Tahun rilis: 2023 | Studio: Montase Productions | Sutradara: Himawan Pratista| Produser: Himawan Pratista| Penulis Naskah: Himawan Pratista | Pemain: Hadi Manuto  Teky Nugroho  Gunadi | Music: G. Yogaswara| Sinematografi: Anton Rah Utomo | Durasi: 71 menit | Bujet: 35-50 juta | Box office: -
"Saiki ng omah wae.. ojo metu-metu"
"Man's measure is dwarfed by the vastness of nature." Kalimat sebelumnya saya nukil dari dialog dalam film Dersu Uzala (1975), karya salah satu sutradara paling berpengaruh di muka bumi asal Jepang, Akira Kurosawa.Â
Kalau anda ingin menerjemahkan secara harfiah menggunakan Google Terjemahan, maka artinya adalah ukuran manusia dikerdilkan oleh luasnya alam. Atau jika ingin dibuat terjemahan dengan versi yang lebih retoris, sebesar apapun kehebatan manusia, pada akhirnya, tidak ada seujung kuku pun bila bandingannya adalah alam.Â
Pernyataan sebelumnya terbilang sangat kontemplatif dan penuh rindu terhadap kefitrahan kita. Mengingat manusia hari ini hidup di tengah hiruk pikuk zaman yang terus berlari menjauh dengan segala temuannya. Dan sebagai penonton terhadap medium film yang berhakikat multi-tafsir, saya menangkap pesan itu disampaikan ketika menonton Pagebluk (2023). Sebuah debut film panjang berdurasi 80 menit. Film persembahan Montase Production ini bisa disaksikan di Genflix. Untuk film tersebut, inilah sebuah ulasan.
Membayangkan Akira Kurosawa bekerja
Pagebluk adalah sanjungan gamblang terhadap Akira Kurosawa secara bertanggung jawab. Himawan Pratista kepada Akira Kurosawa, seperti seorang anak kecil mengidolakan tokoh pahlawan. Lalu dengan penuh keliaran, mungkin berkata pada dirinya sendiri, "apa jadinya kalau Akira Kurosawa sempat membuat film horor?" dan lalu segera direvisinya, "apa jadinya kalau saya, menjadi Akira Kurosawa, lalu membuat film horor?"
Alkisah, di salah satu sudut lereng gunung Merbabu, terjadi sebuah kejadian yang janggal menimpa sebuah desa. Kematian merenggut korban jiwa begitu banyak dalam hitungan waktu yang singkat. Mereka yang mati disebabkan oleh sebuah wabah, namun tak ada yang tahu apa nama pun jenis penyakit ini. Semuanya terjadi begitu misterius. Hingga seorang sesepuh dari entah bernama Mbah Surip mencium keadaan ini. Dengan kolaborasi bersama Pak Bayan, si kepala desa terdampak wabah, mereka mencoba memecahkan dan mengatasi malapetaka ini.
Baik di dalam layar maupun di luar layar, Pagebluk mencoba menjabarkan hubungannya dengan alam raya. Dan ini juga umum kita lihat dalam setiap film Akira Kurosawa. Hujan, salju, angin, dan kabut menjadi elemen tak terpisahkan bahkan nyaris dalam setiap shot-nya. Di dalam layar, Pagebluk menjalin hubungan mesra dengan kabut.Â
Perannya sebagai keperluan naratif karena logika latar tempat di sebuah lereng pegunungan. Sementara sebagai keperluan sinematik, kabut menjadi latar dalam setiap shot yang berada di luar ruangan.Â
Sehingga bahasa visual memunculkan sebuah kesan dalam benak saya. Betapa 'berkabut' kejelasan wabah ini untuk dilihat oleh mata yang kosong baik bagi karakter di dalam cerita pun bagi  penonton. Dengan penggunaan elemen alam tersebut, tentu penonton setia Akira Kurosawa akan begitu mudah mengenang pengalaman menonton film-filmnya beliau.
Salah satu hal lain yang kentara juga baik dalam film Akira Kurosawa pun Pagebluk ini adalah bagaimana plot bergerak dalam tempo yang sabar atau bergaya slow-burn cinema. Laju perpindahan gambar selalu memotong ketika karakter bergerak. Jangan lupakan wipe transition yang juga dipakai.
