Buku ini membawa saya menyelami kembali karakter bangsa Indonesia yang lama tak terekspos. Setiap hari kita sudah terlalu banyak dijejali dengan berita soal kriminalitas, aksi politik kotor, atau korupsi yang merajalela, seolah bangsa ini tak punya lagi sisi baiknya. Dari 20 kisah dalam buku ini, saya seperti menemukan kembali arti tentang pantang menyerah, keberanian, kreativitas dan kepedulian terhadap sesama. Disadari atau tidak, orang-orang dalam kisah di buku ini berusaha membawa perubahan bagi dirinya maupun masyarakat sekitarnya dengan aksi yang terbilang sederhana namun berdampak besar. Mereka berusaha berdaya dan juga memberdayakan.
Soal tahan banting dan pantang menyerah, saya menemukannya pada tokoh Hanggono dalam membangun getuk Marem (hal. 1), Taryat dalam membesarkan brand Alia Chocolate (hal. 121) dan Ulyati dengan Kerupuk Sanjai-nya (hal. 145). Bagaimana kisah mereka selama merintis usahanya masing-masing, bertahan dari godaan untuk tidak berhenti hanya karena barang dagangannya kurang direspon pasar sungguh cerita yang bisa menggugah.
Simak bagaimana isteri pak Hanggono yang hampir menyerah ketika marem yang diproduksi lebih banyak daripada yang terjual (hal. 6), Taryat yang produk coklatnya seringkali ditolak mentah-mentah oleh beberapa toko saat mereka hendak menitipkan produknya (hal. 126) atau Kerupuk Sanjai yang sempat oleng terhantam badai krisis moneter (hal. 151). Nyatanya, mereka mampu bertahan hingga kini bisa mereguk manisnya makna pantang menyerah tersebut. Kini, produk mereka tergolong market leader di segmennya masing-masing.
Perihal keberanian, ada cerita soal Sunardi yang berani mengambil pensiun dini dari pekerjaannya sebagai PNS demi memulai usaha (hal. 133). Ada lagi Syarief Hidayatullah, sarjana informatika berusia 25 tahun yang memutuskan menjadi petani selepas lulus kuliah (hal. 157), atau kisah Faizal Abdillah, Sarjana penerima beasiswa bidik misi yang membangun kampung halamannya dengan membranding Iket Jawa (hal. 181).
Dari cerita mereka kita bisa melihat bagaimana sebuah idealisme bisa memacu keberanian untuk mengambil langkah anti mainstream. Sangat jarang ada orang yang mau melepas kepastian mendapat gaji bulanan sebagai PNS; adalah langka seorang anak muda memutuskan menjadi petani; atau seorang lulusan institute ternama berani balik kampung demi membangun daerah asalnya. Melalui goresan pena kompasianer, mereka bertiga seolah menyeru kita untuk berani melangkah demi memperjuangkan apa yang kita yakini.
Bahwa kreatifitas merupakan kunci dalam membangun usaha bisa dibaca dalam kisah Suwono Ubah Kotoran Manusia Jadi Pupuk Organik (hal. 25). Kisah ini memaparkan bagaimana kotoran manusia yang secara tak sengaja dibuang ke areal pesawahan malah bisa menyuburkan tanaman lebih daripada penggunaan pupuk kimia. Ini membuat produksi sawahnya malah lebih banyak dibanding yang lainnya. Cerita serupa bisa ditemui dalam cerita berjudul Tas Kreasi Solihin Digemari Pasar Dunia (hal. 161). Kisah pengrajin bali yang dituturkan kompasianer Agung Soni ini menceritakan bagaimana Solihin mampu menjual kreasi tas dari kain-kain bekas menjadi produk unggul dengan kualitas ekspor.
Kedua kisah diatas menggambarkan bahwa dengan ide dan kreatifitas sesuatu yang dianggap sampah bisa jadi malah bernilai ekonomis jika diolah dengan tepat. Soal kreatifitas ini disinggung pula oleh Pepih Nugraha, COO Kompasiana, dalam pengantar buku ini.
Dari Milda saya belajar soal pemberdayaan bisa dilakukan oleh siapa saja. Milda yang hanya lulusan paket C memberi contoh bahwa kita tak perlu pendidikan tinggi untuk bisa berbakti bagi masyarakat. Simak pula kisah Domingus Nones (hal. 117) yang menggerakan kelompok Tani di Pulau Halmahera untuk menanam pala secara organik. Domingus yang hanya sempat sekolah hingga kelas 5 SD memimpin 3.505 petani dalam kelompok taninya hingga meraih omzet Rp. 31,5 Milyar.  Sementara itu, Bodro Irawan mengajarkan bahwa bisnis bukan melulu soal profit, dan untuk memberdayakan tak perlu memberatkan orang lain. Ada sisi ketulusan  terpancar dari kisah mereka. Â
Begitulah, semua kisah dalam buku ini teruntai dalam satu tema besar pemberdayaan. Menariknya, tak semua tokoh dalam buku ini mungkin menyadari bahwa apa yang mereka lakukan memang diniatkan untuk membantu orang sekitarnya. Pada mulanya, Sebagian mungkin mengajak tetangganya bekerja untuk sekedar membantu produksi usahanya saja, namun siapa sangka apa yang mereka tawarkan bisa begitu berarti dalam menyambung hidup orang sekitarnya. Dari kisah Hanggono saya menemukan perjalanan Getuk Marem selama lebih dari 20 tahun telah menjadi bagian cerita kehidupan untuk tiga orang tetangganya, pekerja Getuk Marem sejak awal berdiri. Ada lagi pola kemitraan berupa plasma dalam bisnis kerupuk Sanjai, dimana produksi kerupuk dilakukan oleh plasma-plasma (sub usaha) yang dimiliki oleh masyarakat sekitar tentu saja memberi kontribusi ladang usaha bagi masyarakat. Bagi-bagi rezeki, yang membuat orang lain lebih berdaya adalah inti dari pemberdayaan.
Lebih jauh, di buku ini kita bisa membaca bagaimana kiprah sebuah korporasi dalam memberdayakan masyarakat. Ya, buku ini memang diinisiasi oleh Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) yang memiliki program pemberdayaan bernama program Daya. Kebanyakan tokoh yang diceritakan dalam buku ini adalah mitra program daya ini. Program Daya sendiri merupakan program pemberdayaan bagi nasabah BTPN, dimana hubungan antara BTPN dengan nasabahnya bukan hanya sekedar setor dan terima uang saja. BTPN melalui program daya ini berusaha memberi mentoring dan pelatihan-pelatihan bagi nasabahnya untuk mampu mengembangkan usahanya sekaligus agar bisa menularkannya kepada masyarakat sekitarnya.