Ada banyak kata yang dipilih atau digunakan oleh manusia untuk membingkai agama yang konsekuensinya kemudian membuat agama itu bisa nampak benar atau nampak salah, nampak ilmiah atau nampak tidak ilmiah, nampak bermakna positif atau bermakna negatif.
Tetapi hanya sekedar 'nampak' alias baru penampakan, karena; soal 'hakikat' atau hal yang sesungguhnya-hal yang sebenar benarnya dari agama bisa didalami hanya bila manusia melihat serta membingkainya dengan sudut pandang sang penciptanya yang adalah bukan manusia
Kata yang dipilih untuk membingkai itu digunakan sebagai alat-instrument untuk menganalisis-merekonstruksi-menerangkan-menjelaskan apa yang ia bingkai.Instrumen kata yang digunakan untuk membingkai atau melukiskan itu mewakili 'sudut pandang manusia' sang pembuat bingkai dengan kata lain, instrumen kata demi kata yang disebut disini sebagai alat untuk membingkai bukan mewakili 'sudut pandang-rumusan atau penjelasan Tuhan' sang pemilik kitab suci.dan karena isi kepala seperti filosofi serta ideologi manusia itu berbeda beda maka instrument kata yang di pilih manusia untuk membingkai itupun tidak akan sama alias berbeda beda
Dengan kata lain, pemilihan kata itu bergantung pada filosofi-cara pandang seseorang terhadap apa yang akan di bingkainya-kalau dalam artikel ini tentu terhadap agama, juga bisa bergantung pada apa tujuan seseorang membingkai sesuatu dengan menggunakan instrument kata tertentu.
Seorang materialis tulen misal membingkai agama dengan menggunakan pilihan kata 'ilusi' karena mereka ingin menggambarkan agama sebagai suatu yang diluar realitas, karena dalam pandangan materialis semua realitas itu bersifat material sedang agama berbicara tentang realitas yang bersifat abstrak-gaib-non materi semisal Tuhan, alam akhirat dlsb.Maka melihat serta merumuskan agama menggunakan bingkai kata 'ilusi' adalah cara kaum materialist menyikapi agama.maka sebagai konsekuensi nya pilihan kata serta rumusan yang mereka buat melahirkan pandangan terhadap agama yang nampak negatif.
Immanuel kant membingkai agama lebih dengan menggunakan instrument kata 'moral' karena menurut filosofi Kant agama itu tak bisa dijelaskan dengan menggunakan epistemologi ilmu pengetahuan karena dalam pandangannya yang disebut 'ilmu pengetahuan' adalah konsep yang merangkum atau mengkonstruks fenomena alias wilayah yang menampakkan diri kedalam pengalaman manusia sedang wilayah noumena adalah wilayah diluar pengalaman yang mustahil diketahui sehingga tak bisa dikonsepsikan sebagai ilmu pengetahuan.Nah agama di bingkai dengan menggunakan kata 'moral' karena dalam pandangannya apa yang dideskripsikan agama inti nya harus dimasukkan kedalam wilayah  diluar pengalaman yang tidak bisa di ilmiahkan
Para failosof klasik utamanya yang lalu beralih menjadi teolog semisal Thomas aquinas banyak menggunakan kata 'akal'-'logika'- 'rasional' dalam membingkai agama karena mereka ingin menjelaskan bahwa persoalan ketuhanan dapat dijelaskan dengan menggunakan prinsip akal atau prinsip rasionalitas
Anda dapat membuat contoh lain failosof atau ideologi tertentu yang membingkai agama dengan lebih menggunakan pilihan instrument kata tertentu.tujuan akhirnya adalah ingin melukiskan agama sesuai ideologinya, cara pandangnya,filosofinya
Bayangkan pilihan kata apa yang banyak digunakan Nietszhe atau Karl marx atau Steven hawking ketika mereka  ingin menggambarkan Tuhan-agama. contoh lain,kaum moderat banyak menggunakan bingkai kata 'moderat' ketika mereka ingin menerangkan agama,pengusung Islam nusantara mungkin akan banyak menggunakan instrument kata 'budaya'
Tetapi ingat yang saya tulis dalam artikel ini adalah agama yang dibingkai oleh pemikiran pemikiran manusia atau menurut versi sudut pandang manusia bukan agama menurut pandangan Tuhan sebagai mana yang tertera dalam ayat ayat kitab suci dan karena mengikuti sudut pandang manusia maka deskripsi-rumusan terhadap agama menjadi nampak beragam karena memang 'lain kepala lain pula isi'.
Sebab itu jangan pernah menggunakan rumusan hasil sudut pandang manusia itu sebagai parameter atau barometer kebenaran kecuali sebagai ilmu pengetahuan diantaranya untuk membandingkan antara pandangan yang satu dengan yang lain
............
Bingkai Rocky gerung
Nah sekarang meloncat ke masa kini ke tahun 2018,seorang Rocky gerung (RG) mencoba membingkai kitab suci dengan menggunakan instrumen kata 'fiksi' dan lalu menghasilkan rumusan 'kitab suci itu fiksi' yang lalu menimbulkan kehebohan tersendiri dimata publik tetapi karena disertai oleh argement argumen yang dinyatakan oleh seorang yang dipandang intelek maka kasus itu seolah teredam dengan sendirinya bayangkan kalau rumusan itu secara lantang dinyatakan oleh orang 'biasa' tanpa argument yang memadai maka mungkin ia akan dikenai pidana.apa tujuan RG melukiskan kitab suci dengan menggunakan instrument 'fiksi' hanya beliau yang tahu.
Mengapa menimbulkan kehebohan ?
Itu tiada lain karena sifat-makna-definisi dari kata 'fiksi' itu sendiri sudah terlanjur negatif dimata publik karena sudah terlanjur diparalelkan dengan kata 'fiktif',sudah terlanjur diparalelkan dengan novel serta film-film fiksi yang adalah bersifat khayali.bahkan sebagai legalitas dari pandangan publik tersebut maka mengacu pada KBBI makna 'fiksi' adalah ;
fiksi/fik*si/ n 1 Sas cerita rekaan (roman, novel, dan sebagainya); 2 rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan: nama Menak Moncer adalah nama tokoh -- , bukan tokoh sejarah; 3 pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran
Sehingga andai-bila aparat hukum hanya mengacu kepada definisi versi KBBI maka RG dapat dibawa ke ranah pidana dengan fatsal penodaan agama
Tetapi bukan RG namanya apabila tidak bisa menjelaskan makna dari sesuatu yang bahkan mungkin diluar kerangka teks formal-suatu yang mungkin membingungkan kalangan akademisi itu sendiri karena RG suka membuat makna-definisi yang diluar rumusan atau pengertian umum-publik bahkan mungkin kalangan akademisi.
Tetapi secara moral keilmuan tentu RG memiliki kewajiban menjelaskan secara tuntas alasan atau pernyataannya dan kita sebagai masyarakat wajib mengkritisinya secara terus menerus
Beda dengan persepsi publik terhadap makna 'fiksi' yang cenderung negatif secara keilmuan, RG ingin menggambarkan serta lalu mem posisikan fiksi sebagai suatu yang seolah selalu positif-baik dan menariknya ke wilayah ilmiah sebagai instrument untuk membedah semisal kitab suci.
'Fiksi itu suatu yang baik' kata nya karena menurutnya fiksi itu dapat memantik imajinasi.lalu ia mencontohkan sorga yang tidak bisa ditangkap serta difahami melalui jalur pengalaman melainkan dengan bantuan imajinasi.ini mungkin salah satu alasan mengapa ia berani merumuskan agama sebagai wilayah fiksi.kunci nya adalah konklusi bahwa imajinasi adalah sesuatu yang lahir dari wilayah fiksi-bukan dari wilayah realitas.di sisi lain karena tidak bisa melalui jalur pengalaman maka agama-kitab suci membutuhkan imajinasi
Nah sampai disini muncul pandangan sekaligus kritik dari saya pribadi;
Di satu sisi bila makna fiksi di bawa ke wilayah imajinasi -an sich yang bersifat otonom-sebagai dirinya sendiri-sebagai SDM manusia (bukan selalu telah diparalelkan dengan makna fiktif atau dunia khayalan seperti persepsi publik) dan lalu imajinasi itu disematkan terhadap agama-kitab suci memang ada nyambung nya.
Hasilnya adalah kesimpulan bahwa bila kita meng imajinasikan sorga-neraka itu bukan suatu yang salah asal makna nya tidak melenceng dari teks suci tentu, tetapi bila lalu mengatakan bahwa sorga-neraka adalah wilayah fiksi karena hubungan keduanya dengan imajinasi itu maka itu akan menimbulkan kehebohan sekaligus problem keilmuan tersendiri.
Pertama adalah tentu karena makna fiksi yang sudah terlanjur negatif dimata publik dan kedua karena fiksi adalah wilayah manusiawi yang derajat kebenarannya bersifat relatif-bukan wilayah Ilahiah.sedang kitab suci dalam pandangan agama adalah firman Tuhan-sesuatu yang diturunkan dari Tuhan sehingga di sisi lain kitab suci harus difahami sebagai wilayah Ilahiah
Dalam kitab suci Tuhan menyatakan alam akhirat,sorga-neraka sebagai realitas atau suatu yang dinyatakan sebagai ADA.dan realitas tentu bukan dan berbeda dengan wilayah fiksi karena makna fiksi adalah untuk menggambarkan wilayah manusiawi-wilayah SDM.
