Sebuah nampan berisi sepiring nasi dengan lauk sayur bening dan ikan tuna goreng tersedia di sana. Tak ketinggalan satu ceret air putih dan empat potong apel yang telah dikupas. Setelah meletakkan di atas meja dekat pintu, laki-laki yang membawa makanan itu keluar tanpa sepatah kata.
Imelda dapat mendengar suara gemerisik kunci saat lelaki itu menggembok pintu kamarnya dari luar. Ia tetap pada tempatnya. Tak bergerak.
Air mata mulai jatuh di pipinya. Angin pagi itu berhembus lembut menerpa kulit wajahnya. Imelda merasakan tangan lembut berwarna jingga menyentuh pipinya.
“Kenapa kau baru datang? Aku kesepian. Aku ingin kau selalu di sini bersamaku”, bisik Imelda.
Aku harus memberi ketenangan kepada orang-orang di Selatan. Mereka juga membutuhkan aku. tapi aku akan selalu datang dan menemanimu setiap saat. Aku akan menghiburmu dengan warna-warnaku. Kau pasti suka.
“Aku merindukanmu. Aku ingin mendekapmu. Aku ingin merasakan hangatnya dirimu. Biar para kupu-kupu bersayap ungu itu menjadi saksi cinta kita..” Imelda mengeluarkan tangannya ke balik jeruji.
Imelda sayang, kau telah mematahkan sayap kupu-kupu berwarna ungu. Kini dia mati. Apakah kau tak punya belas kasihan kepadanya? Apa kau tak merasa ingin dia hidup bebas?
“Tidak. Ini tak adil. Mereka bisa berterbangan bebas di hadapanku. Sedangkan aku terkurung di sini.” Imelda menarik kembali tangannya dan berpaling membelakangi jendela. Ia menatap kamarnya yang penuh dengan lemari kayu.
Hembusan beraroma mawar jingga menyelinap masuk ke dalam kamar. “Kamu mengatakan akan selalu ada untukku. Tapi kau tak pernah ada saat aku butuh kamu? Di mana kamu?”
Aku akan berjanji selalu ada di sisimu, Imelda. Kamu harus berjanji padaku. Kau tak akan menyakiti kupu-kupu lagi. Apapun warna kupu-kupu itu. Atau aku tak akan lagi dengan warna-warna yang kau suka.
“Beri aku kebebasan romeoku. Ajak aku keluar...!!! Beri aku udara segar dengan warna-warna indahmu. Beri aku surga itu”, Imelda meraung-raung.