Tidak hanya lokalitas, Pagebluk berusaha meramu kekuatannya dengan tambahan racikan khas Hollywood. Ini terlihat dari bagaimana Mbah Surip dan Pak Bayan bekerja menuntaskan misteri wabah. Ibarat seorang detektif yang bekerja, dibantu sheriff setempat.Â
Hubungan dua karakter ini sepanjang film, bagi saya pribadi yang kebetulan juga menonton beberapa film dan membaca komik superhero, terasa bak hubungan superhero dengan sidekick-nya.Â
Khusus cerita Pagebluk, maka rasa-rasanya ini masih cocok berada dalam DC Vertigo. Namun, Pagebluk jauh lebih Indonesiais dengan adegan pertarungan tanpa sentuh alias tenaga dalam. Ini sering saya lihat di cerita-cerita komik silat dan tradisi ilmu bela diri khas nusantara.Â
Antara anak manusia dan ibu bumi
Hari ini industri film kita tengah dihadang tsunami film horor. Masukkanlah kata-kata semisal setan, iblis, darah, merah, nama sosok hantu, dan apa saja berbau mistis pada sebuah judul film. Satu juta penonton dalam konteks raihan penonton minimal adalah sebuah keniscayaan. Lalu, dalam sapuan ini, apa daya tawar Pagebluk sebagai film horor?
Pagebluk berusaha memberikan teror tanpa hadirnya sosok setan yang tiba-tiba muncul lewat cut to memuakkan. Melainkan kebuntuan pada diri setiap karakter di dalamnya dan penonton di luarnya tentang apa penyebab wabah. Belum lagi teka-teki bagaimana cara mengatasinya. Penyakit mematikan yang tampak begitu menyiksa raut para korban.Â
Secara umum, Pagebluk menghadirkan narasi melalui elemen lokalitas. Dan sebetulnya, lokalitas dalam sebuah film horor bukanlah barang baru. Namun, adakah film horor yang sukses mengusung lokalitas seotentik mungkin?Â
Tengok salah satu film horor kita, Perempuan Tanah Jahanam (2019) misalkan. Secara komersil ia terbilang sukes. Secara artistik film ini diakui publik dunia lewat penayangan plus sambutan positif di berbagai festival kaliber internasional.Â
Tapi bagi saya secara tematis, film ini bahkan tak mampu menerobos batas konstruksi, bahwa desa dalam kacamata manusia kota, adalah tempat yang ternyata tertinggal, menyimpan misteri menakutkan, dan hal tak terduga lainnya. Maka keberhasilan Pagebluk secara naratif adalah dengan tidak melakukan hal yang sama dilakukan oleh Perempuan Tanah Jahanam.Â
Pagebluk mengajak penonton kita untuk bernostalgia. Dengan telaten ia berusaha merayakan sesuatu yang telah melekat dalam masyarakat Nusantara khususnya Jawa yaitu dunia arwah. Pemujaan terhadap roh leluhur (animisme) dan benda-benda yang memiliki kekuatan gaib (dinamisme) lebih dulu hadir di muka bumi ini sebelum didatangi agama-agama baru.Â
Penggunaan roh leluhur yang marah terhadap kerakusan manusia lereng Merbabu dalam Pagebluk adalah contohnya. Dengan berangkat dari kejadian serupa yang juga pernah terjadi di tempat yang sama, Pagebluk mengajak kita kembali mengingat memori masyarakat kolektif yang terendap jauh akibat modernitas .
Pagebluk memilih menyelesaikan masalahnya dengan kesepakatan yang diraih antara Mbah Surip dengan roh leluhur. Dengan cara meyakinkan bahwa manusia tidak akan mengulangi hal yang sama, yaitu rakus terhadap alam dan isinya. Itu sesuatu yang indah, menyatukan kembali semua manusia bersama-sama, agar bisa menyatu kembali dengan alam.Â
Mengutip dari sebuah kalimat yang pernah saya temukan bahwa buku dan film, merepresentasikan kehidupan jauh lebih baik ketimbang hidup itu sendiri. Itulah alasan saya lebih menyukai buku dan  khususnya film. Sebab di kehidupan nyata, kita saat ini tidak memiliki Mbah Surip, atau mungkin lebih tepatnya, kita sulit sekali untuk menjadi Mbah Surip.Â
Tapi, nilai bagaimana setiap manusia di lereng Merbabu kelak harus bersama-sama untuk tidak mengeksploitasi alam berlebihan, itu adalah yang penting untuk diteladani.Â
Hari ini nilai kolektifitas itu yang hilang. Padahal hal itu sangatlah penting ketimbang menumpukan penyelesaian masalah pada pergerakan individu. Tentu sangat menarik rasanya bagaimana sebuah film horor dengan segala 'kewajibannya' namun tetap mampu menyampaikan pesan penting. Kiranya, Pagebluk mungkin adalah puisi sinema tentang kerinduan diri purba kita yang tak pernah mau peduli lagi dengan alam.
'Pagebluk' film horor kita
Membaca tulisan berjudul Asih 2, Cermin Horor Indonesia Kontemporer, membuat saya sadar bahwa industri film horor Indonesia sedang mengalami 'pagebluk'. Ini rasanya sangatlah ironis. Hampir semua film horor kita saat ini diserang penyakit: kebobrokan kenaskahan.Â
Negara dari benua Amerika Latin dan Asia punya material kultur realisme-magis yang kental tur melimpah. Dan ini bisa jadi modal penting bagi para pembuat film di negeri kita dalam mengolah narasi horor. Pun di luar itu, saya percaya masih banyak ide otentik yang segar menunggu untuk dijamah dengan rasa khas Indonesia.Â
Secara kemampuan, jika melihat beberapa pencapaian sinematik di beberapa film horor Indonesia kiwari tertentu, saya berani menyebut kita berada di fase permulaan dan peningkatan pembelajaran filmis.Â
Nuansanya terasa optimistis. Namun hal ini sangat sia-sia jika pada akhirnya kita harus selalu menonton film horor yang keterlaluan mengumbar sensasi. Tak ada terobosan penting atau wacana serius yang hadir.Â
Saya sepakat dibilang naif jika disebabkan menghamba pada sebuah prinsip: quality over quantity. Pernyataan sebelumnya bisa jadi sekedar angin lalu bagi para pemilik modal. Namun, bagi siapapun mereka yang ada di jajaran struktural, kita butuh lebih banyak film horor seperti Pagebluk dalam meningkatkan level mutu film horor domestik.Â
Beberapa pembuat film horor telah memberi contoh lewat karya yang hadir di sirkuit festival film internasional. Publik dunia, sedikit demi sedikit, mengakui potensi kita. Tapi baru mereka saja pembuat film horor yang segelintir itu nampaknya punya jalan mulus bebas hambatan untuk memaksimalkan kiprahnya.Â
Mengasyikkan rasanya jika banyak pembuat film horor dapat mengarungi perjalanan di jalur tersebut. Pemangku kebijakan film dalam negeri di elemen apapun, wajib peduli pada kondisi itu. Khususnya di tengah geliat film horor kita yang tengah seperti jamur di musim hujan.Â
Pagebluk kemudian ada bagai oase. Saya akhirnya harap-harap cemas, kalau di luar sana ada banyak 'Pagebluk' lain dengan kematangan kreatifnya. Namun lihat saja proses produksi yang dilakukan oleh kawan-kawan dari komunitas yang berpusat di Yogyakarta ini. Dengan bujet yang sangat sesak Montase berusaha memanjangkan nafas artistik semerenah mungkin. Konon, dengan nominal yang ada di kisaran 30 jutaan, film ini pun sampai perlu diselesaikan dalam waktu 2 tahun.Â
Karena proses pandemi yang tiba-tiba datang dan menunda, lalu pengumpulan biaya yang amat dipaksa sabar untuk kepenuhan teknis pengambilan gambar, adalah penyebabnya.Â
Dan hal mengejutkan lainnya ketika ditelisik lebih lanjut dengan si pembuat film, saking terbatasnya, Pagebluk dilakukan shot on location. Tambahnya lagi, jangankan proses seleksi penayangan di festival bergengsi, film ini dapat rampung saja, begitu banyak kalimat syukur yang diucap. Hanya komunitas film independen yang kiranya akan mengalami hal seperti ini.Â
Dengan kondisi seterdesak itu, apakah ini sesuatu yang baik atau sebaliknya? sampai kapan kita harus meromantisasi keterbatasan proses kreatif? Akhir kata, untuk siapapun Bapak dan Ibu terkasih yang bisa menentukan arah industri film horor kita, mohon untuk tidak berhenti melakukan perubahan. Semoga kebaikan selalu meliputi kalian dalam bekerja. Sebab dari jeri payahnya kelak yang nanti akan menentukan, apakah film horor kita mampu lebih 'menakutkan' lagi dari sebelumnya atau tidak.
Mari bersama-sama hentikan 'pagebluk' yang menjangkit industri film horor kita.
Laman untuk menonton film:
https://genflix.co.id/movie/5d056ae5-29de-4486-831b-dff438422319
Rujukan kepenulisan:
Miftachul Arifin - Asih 2, Cermin Horor Indonesia Kontemporer, Montase Film Community, 10 Agustus 2021, Yogyakarta
Rekka Wahyu - Konsep Ketuhanan Animisme dan Dinamisme, Jurnal Penelitian Multi Disiplin Vol. 01 No. 02, Desember 2022, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Medan
Shindy Lan - Style of "the Pictorial Shakespeare": Auteur Theory Applying to Akira Kurosawa's Work, Review of Educational Theory Vol. 01 Issue 04, October 2018, The University of Manchester
Rishab Shandilya - The Filmmaking Style Of Akira Kurosawa, Explained: How Kurosawa Meddles With His Viewer's Emotions, Film Fugitives, 26 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H