Jadi kalau dilihat dengan persfectif Ilahi maka alam akhirat adalah wilayah realitas sedang kalau melihat dari sudut pandang manusiawi maka sebagian ada yang menyebut kitab suci dimana di dalamnya sorga-neraka sebagai wilayah fiksi.dan ini dua sudut pandang yang harus dibedakan
Dengan kata lain, masalahnya kitab suci itu adalah didalamnya berisi sudut pandang Tuhan atau kebenaran versi sudut pandang Tuhan dan bukan wilayah fiksi dalam arti hasil ber imajinasi manusia atau bukan kebenaran versi sudut pandang manusia.fungsi imajinasi terkait kitab suci itu hanya sebagai pembantu-pelengkap bukan penafsir utama kitab suci karena yang menafsir kitab suci itu bukan hanya imajinasi tetapi juga akal serta hati nurani.manusia menggunakan akal dalam upaya memahami kitab suci dengan cara berfikir sistematik-analitis-konstruktif sesuai karakter akal.Â
Sedang karakter imajinasi itu bebas karena tak terikat metodologi serta hukum ilmu pengetahuan.orang bisa berimajinasi secara bebas karena imajinasi memang tidak terikat dengan hukum ilmu pengetahuan,beda dengan akal yang jalannya di tuntun serta terikat dengan hukum ilmu pengetahuan
Sehingga mengatakan kitab suci itu fiksi analogi nya ibarat mengatakan bahwa menu utama makanan di suatu restoran adalah sambal atau lalapan. padahal sambal atau lalapan itu hanya pelengkap dari menu utama.gunakan imajinasi atau silahkan ber imajinasi tetapi jangan keluar dari wilayah rasio atau dari penjelasan Ilahiah itu menunjukkan bahwa imajinasi itu suatu yang harus dituntun karena bila tidak maka ia bisa liar,sekaligus menunjukkan bahwa imajinasi itu bukan peralatan berfikir utama dan harus berada dalam kontrol rasio maupun utamanya kontrol nash kitab suci
Sehingga mengatakan kitab suci itu fiksi maka makna nya bisa beragam, dapat bermakna bahwa yang menentukan pemahaman terhadap kitab suci adalah imajinasi manusiawi-menjadikan imajinasi sebagai instrument keilmuan yang utama dimana peran petunjuk Tuhan, peran akal, peran hati nurani menjadi terkesampingkan.dan bahkan secara ekstrem oleh sebagian masyarakat yang pemahamannya saklek mereka mengartikan pernyataan RG itu dengan pemahaman bahwa RG menganggap kitab suci sebagai wilayah fiksi dalam arti hasil ber imajinasi manusia, tafsiran ini berarti sudah mengeluarkan Tuhan dari kitab suci dan melekatkan kitab suci hanya dengan SDM serta kreatifitas manusia yang bernama imajinasi. ini adalah respon publik yang paling berbahaya terhadap pernyataan RG. tetapi untunglah pemahaman publik masih selalu beragam,bayangkan kalau yang saklek itu yang dominan
Intinya menyatakan kitab suci adalah fiksi atau memparalelkan kitab suci dengan fiksi itu seolah menggeser peran Tuhan sebagai pemberi petunjuk dan pemegang hegemoni kebenaran membuat pemahaman terhadap kitab suci seolah bergantung hanya pada imajinasi masing masing manusia
Beda misal andai menyatakan 'kitab suci itu wilayah metafisik' maka itu tak beresiko memuarakan kitab suci ke wilayah manusiawi karena istilah metafisik adalah istilah fisafati terkait ruang-waktu yang diluar manusia, sedang istilah fiksi-imajinasi itu mutlak menggambarkan wilayah manusiawi
Fiksi selalu baik ?
RG berkali mengatakan bahwa fiksi itu suatu yang baik karena itu dapat memantik imajinasi (yang mana diantaranya itu suatu yang diperlukan dalam menafsir kitab suci)
Tetapi mungkin RG lupa bahwa fiksi sebagai pabrik imajinasi itu tidak selalu menghasilkan yang baik tetapi juga yang tidak baik,tidak selalu menghasilkan yang benar tetapi juga yang salah. apakah tiap yang meng imajinasikan sorga-neraka dijamin bahwa imajinasi yang mereka hadirkan akan selalu baik dan benar,.. tidak bukan,bagaimana kalau imajinasinya ngawur bahkan keluar dari nash kitab suci misal ? ..
Atau coba bayangkan apakah hasil ber imajinasi yang terdapat dalam film film serta novel novel fiksi itu selalu baik dan benar,..bukankah kadang irrasional dan malah merusak akal ?
Atau tengok film film porno dengan berbagai kategorinya,bukankah itu hasil imajinasi yang mengeksploitasi unsur hawa nafsu yang dalam pandangan agama pasti dikategorikan sebagai suatu yang buruk dan salah (?)
Itu karena sifat dari imajinasi yang paralel dengan sifat manusia yang bisa benar tapi juga bisa salah,bisa baik dan juga bisa tidak baik.imajinasi tak bisa dikultuskan sebagai selalu baik demikian pula fiksi sebagai pemantik imajinasi
Sebab imajinasi itu bergantung pada kualitas manusia yang memiliki atau meng ekspressikan nya, seorang yang ber ilmu-bijak maka imajinasinya dapat terarah-terkontrol-tidak liar, tetapi seorang bodoh ia dapat ber imajinasi sesuka hati termasuk bila meng imajinasikan apa yang terdapat dalam kitab suci.bahkan seorang hedonis dari wilayah fiksi nya bisa lahir imajinasi imajinasi liar yang sekedar mencerminkan pemuasan hawa nafsu nya semata
Coba introspeksi diri,dari wilayah fiksi mu imajinasi imajinasi apa saja yang pernah terpantik keluar ?
Maka mengatakan fiksi itu baik dengan alasan karena itu memantik imajinasi maka kebenarannya dapat menjadi relatif bergantung siapa dulu yang memantik nya serta untuk tujuan apa ?
.............
Maka seperti pernyataan RG sendiri dalam kesempatan lain di acara lain bahwa 'segala suatu itu tidak baik apabila dikultuskan' (suatu prinsip yang sangat benar) maka dalam pernyataan RG terkait kitab suci yang dikaitkan dengan fiksi itu jangan pernah kita mengkultuskan siapapun serta apapun. jangan pernah mengkultuskan RG juga jangan pernah mengkultuskan pernyataannya dan termasuk bila membaca artikel ini juga jangan mengkultuskan saya serta apa yang saya tulis.
Melainkan berfikirlah dengan bebas,jangan pernah merasa terprovokasi oleh jalan fikiran seseorang bahkan yang dipromosikan oleh media sebagai orang cerdas-pintar dlsb. melainkan selalu lah bersikap kritis sehingga kita bisa selalu dengan fikiran jernih menganalisa tiap pemikirannya untuk kita pilah mana yang benar serta mana yang salah.maka dari RG pun ambil yang benarnya dan buang yang salahnya
Bila tak ingin jatuh pada kultus maupun pada kebodohan maka hindari dari mencintai serta membenci seseorang secara berlebihan karena mencintai secara berlebihan dapat membuat seseorang cenderung membenarkan semua kata katanya dan jatuh pada pengkultusan. sebaliknya membenci secara berlebihan dapat membuat seseorang cenderung akan menyalahlan apapun yang dikatakan atau diperbuatnya dan ini dapat menjerumuskan pada kebodohan
Tersihir dengan aura atau penampilan seseorang siapapun apakah tokoh filsafat-politik-agama-seni-budaya dlsb. dapat membuat tanpa terasa manusia jatuh pada mengkultuskan sesamanya. mengkultuskan artinya memandang apa yang dikatakan seseorang sebagai 'selalu baik dan benar' alias mempertuhankan manusia,sehingga sifat kritis dimana dengan itu kita meng analisis benar-salah,baik-buruknya otomatis menjadi hilang. yang ada hanya sifat nunut-turut dan ikut
Saya pribadi mengagumi intelektualitas RG bukan ingin membencinya hanya karena kasus kitab suci itu fiksi misal.pernyataannya yang saya salut misal adalah terkait ijasah; Â 'ijasah itu tanda pernah sekolah tapi bukan tanda pernah berfikir' atau 'hoax terbaik adalah versi penguasa'. dan karena sikapnya yang out of akademik-tidak secara kaku orientasi pada pandangan akademik bahkan terkesan ingin memberontak walau beliau berkecimpung di dunia akademik serta nampak menyukai pandangan pandangan yang baru itu alasan yang membuat di sisi lain terkadang saya menyukai kehadirannya.
Secara kultur sosial kita membutuhkan orang orang seperti RG diantaranya untuk ikut membongkar isi kepala orang orang tertentu utamanya yang isinya dikemas lebih oleh unsur emosional misal karena orientasi partai atau orientasi golongan karena mencari kebenaran kadang memerlukan orang orang yang posisinya dipandang netral
Tetapi itulah dibalik itu semua manusia-siapapun sesuai dengan sifatnya selalu jatuh pada benar dan salah.sehingga yang saya benci dari RG utamanya hanya satu yaitu andai ada yang cenderung meng kultus kan nya termasuk mengkultus kan pendapat nya tentu alias ogah membuat analisa benar-salah
Berani memberontak pada budaya pengkultusan ? Itu harus di mulai dari awal dari budaya meng analisa tentu utamanya dengan menggunakan instrument dualisme benar-salah
.......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H