teramat penting bagi semua anggota masyarakat, terlebih para tokohnya untuk mendidik individu-individu dalam masyarakat tersebut. Dan tidak kalah pentingnya peran para orang tua kepada anak-anaknya. Hanya orang tua yang berkualitas yang mampu membangun keluarga dan masyarakat yang baik.Â
Untuk itu, setiap orang dewasa berkewajiban untuk terus belajar memperbaiki diri, supaya kelak mampu memperbaiki orang lain. Jalan memperbaiki diri tersebut tidak lain adalah dengan mendalami ilmu ahirat dan dunia atau ilmu agama dan ilmu umum.Â
Meskipun pada hakikatnya sumber ilmu itu satu yaitu Allah. Ilmu ketuhanan akan menginspirasi manusia untuk tidak henti-hentinya 'meneguk' ilmu Allah yang Maha Luas, yang tidak akan pernah habis. Digalakkannya taman-taman pendidikan dalam berbagai bentuk untuk berbagai usia dengan pendidikan yang bermutu adalah sebuah keniscayaan.
Keempat, Pendidikan di Sekolah
      Sebelum istilah pendidikan karakter muncul, saat itu yang diutamakan di hampir semua sekolah formal adalah kepandaian dan kecerdasan otak kiri (IQ).
     Proses berpikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linear, dan rasional. Walaupun berdasarkan realitas, ia mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolis. Cara berpikirnya sesuai untuk tugas-tugas teratur ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi auditorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik dan simbolisme. Sedangkan cara berpikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat nonverbal, seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan perasaan (merasakan kehadiran suatu benda atau orang) kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas dan visualisasi(Bobby dan Mike, 2000: 36). Untuk mencapai keberhasilan hidup kedua otak tersebut harus bekerja seimbang dan saling mendukung. Keduanya harus dilatih sejak kecil.
      Pada waktu yang lalu, seorang siswa akan disebut hebat jika dia pandai dalam ilmu eksak (IPA dan Matematika). "Kehebatan" tersebut tidak terlepas dari kondisi kecerdasan siswa yang bersangkutan (selain faktor latihan/lingkungan yang mendukung, dan gizi). Padahal kecerdasan adalah masalah gen (sifat yang bisa diturunkan), sehingga nasib anak-anak dari keturunan 'kurang cerdas' akan tersisihkan.