Mohon tunggu...
Ofi Sofyan Gumelar
Ofi Sofyan Gumelar Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Warga Kota | Penikmat dan rangkai Kata

Today Reader Tomorrow Leader

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menelusuri Makna Hidup Yang Lebih Berarti

19 Mei 2016   14:54 Diperbarui: 29 Januari 2017   19:08 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Buku Yang Lebih Berarti (sumber: dokpri)

Judul                     : Hidup Yang Lebih Berarti: Sosok Inspiratif untuk Dayakan Indonesia

Penulis                 : 20 Blogger Kompasiana

Penerbit              : PT. Elex Media Komputindo

Cetakan               : I

Tahun terbit       : 2016

Tebal                     : X+190

ISBN                      : 978-602-02-7978-7

Bangsa Indonesia tidak pernah kekurangan orang-orang hebat. Di berbagai sudut negeri ini kita bisa menemukan orang-orang yang mampu membawa perubahan baik bagi dirinya maupun orang disekitarnya. Hebatnya, mereka bukan berasal dari golongan pengusaha besar, politisi, pejabat atau trah darah biru yang memiliki power lebih. Sosok-sosok sederhana yang menginspirasi ini tertangkap dalam tulisan 20 kompasianer yang terangkum dalam sebuah buku berjudul “Hidup Yang Lebih Berarti”.

“Kesuksesan bukan seberapa banyak uang yang mampu Anda hasilkan. Ini tentang perbedaan yang Anda buat bagi kehidupan orang lain”- (Michele Obama).

Saat membaca buku terbitan Elek Media Komputindo ini saya serasa membaca seri buku “Chicken Soup” yang sempat ngetrend beberapa waktu silam. Ini tak lain karena buku Hidup Yang Lebih Berarti ini memang berisi kisah-kisah yang berisi vitamin motivasi yang menggugah, terutama bagi mereka yang bergelut dengan dunia usaha maupun pemberdayaan. 20 kisah yang ada dalam buku ini berisi catatan perjalanan orang-orang yang bergerak dari titik nol hingga kemudian menemukan arti hidup yang lebih berarti, sesuai judul buku ini.

Menariknya, mereka yang diceritakan dalam buku ini adalah sosok-sosok manusia biasa seperti kita kebanyakan. Ya, buku ini memang bukan kumpulan kisah jatuh bangun para konglomerat dalam membangun bisnisnya atau perjalanan hidup pejabat besar maupun selebritis yang banyak dikenal masyarakat. Buku ini bercerita tentang perjuangan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah), pemuda penggerak pemberdayaan, dan para pensiunan yang menolak diam hanya menunggu gaji pensiunan mereka. Bagi saya, kisah mereka membuat sisi inspirasional dari buku ini terasa lebih menyentuh. Bukankah ini lebih mengena di hati kita (pembaca) yang mayoritas adalah orang ‘biasa’ juga? Ini pula yang membuat saya seperti ketagihan untuk terus membaca lembar demi lembar buku ini sejak cerita pertama hingga terakhir. Terlebih gaya bahasa yang digunakan 20 kompasianer dalam buku ini banyak menggunakan cara bertutur, Story Telling, yang membuat kita serasa hadir dalam cerita mereka.

Buku ini membawa saya menyelami kembali karakter bangsa Indonesia yang lama tak terekspos. Setiap hari kita sudah terlalu banyak dijejali dengan berita soal kriminalitas, aksi politik kotor, atau korupsi yang merajalela, seolah bangsa ini tak punya lagi sisi baiknya. Dari 20 kisah dalam buku ini, saya seperti menemukan kembali arti tentang pantang menyerah, keberanian, kreativitas dan kepedulian terhadap sesama. Disadari atau tidak, orang-orang dalam kisah di buku ini berusaha membawa perubahan bagi dirinya maupun masyarakat sekitarnya dengan aksi yang terbilang sederhana namun berdampak besar. Mereka berusaha berdaya dan juga memberdayakan.

Soal tahan banting dan pantang menyerah, saya menemukannya pada tokoh Hanggono dalam membangun getuk Marem (hal. 1), Taryat dalam membesarkan brand Alia Chocolate (hal. 121) dan Ulyati dengan Kerupuk Sanjai-nya (hal. 145). Bagaimana kisah mereka selama merintis usahanya masing-masing, bertahan dari godaan untuk tidak berhenti hanya karena barang dagangannya kurang direspon pasar sungguh cerita yang bisa menggugah.

Simak bagaimana isteri pak Hanggono yang hampir menyerah ketika marem yang diproduksi lebih banyak daripada yang terjual (hal. 6), Taryat yang produk coklatnya seringkali ditolak mentah-mentah oleh beberapa toko saat mereka hendak menitipkan produknya (hal. 126) atau Kerupuk Sanjai yang sempat oleng terhantam badai krisis moneter (hal. 151). Nyatanya, mereka mampu bertahan hingga kini bisa mereguk manisnya makna pantang menyerah tersebut. Kini, produk mereka tergolong market leader di segmennya masing-masing.

Perihal keberanian, ada cerita soal Sunardi yang berani mengambil pensiun dini dari pekerjaannya sebagai PNS demi memulai usaha (hal. 133). Ada lagi Syarief Hidayatullah, sarjana informatika berusia 25 tahun yang memutuskan menjadi petani selepas lulus kuliah (hal. 157), atau kisah Faizal Abdillah, Sarjana penerima beasiswa bidik misi yang membangun kampung halamannya dengan membranding Iket Jawa (hal. 181).

Dari cerita mereka kita bisa melihat bagaimana sebuah idealisme bisa memacu keberanian untuk mengambil langkah anti mainstream. Sangat jarang ada orang yang mau melepas kepastian mendapat gaji bulanan sebagai PNS; adalah langka seorang anak muda memutuskan menjadi petani; atau seorang lulusan institute ternama berani balik kampung demi membangun daerah asalnya. Melalui goresan pena kompasianer, mereka bertiga seolah menyeru kita untuk berani melangkah demi memperjuangkan apa yang kita yakini.

Bahwa kreatifitas merupakan kunci dalam membangun usaha bisa dibaca dalam kisah Suwono Ubah Kotoran Manusia Jadi Pupuk Organik (hal. 25). Kisah ini memaparkan bagaimana kotoran manusia yang secara tak sengaja dibuang ke areal pesawahan malah bisa menyuburkan tanaman lebih daripada penggunaan pupuk kimia. Ini membuat produksi sawahnya malah lebih banyak dibanding yang lainnya. Cerita serupa bisa ditemui dalam cerita berjudul Tas Kreasi Solihin Digemari Pasar Dunia (hal. 161). Kisah pengrajin bali yang dituturkan kompasianer Agung Soni ini menceritakan bagaimana Solihin mampu menjual kreasi tas dari kain-kain bekas menjadi produk unggul dengan kualitas ekspor.

Kedua kisah diatas menggambarkan bahwa dengan ide dan kreatifitas sesuatu yang dianggap sampah bisa jadi malah bernilai ekonomis jika diolah dengan tepat. Soal kreatifitas ini disinggung pula oleh Pepih Nugraha, COO Kompasiana, dalam pengantar buku ini.

Proses Menulis Resensi Buku Hidup Yang Lebih Berarti (Sumber: dokpri)
Proses Menulis Resensi Buku Hidup Yang Lebih Berarti (Sumber: dokpri)
Tak hanya itu, dari buku ini kita juga bisa belajar tentang arti kepedulian dan ketulusan. Ada kisah kader kesehatan Milda Fitriawati (hal. 15) dan pengusaha kursus komputer Bodro Irawan (hal. 55) yang begitu tulus memberi ‘pelayanan’ bagi masyarakat sekitarnya.  Sebagai kader kesehatan, Milda selalu siap  memberi layanan kesehatan bagi para nasabah BTPN (yang kebanyakan pensiunan lanjut usia) dan tetangganya. Sementara, Bodro Irawan membuat program kursus komputer gratis bagi guru, anak sekolah maupun mahasiswa di daerahnya. Hari gini masih ada yang ngasih kursus gratisan?  

Dari Milda saya belajar soal pemberdayaan bisa dilakukan oleh siapa saja. Milda yang hanya lulusan paket C memberi contoh bahwa kita tak perlu pendidikan tinggi untuk bisa berbakti bagi masyarakat. Simak pula kisah Domingus Nones (hal. 117) yang menggerakan kelompok Tani di Pulau Halmahera untuk menanam pala secara organik. Domingus yang hanya sempat sekolah hingga kelas 5 SD memimpin 3.505 petani dalam kelompok taninya hingga meraih omzet Rp. 31,5 Milyar.  Sementara itu, Bodro Irawan mengajarkan bahwa bisnis bukan melulu soal profit, dan untuk memberdayakan tak perlu memberatkan orang lain. Ada sisi ketulusan  terpancar dari kisah mereka.  

Begitulah, semua kisah dalam buku ini teruntai dalam satu tema besar pemberdayaan. Menariknya, tak semua tokoh dalam buku ini mungkin menyadari bahwa apa yang mereka lakukan memang diniatkan untuk membantu orang sekitarnya. Pada mulanya, Sebagian mungkin mengajak tetangganya bekerja untuk sekedar membantu produksi usahanya saja, namun siapa sangka apa yang mereka tawarkan bisa begitu berarti dalam menyambung hidup orang sekitarnya. Dari kisah Hanggono saya menemukan perjalanan Getuk Marem selama lebih dari 20 tahun telah menjadi bagian cerita kehidupan untuk tiga orang tetangganya, pekerja Getuk Marem sejak awal berdiri. Ada lagi pola kemitraan berupa plasma dalam bisnis kerupuk Sanjai, dimana produksi kerupuk dilakukan oleh plasma-plasma (sub usaha) yang dimiliki oleh masyarakat sekitar tentu saja memberi kontribusi ladang usaha bagi masyarakat. Bagi-bagi rezeki, yang membuat orang lain lebih berdaya adalah inti dari pemberdayaan.

Lebih jauh, di buku ini kita bisa membaca bagaimana kiprah sebuah korporasi dalam memberdayakan masyarakat. Ya, buku ini memang diinisiasi oleh Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) yang memiliki program pemberdayaan bernama program Daya. Kebanyakan tokoh yang diceritakan dalam buku ini adalah mitra program daya ini. Program Daya sendiri merupakan program pemberdayaan bagi nasabah BTPN, dimana hubungan antara BTPN dengan nasabahnya bukan hanya sekedar setor dan terima uang saja. BTPN melalui program daya ini berusaha memberi mentoring dan pelatihan-pelatihan bagi nasabahnya untuk mampu mengembangkan usahanya sekaligus agar bisa menularkannya kepada masyarakat sekitarnya.

Menyebarkan Semangat Pemberdayaan (SUmber: dayakanindonesia.com)
Menyebarkan Semangat Pemberdayaan (SUmber: dayakanindonesia.com)
Melalui program Daya ini, BTPN memang fokus pada kelompok mass market, yang terdiri dari pensiunan, usaha mikro & kecil, serta komunitas pra-sejahtera produktif. Ketika Bank lain seperti alergi terhadap nasabah tipe mass market ini karena dianggap lemah, skala kecil, informal dan berpotensi menimbulkan kredit macet, BTPN malah menggarap segmen ini. Total 41 Triliun telah disalurkan BTPN pada segmen ini. Bukan hanya disalurkan kredit saja, tapi diberdayakan melalui program daya ini. Terbukti, dari laporan kinerja BTPN, kredit macet dari penyaluran kredit terhadap mass market hanya sebesar 0,7 persen, sangat sangat kecil.  Keberhasilan pemberdayaan Program Daya dari BTPN turut mengantar Getuk Marem jadi icon Magelang, Iwak Nyuzz jadi penganan kebanggaan Semarang (hal. 67), atau Alia Chocolate Berjaya di pasaran sebagaimana diceritakan di buku ini.

Mengenai makna Hidup Yang Lebih Berarti sebagaimana judul buku ini, tak ada definisi khusus yang dipaparkan disana. Namun, setelah menyelami beragam kisah sosok-sosok inspiratif didalamnya, saya bisa mengambil kesimpulan bahwa hidup akan lebih berarti apabila kita bisamemberi kontribusi bagi orang laindisekitar kita. Ini adalah inti dari pemberdayaan. Dari buku Hidup Yang Lebih Berarti kita bisa belajar bagaimana 20 tokoh dalam buku ini memberdayakan dirinya serta masyarakat disekitarnya. Sebagai muslim, saya memandang kisah mereka adalah refleksi hadist rasul, Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain’.

Sebagai buku yang inspiratif, saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca siapa saja. Kisah-kisah didalamnya bisa menjadi pembangkit  semangat terutama bagi mereka yang sedang mengalami kesulitan hidup atau sedang galau mencari arti hidup. Tentu saja buku ini sangat pas dibaca oleh mereka yang bergerak dalam bidang pemberdayaan, baik personal maupun kelembagaan. Ada banyak sisi cerita yang bisa dipelajari dari buku ini bagaimana sebuah pemberdayaan bisa berjalan baik.

Iya, dari kisah sosok-sosok sederhana di buku ini kita bisa menelusuri makna hidup yang lebih berarti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun