Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bisakah Seseorang Menjadi Hakim atas Nama Nalar?

4 Februari 2019   18:45 Diperbarui: 4 Februari 2019   19:54 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisakah seseorang menjadi hakim atas nama nalar ?

Akal sehat alias nalar sedang coba ikut dimainkan diatas panggung politik entah apa tujuannya, ada kegaduhan politik yang melibatkan nalar seolah kubu politik yang satu berdasar akal sehat tetapi yang lain berdasar akal miring.

Saling klaim berdasar nalar bukan hanya terjadi di ranah ideologis seperti teis vs atheis tetapi merambat hingga ke ranah politik. lalu mengemuka istilah 'dungu' sebagai paradoks dari nalar sehat.dan dapat ber efek dahsyat bila sudah seperti peluru yang ditembakkan.

Bisakah nalar di klaim milik satu individu-satu golongan-satu kutub-satu institusi sehingga apapun yang dikatakan seseorang yang berasal dari golongan atau institusi tertentu pasti berdasar akal sehat?

Akal itu suatu yang tidak memiliki sifat personal-tidak memiliki kemauan misal beda dengan hati yang memiliki kehendak dan keinginan. Nalar adalah sebuah system berfikir konstruktif alami ciptaan Tuhan dengan proposisi benar-salah sebagai mekanisme berfikir utamanya. Sebab itu mustahil secara emosional misal nalar memiliki keberfihakan pada satu kutub-golongan tertentu. Nalar hanya berfihak pada bentuk kebenaran yang dapat direkonstruksi secara nalar pula. Nalar tidak akan berfihak pada cara berfikir yang irrasional misal walaupun yang mengungkapnya seorang failosof yang selalu mengklaim 'berdasar nalar'.

Artinya, karena substansi nalar itu adalah sebuah system alami maka karakter alami nalar selain cara berfikir yang sistematis adalah netral,sehingga dimanapun adanya, apapun permasalahan yang dihadapi, di manapun dimainkan, siapapun yang memainkan maka nalar tak akan memposisikan diri secara langsung pada fihak atau kubu tertentu. Melainkan akan berfihak hanya kepada kubu yang argumentasinya konstruktif-sistematis dengan proposisi benar-salah yang jelas.kalau cara berfikir satu fihak tidak konstruktif dengan proposisi benar-salah yang tidak jelas-samar maka itu akan ditinggalkan oleh nalar.

Nalar akan berfihak pada jalan fikiran rasional walau yang mengungkapkan itu adalah musuh-lawan politik karena nalar otonom dari perasaan emosi-dari keberfihakan dan otonom dari segala kepentingan manusiawi. Sebab itu nalar tak bisa berkoalisi dengan emosi atau dengan kepentingan duniawi misal. Apakah orang orang busuk-orang orang jahat-orang orsng licik tidak bernalar dan tidak menggunakan nalar (?) mereka menggunakannya tapi bukan akal sehat melainkan akal yang dikendali nafsu-keinginan buruk alias nalar sakit, jadi fikiran mereka tak bisa dijadikan parameter kebenaran

Termasuk,nalar tak secara langsung memposisikan diri berada di fihak theis atau atheis misal melainkan akan berfihak pada siapa diantara mereka yang bisa membuat argumentasi yang konstruktif dengan proposisi benar-salah yang jelas. 

Demikian pula ketika dibawa ke ranah perdebatan politik, maka nalar tak bisa serta merta diposisikan milik satu kubu politik tertentu melainkan akan berfihak pada siapa yang sanggup membangun argumentasi konstruktif dengan proposisi benar-salah yang jelas.artinya; dalam bangunan berfikir rasional posisi benar dan salah itu harus jelas-hitam putih-tidak rancu-tidak samar.Bila yang dikedepankan adalah prinsip kepentingan politik-bukan kebenaran lagi maka bersiaplah berpisah dengan narasi akal sehat,jangan berani mengklaim berdasar akal sehat lagi

Dengan kata lain,nalar itu tidak berangkat dari satu kubu,satu golongan tetapi selalu dari prinsip alami yang melekat dalam dirinya sendiri.dalam nalar melekat nilai benar-salah, baik-buruk dan itu adalah nilai dasar tempat nalar berangkat.Dengan kata lain nalar otonom dari berbagai kepentingan manusiawi walau manusia suka membawa nalar ke ranah yang berbeda beda, ke ranah yang baik dan tidak baik polisi dan maling misal mereka sama sama menggunakan nalar,bedanya yang satu untuk menangkap maling dan yang satu untuk meloloskan diri.

Kalau ada yang mengklaim bahwa nalar itu milik golongannya maka bukan tidak boleh tetapi yang bersangkutan berkewajiban memaparkan argumentasinya. Karena proposisi berdasar nalar selalu dibangun oleh argumentasi,tentu saja yang rasional-bisa masuk serta dicerna akal.Dengan kata lain, nalar itu selalu berposisi netral atau berangkat dari kenetralan dan akan berfihak hanya pada kubu yang mau bersikap dan berfikiran rasional.

Bahkan nalar tak bisa begitu saja diklaim milik kaum atheis-gnostik atau bahkan teis melainkan argumentasi srgumentasi yang mendasari filosofi mereka itu yang akan dianalisis untuk dirumuskan apakah bersesuaian dengan kaidah nalar atau tidak.Nalar juga tak bisa begitu saja di klaim milik individu yang berada dalam institusi sains-filsafat atau agama sehingga berada didalamnya merasa berhak atas nalar melainkan tetap akan diperiksa argumentasi yang dibangunnya tanpa pilih kasih atau pandang bulu

Seorang failosof ternama pun tak bisa jadi simbol nalar sebab tidak selalu ia berfikir berdasar azas nalar suatu saat bila cara berfikir nya sudah cenderung spekulatif-tak berdasar logosentris berarti ia telah meninggalkan prinsip berfikir berdasar nalar karena ciri dari nalar-akal sehat adalah cara berfikir terstruktur yang dapat dibaca oleh akal fikiran para pembaca atau pendengarnya. Aneh kalau mengklaim rasional misal tapi pandangannya berdasar cara berfikir yang spekulatif,dan spekulatif artinya bangunan berfikir yang tidak jelas benar-salahnya atau cara berfikir yang tidak memiliki bangunan yang terstruktur.semisal pandangan bahwa 'dari kebetulan bisa lahir wujud terdesain'

Dengan kata lain bila ingin disebut bernalar tak harus menyebut diri saintis atau failosof atau agamawan melainkan paparkan saja argumentasi yang anda miliki maka dari situ akan terlihat apakah anda mengikuti kaidah nalar atau tidak.

Nalar itu juga tak bisa di klaim milik kubu politik tertentu sebab bisa jadi suatu saat kubu politik tertentu memakai dalil nalar tapi pada waktu lain mereka bisa tidak melakukannya karena mengutamakan kepentingan lain yang tak berhubungan dengan nalar misal

Yang pasti adalah nalar itu milik Tuhan karena Ia lah penciptanya dan Tuhan tentu memiliki tujuan dengan penciptaan nalar itu,sehingga aneh kalau (secara langsung) nalar ditubrukan dengan wahyu Ilahi. Tapi ini menyangkut keyakinan (rasional) tentunya.

Dengan kata lain nalar tidak berfihak pada klaim tertentu kecuali yang berdasar argumentasi yang dapat di rekonstruksi oleh nalar sehat kembali.ada fihak yang mengklaim nalar atau berdasar nalar tapi argumentasinya kadang sulit difahami akal,contohnya adalah argumentasi kaum atheistik ketika mereka berbicara tentang Tuhan.

.......

Bila kembali ke pertanyaan diatas; bisakah seseorang menjadi hakim atas nama nalar,lalu membuat vonis; ini berdasar akal sehat dan yang itu dungu (?)

Walau hampir mustahil tetapi dapat dicoba bila mau,syaratnya adalah;  cara berfikirnya harus selalu nyetel dengan prinsip bernalar-dengan hukum logika-tidak boleh dipengaruhi emosi-harus netral-tidak boleh berdiri pada kepentingan tertentu-harus steril dari pengaruh emosional,tak boleh berada dalam tekanan,tak boleh terpengaruh indoktrinasi dlsb.

Intinya harus steril dari hal hal yang 'manusiawi'.dan yang bisa melakukan itu kelak nanti mungkin semacam mesin berfikir yang memakai teknologi Artifical Intelegence (AI) karena manusia sulit dipisahkan dengan perasaan emosinya, termasuk sulit melepaskan diri dari pengaruh kepentingan atau tekanan

Rocky gerung ?

Tetapi ... tetapi karena mesin seperti itu belum ada maka saya berpendapat; daripada tidak ada maka ya seadanya saja lah ada rocky gerung yang mungkin bisa ditempatkan pada posisi itu ? Boleh saja asal pertama; beliau jangan dikultuskan,artinya jangan dipandang bahwa fikiran fikirannya selalu benar dan rasional sebab suatu saat bisa saja terpeleset menjadi tidak berfikir rasional, namanya juga manusia. artinya bila suatu saat beliau salah ya salahkan, jangan sudah salah tapi harus dianggap benar karena dianggap 'setengah dewa'.apalagi penyakit akut masyarakat kita warisan era penjajah adalah kultus

Dan kedua harus diberi peringatan kalau sudah ditunggangi kepentingan tertentu, karena kepentingan akan bisa memiringkan derajat akal yang tadinya berdiri tegak dan ketiga harus menjaga emosi kemanusiaannya jangan terlalu larut oleh emosi atau terlalu dibawa bawa saat mengungkap fikiran fikiran rasionalnya,harus dingin seperti Febridiansyah dari KPK yang tingkat ketenangannya jauh diatas Rocky.sebab emosi juga bisa menjadi faktor yang ikut memiringkan nalar.

Kalau tidak sanggup dengan syarat syarat diatas? ya tinggal katakan saja sebab ini cuma sekedar eksperiment toh

Mengapa harus ada dan apa fungsi hakim nalar?

Karena dewasa ini nalar manusia banyak yang tertidur atau banyak yang ditidurkan secara sengaja oleh berbagai kepentingan, mungkiin termasuk kepentingan politik,ekonomi,budaya dlsb jadi perlu orang yang bisa dan berani menggebrak nalar nalar yang tertidur itu.

Jadi daripada tidak ada mesin yang sempurna untuk kepentingan itu,ya terimalah yang ada dengan segala kekurangannya tentu ....

......

Atau andaipun tak harus jadi hakim nalar dengan prasyarat super berat itu ya setidaknya cukup menjadi juru gedor nalar karena seperti sebuah kesebelasan yang perlu striker maka negeri ini pun perlu juru gedor nalar.dan untuk soal itu apa yang RG lakukan sudah membuahkan hasil.

Ada keriuh rendahan soal 'nalar', ini suatu awal yang positif biar orang orang pada introspeksi diri, termasuk tentu introspeksi nalar. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun