Secara kemampuan, jika melihat beberapa pencapaian sinematik di beberapa film horor Indonesia kiwari tertentu, saya berani menyebut kita berada di fase permulaan dan peningkatan pembelajaran filmis.Â
Nuansanya terasa optimistis. Namun hal ini sangat sia-sia jika pada akhirnya kita harus selalu menonton film horor yang keterlaluan mengumbar sensasi. Tak ada terobosan penting atau wacana serius yang hadir.Â
Saya sepakat dibilang naif jika disebabkan menghamba pada sebuah prinsip: quality over quantity. Pernyataan sebelumnya bisa jadi sekedar angin lalu bagi para pemilik modal. Namun, bagi siapapun mereka yang ada di jajaran struktural, kita butuh lebih banyak film horor seperti Pagebluk dalam meningkatkan level mutu film horor domestik.Â
Beberapa pembuat film horor telah memberi contoh lewat karya yang hadir di sirkuit festival film internasional. Publik dunia, sedikit demi sedikit, mengakui potensi kita. Tapi baru mereka saja pembuat film horor yang segelintir itu nampaknya punya jalan mulus bebas hambatan untuk memaksimalkan kiprahnya.Â
Mengasyikkan rasanya jika banyak pembuat film horor dapat mengarungi perjalanan di jalur tersebut. Pemangku kebijakan film dalam negeri di elemen apapun, wajib peduli pada kondisi itu. Khususnya di tengah geliat film horor kita yang tengah seperti jamur di musim hujan.Â
Pagebluk kemudian ada bagai oase. Saya akhirnya harap-harap cemas, kalau di luar sana ada banyak 'Pagebluk' lain dengan kematangan kreatifnya. Namun lihat saja proses produksi yang dilakukan oleh kawan-kawan dari komunitas yang berpusat di Yogyakarta ini. Dengan bujet yang sangat sesak Montase berusaha memanjangkan nafas artistik semerenah mungkin. Konon, dengan nominal yang ada di kisaran 30 jutaan, film ini pun sampai perlu diselesaikan dalam waktu 2 tahun.Â
Karena proses pandemi yang tiba-tiba datang dan menunda, lalu pengumpulan biaya yang amat dipaksa sabar untuk kepenuhan teknis pengambilan gambar, adalah penyebabnya.Â
Dan hal mengejutkan lainnya ketika ditelisik lebih lanjut dengan si pembuat film, saking terbatasnya, Pagebluk dilakukan shot on location. Tambahnya lagi, jangankan proses seleksi penayangan di festival bergengsi, film ini dapat rampung saja, begitu banyak kalimat syukur yang diucap. Hanya komunitas film independen yang kiranya akan mengalami hal seperti ini.Â
Dengan kondisi seterdesak itu, apakah ini sesuatu yang baik atau sebaliknya? sampai kapan kita harus meromantisasi keterbatasan proses kreatif? Akhir kata, untuk siapapun Bapak dan Ibu terkasih yang bisa menentukan arah industri film horor kita, mohon untuk tidak berhenti melakukan perubahan. Semoga kebaikan selalu meliputi kalian dalam bekerja. Sebab dari jeri payahnya kelak yang nanti akan menentukan, apakah film horor kita mampu lebih 'menakutkan' lagi dari sebelumnya atau tidak.
Mari bersama-sama hentikan 'pagebluk' yang menjangkit industri film horor kita.
Laman untuk menonton film: