Mohon tunggu...
Ujang Rusdianto
Ujang Rusdianto Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Strategic Communications, Universitas Multimedia Nusantara

Ujang Rusdianto, S.I.Kom, M.IKom adalah profesional yang telah mengabdikan lebih dari satu dekade kariernya dalam dunia komunikasi strategis. Berperan sebagai Konsultan Komunikasi Perusahaan, Corporate Trainer, serta Tenaga Ahli dan Pendamping Program Komunikasi, ia mengintegrasikan pengalaman praktisnya dengan teori untuk menciptakan solusi komunikasi yang relevan dan berdampak. Dengan keahlian yang mencakup berbagai bidang seperti Brand and Reputation Management, Corporate Sustainability, Internal Communication, Media Relations, Issue and Crisis Communication, hingga Sustainability Communications, Ia dikenal sebagai mitra strategis bagi perusahaan yang ingin memperkuat komunikasi mereka di tengah dinamika bisnis yang kompleks. Kompetensinya juga diperkuat dengan berbagai sertifikasi profesi, termasuk Konsultan Bisnis dan Manajemen, Digital Marketing Specialist, Strategic Public Relations dan Training of Trainer (TOT). Ia juga membekali diri dengan pelatihan internasional seperti ISO 26000 Social Responsibility dan Global Reporting Initiative: G4, ia juga menerapkan keahliannya dalam dunia bisnis sebagai pendiri sejumlah usaha, di antaranya Kasa 1 Group (Garment, Online Business, Logistic), Mitrindo Permai (Makanan dan Minuman), Ruang Agro Terintegrasi (Perkebunan dan Peternakan), serta Urways Indonesia Corpora (Konsultan, Pelatihan, dan Penerbitan). Dalam dunia akademis, ia saat ini mengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara (2017-sekarang), Tangerang, setelah sebelumnya berbagi ilmu di Universitas Paramadina, Jakarta (2014-2017). Ia juga seorang penulis produktif, dengan berbagai publikasi yang mencakup tema-tema penting seperti CSR Communications, Sustainability Communication, Employee Branding, hingga Digital Marketing Communication. Buku-bukunya menjadi rujukan bagi banyak praktisi dan akademisi di bidang komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Politik Hijau : Lingkungan sebagai Agenda Utama

12 Desember 2024   08:45 Diperbarui: 13 Desember 2024   11:36 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di tengah hiruk-pikuk pembangunan dan perlombaan ekonomi global, isu lingkungan sering terpinggirkan dari agenda kebijakan publik. Padahal, krisis lingkungan adalah ancaman nyata yang tak pandang bulu: banjir besar melanda perkotaan, kekeringan mengancam pertanian, dan polusi udara meracuni napas jutaan manusia. Indonesia, negara yang dikenal sebagai paru-paru dunia, kini menghadapi dilema besar antara mengejar pertumbuhan ekonomi atau mempertahankan keseimbangan ekosistem. Tapi, mungkinkah kita memilih jalan ketiga—jalan yang berkelanjutan dan adil? 

Lingkungan bukan sekadar ruang fisik yang menjadi tempat hidup manusia; ia adalah sistem penopang kehidupan yang menyatukan masyarakat, budaya, dan ekonomi. Namun, di Indonesia, peran lingkungan dalam kebijakan pembangunan sering kali dikesampingkan demi mengejar angka pertumbuhan ekonomi. Deforestasi, pencemaran air, dan perubahan iklim bukanlah fenomena alam semata, melainkan cerminan dari struktur sosial, ekonomi, dan politik yang timpang. Dengan krisis lingkungan yang semakin akut, saatnya kita menjadikan politik hijau sebagai agenda utama untuk memastikan masa depan yang berkeadilan bagi semua. 

Lingkungan dan Ketimpangan Struktural

Indonesia adalah salah satu negara yang diberkahi dengan kekayaan alam yang luar biasa. Dari luasnya hutan tropis hingga beragam sumber daya tambang yang melimpah, negara ini memiliki potensi besar untuk menopang kehidupan warganya secara adil dan berkelanjutan. Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Kekayaan alam ini menjadi sasaran eksploitasi tanpa henti oleh perusahaan besar dan elite politik, sementara masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya tersebut justru menjadi korban utama. Kerusakan lingkungan tidak lagi sekadar ancaman ekologis, tetapi juga cerminan nyata dari ketimpangan struktural yang mendalam dalam sistem sosial, ekonomi, dan politik Indonesia.

Deforestasi yang terjadi selama dua dekade terakhir adalah salah satu bukti nyata. Data dari Global Forest Watch (2020) menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan hampir 10 juta hektare hutan dalam 20 tahun terakhir. Sebagian besar kerusakan ini disebabkan oleh ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit, tambang, dan pembangunan infrastruktur skala besar. Proyek-proyek ini sering kali dilakukan tanpa melibatkan konsultasi atau persetujuan dari masyarakat adat yang telah menjaga tanah tersebut selama berabad-abad. Vandana Shiva, dalam Earth Democracy (2005), menyebut pola ini sebagai "manifestasi dari ketidakadilan struktural," di mana keputusan-keputusan yang merusak lingkungan hampir selalu diambil oleh kelompok elite yang mengejar keuntungan jangka pendek tanpa memperhitungkan dampak jangka panjang bagi ekosistem dan masyarakat lokal.

Ketimpangan ini tidak hanya merugikan masyarakat adat, tetapi juga kelompok rentan lainnya seperti petani kecil dan nelayan. Mereka kehilangan akses ke tanah, air, dan sumber daya alam lainnya akibat proyek-proyek eksploitasi tersebut. Dalam banyak kasus, tanah adat mereka digusur untuk kepentingan perusahaan, tanpa ada kompensasi yang memadai. Lebih buruk lagi, mereka sering kali disalahkan atas kerusakan lingkungan yang terjadi, sementara pihak-pihak yang sebenarnya bertanggung jawab—perusahaan besar dan institusi politik yang mendukungnya—luput dari akuntabilitas. Situasi ini menggambarkan dengan jelas apa yang disebut Shiva sebagai "kolonialisme modern," yaitu eksploitasi sumber daya lokal oleh kepentingan kapitalisme global dengan mengorbankan kesejahteraan masyarakat lokal.

Ketidakadilan struktural ini juga terlihat jelas di kawasan perkotaan. Jakarta, sebagai pusat ekonomi dan politik Indonesia, menghadapi krisis lingkungan yang semakin parah. Polusi udara, yang sebagian besar berasal dari emisi kendaraan bermotor dan pembangkit listrik tenaga batu bara, telah menjadikan Jakarta salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia menurut laporan IQAir (2023). Polusi ini tidak hanya mengancam kesehatan warga, tetapi juga memperburuk ketimpangan sosial. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah padat penduduk dan dekat dengan kawasan industri paling merasakan dampaknya, sementara kelompok elite yang tinggal di kawasan dengan akses infrastruktur dan fasilitas kesehatan yang baik relatif terlindungi dari ancaman tersebut. Ketimpangan ini menegaskan bahwa krisis lingkungan tidak dapat dipisahkan dari krisis keadilan sosial.

Banjir yang hampir setiap tahun melanda Jakarta adalah contoh lain dari dampak ketimpangan struktural terhadap lingkungan. Masyarakat miskin yang tinggal di bantaran sungai atau daerah rawan banjir paling merasakan dampaknya. Mereka kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, bahkan nyawa. Ironisnya, banyak dari mereka yang tinggal di daerah ini karena keterpaksaan, akibat mahalnya harga tanah dan perumahan di lokasi yang lebih aman. Sementara itu, pembangunan infrastruktur besar-besaran, seperti reklamasi pantai dan gedung pencakar langit, terus dilakukan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap ekosistem dan masyarakat. Kebijakan pembangunan seperti ini menunjukkan bagaimana kepentingan elite ekonomi sering kali diutamakan di atas kebutuhan masyarakat luas.

Sebagaimana yang ditegaskan Vandana Shiva, "keberlanjutan hanya dapat dicapai jika kita memperbaiki relasi kuasa antara manusia dan alam." Dalam konteks Indonesia, ini berarti mendekonstruksi sistem politik dan ekonomi yang memprioritaskan eksploitasi sumber daya alam demi keuntungan segelintir pihak. Upaya untuk mengatasi krisis lingkungan harus dimulai dengan mengakui hak-hak masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya atas tanah dan sumber daya mereka. Selain itu, pemerintah perlu memastikan bahwa setiap proyek pembangunan melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal dan mempertimbangkan dampaknya terhadap keberlanjutan ekosistem.

Ketimpangan struktural yang mendalam ini tidak hanya memperburuk krisis lingkungan, tetapi juga menghambat upaya untuk mencari solusi yang berkeadilan. Vandana Shiva menawarkan pendekatan alternatif melalui konsep Earth Democracy, di mana manusia dan alam dipandang sebagai entitas yang saling terhubung dan setara. Dalam kerangka ini, kebijakan lingkungan tidak hanya berfokus pada aspek teknis seperti rehabilitasi hutan atau pengurangan emisi karbon, tetapi juga mencakup dimensi keadilan sosial dan hak asasi manusia.

Indonesia memiliki peluang besar untuk memimpin dalam transisi ke arah pembangunan yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan. Namun, hal ini hanya dapat terwujud jika pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengakui bahwa krisis lingkungan adalah persoalan politik dan keadilan, bukan sekadar masalah teknis. Dengan keberanian untuk mendekonstruksi sistem yang timpang dan membangun paradigma baru yang inklusif, Indonesia dapat menjadi contoh bagi dunia tentang bagaimana menciptakan keseimbangan antara manusia, alam, dan pembangunan. Sebagaimana yang diungkapkan Shiva, "keberlanjutan adalah tentang memulihkan hubungan antara manusia dan bumi yang telah dirusak oleh ketidakadilan." Saatnya Indonesia menjadikan ini sebagai landasan utama dalam membangun masa depan yang lebih baik.

Melawan Paradigma Eksploitasi

Pembangunan di Indonesia selama ini lebih sering dimaknai sebagai usaha untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan segala cara, termasuk melalui eksploitasi besar-besaran sumber daya alam. Ekspansi perkebunan kelapa sawit, penambangan mineral, dan pembangunan infrastruktur skala besar menjadi simbol dari paradigma pembangunan yang eksploitatif. Namun, di balik angka-angka pertumbuhan ekonomi yang dikejar, ada harga yang sangat mahal: kerusakan lingkungan yang meluas, hilangnya keanekaragaman hayati, dan konflik sosial yang tak kunjung reda.

Vandana Shiva dalam bukunya Biopiracy: The Plunder of Nature and Knowledge (1997) menyebut bahwa eksploitasi sumber daya alam yang terjadi di negara-negara berkembang sering kali tidak hanya berorientasi pada ekonomi, tetapi juga memiliki dimensi kolonial. Shiva menegaskan bahwa sumber daya alam dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dieksploitasi untuk mendukung sistem ekonomi global yang menguntungkan negara-negara maju. Proses ini sering kali dilakukan melalui perusahaan multinasional yang memonopoli akses terhadap tanah, air, dan keanekaragaman hayati, sementara masyarakat lokal hanya menjadi penonton yang merasakan dampak buruknya.

Contoh nyata dari paradigma ini adalah ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perkebunan sawit telah menjadi motor penggerak ekonomi Indonesia, tetapi dengan biaya ekologis dan sosial yang sangat besar. Deforestasi untuk pembukaan lahan sawit tidak hanya menghancurkan hutan tropis, tetapi juga menggusur masyarakat adat dari tanah mereka. Laporan dari Rainforest Action Network (2020) menyebutkan bahwa lebih dari 50% perkebunan sawit di Indonesia berada di atas tanah yang dulunya merupakan hutan primer. Hal ini menciptakan apa yang disebut Shiva dalam Earth Democracy (2005) sebagai "krisis keadilan ekologis," di mana ekosistem yang menjadi penopang kehidupan dihancurkan demi kepentingan pasar global.

Shiva juga mengkritik pendekatan ekonomi yang berfokus pada "pertumbuhan tanpa batas" sebagai ilusi yang berbahaya. Dalam Staying Alive: Women, Ecology, and Development (1988), ia menekankan bahwa "sumber daya alam bukan hanya komoditas ekonomi, tetapi juga dasar kehidupan manusia dan budaya." Ketika pembangunan hanya diukur dari produk domestik bruto (PDB), kita mengabaikan biaya sosial dan ekologis yang tidak terhitung, seperti hilangnya tanah adat, polusi air, dan bencana ekologis yang semakin sering terjadi.

Indonesia juga menghadapi tantangan besar dalam sektor energi, di mana ketergantungan pada bahan bakar fosil seperti batu bara terus mendominasi. Subsidi energi fosil yang mencapai Rp 200 triliun per tahun (Kementerian Keuangan, 2022) tidak hanya memperburuk krisis lingkungan, tetapi juga mencerminkan kebijakan yang masih terjebak dalam paradigma eksploitasi. Shiva dalam Making Peace with the Earth (2012) menyatakan bahwa ketergantungan pada bahan bakar fosil adalah "bentuk perbudakan modern," di mana masyarakat dan ekosistem terjebak dalam sistem yang tidak berkelanjutan.

Paradigma eksploitatif ini juga berdampak langsung pada hilangnya keanekaragaman hayati. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan megabiodiversitas, menghadapi ancaman besar terhadap flora dan fauna endemiknya akibat pembukaan lahan yang masif. Shiva dalam Manifestos on the Future of Food and Seed (2007) menekankan bahwa keanekaragaman hayati adalah kunci keberlanjutan ekosistem. Namun, praktik monokultur yang dominan, seperti dalam perkebunan sawit, menghancurkan keseimbangan alam dan menciptakan kerentanan ekologis yang besar.

Untuk melawan paradigma ini, Vandana Shiva menawarkan alternatif yang disebutnya sebagai "ekonomi berbasis keanekaragaman hayati." Dalam pandangan ini, pembangunan harus berakar pada prinsip keberlanjutan yang menghormati hubungan antara manusia dan alam. Model ini menekankan perlunya melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam, memperkuat hak-hak mereka atas tanah, dan mempromosikan sistem ekonomi yang tidak hanya mengutamakan keuntungan, tetapi juga keberlanjutan ekologis dan sosial.

Shiva juga menyerukan pergeseran dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi regeneratif, di mana sumber daya alam tidak lagi dieksploitasi secara berlebihan, tetapi dikelola dengan bijaksana untuk memulihkan ekosistem. Prinsip ini relevan dengan potensi Indonesia dalam pengembangan energi terbarukan, seperti energi matahari, angin, dan panas bumi, yang sejauh ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Dengan berinvestasi dalam energi terbarukan, Indonesia tidak hanya dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, tetapi juga menciptakan lapangan kerja hijau yang inklusif dan berkelanjutan.

Melawan paradigma eksploitasi juga berarti mendekonstruksi sistem kekuasaan yang timpang antara korporasi besar dan masyarakat lokal. Shiva menegaskan bahwa solusi sejati terhadap krisis lingkungan tidak akan tercapai tanpa memperbaiki relasi kuasa ini. Dalam konteks Indonesia, ini berarti memberikan ruang yang lebih besar bagi masyarakat adat, petani kecil, dan komunitas lokal untuk menjadi aktor utama dalam pengelolaan sumber daya alam. Pendekatan ini tidak hanya akan memperkuat keadilan sosial, tetapi juga menciptakan model pembangunan yang lebih tahan terhadap krisis ekologis.

Dengan mengadopsi prinsip-prinsip yang ditawarkan Vandana Shiva, Indonesia dapat bergerak menuju paradigma pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan. Ini bukan hanya tentang melindungi lingkungan, tetapi juga tentang menciptakan masa depan di mana manusia dan alam dapat hidup dalam harmoni. Paradigma eksploitasi harus digantikan oleh paradigma regenerasi, di mana keberlanjutan menjadi inti dari setiap keputusan pembangunan. Sebagaimana Shiva menyatakan, "Keberlanjutan adalah tentang menciptakan sistem yang menghormati batas-batas alam dan hak-hak manusia." Sudah saatnya Indonesia meninggalkan jalan eksploitatif dan memilih jalan keberlanjutan untuk masa depan yang lebih baik.

Gerakan Hijau yang Inklusif

Krisis lingkungan di Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih radikal dan inklusif, melibatkan semua elemen masyarakat—terutama mereka yang selama ini paling terdampak. Dari masyarakat adat yang tanahnya dirampas hingga petani kecil yang terjebak dalam siklus kemiskinan akibat kerusakan ekosistem, kelompok-kelompok ini harus menjadi aktor utama dalam gerakan lingkungan. Namun, kenyataannya, kebijakan lingkungan sering kali hanya menjadi domain elite politik dan teknokrat, tanpa menyentuh kebutuhan mendasar masyarakat lokal. Ini adalah persoalan keadilan ekologis dan sosial, sebagaimana yang ditegaskan Vandana Shiva dalam Earth Democracy (2005): “Gerakan lingkungan sejati hanya dapat lahir dari demokrasi berbasis komunitas.”

Di Indonesia, masyarakat adat memainkan peran penting dalam menjaga keanekaragaman hayati dan keberlanjutan lingkungan. Namun, mereka sering kali menjadi korban dari proyek pembangunan skala besar seperti perkebunan kelapa sawit, tambang, dan infrastruktur. Menurut laporan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, 2021), lebih dari 20 juta hektare tanah adat belum diakui secara hukum. Ketidakpastian ini membuat mereka rentan terhadap penggusuran dan kriminalisasi. Vandana Shiva dalam Staying Alive: Women, Ecology, and Development (1988) juga menyebut bahwa penyingkiran masyarakat lokal dari tanah mereka adalah bentuk kolonialisme modern yang merusak tidak hanya ekosistem, tetapi juga struktur sosial dan budaya lokal.

Gerakan hijau yang inklusif harus dimulai dengan mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya mereka. Pengakuan ini bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga strategi praktis untuk menjaga ekosistem. Studi yang diterbitkan oleh World Resources Institute (2019) menunjukkan bahwa wilayah yang dikelola oleh masyarakat adat cenderung lebih lestari dibandingkan kawasan yang dikelola oleh pemerintah atau perusahaan swasta. Hal ini mendukung pandangan Shiva bahwa “komunitas lokal adalah penjaga sejati keanekaragaman hayati.”

Selain masyarakat adat, gerakan hijau juga harus melibatkan petani kecil dan perempuan, yang sering kali menjadi aktor tak terlihat dalam perjuangan lingkungan. Shiva dalam Manifestos on the Future of Food and Seed (2007) misalnya, menyoroti pentingnya peran perempuan dalam mempertahankan keanekaragaman hayati melalui pertanian tradisional. Di Indonesia, perempuan di pedesaan sering kali menjadi penjaga benih lokal dan praktik pertanian berkelanjutan. Namun, kebijakan pertanian yang lebih mendukung monokultur dan benih transgenik mengancam peran ini. Gerakan hijau harus memberikan ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif, tidak hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga sebagai pengambil keputusan.

Gerakan hijau yang inklusif juga harus mengatasi relasi kuasa yang timpang antara korporasi besar dan masyarakat lokal. Vandana Shiva dalam Oneness vs. the 1%: Shattering Illusions, Seeding Freedom (2018) mengkritik bagaimana dominasi segelintir elite global telah menciptakan ketimpangan struktural yang memperburuk krisis lingkungan. Di Indonesia, dominasi ini terlihat dalam penguasaan lahan oleh perusahaan multinasional untuk perkebunan dan tambang, yang sering kali mengorbankan kepentingan lokal. Untuk mengatasinya, pemerintah harus memperkuat regulasi yang melindungi hak masyarakat atas tanah dan sumber daya alam, sekaligus memperketat pengawasan terhadap perusahaan yang melanggar aturan.

Pendekatan inklusif juga berarti membuka ruang dialog antara pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas lokal. Vandana Shiva dalam Making Peace with the Earth (2012) menekankan pentingnya membangun “demokrasi ekologis,” di mana keputusan terkait lingkungan tidak hanya dibuat oleh elite politik, tetapi melibatkan semua pihak yang terdampak. Di Indonesia, ini bisa diwujudkan melalui pembentukan forum-forum partisipatif yang melibatkan masyarakat adat, petani, perempuan, dan generasi muda dalam merancang kebijakan lingkungan. Langkah ini tidak hanya akan memperkuat legitimasi kebijakan, tetapi juga memastikan bahwa solusi yang diambil benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal.

Generasi muda juga harus menjadi bagian integral dari gerakan hijau yang inklusif. Mereka adalah pewaris masa depan yang paling terdampak oleh krisis lingkungan saat ini. Gerakan global seperti Fridays for Future, yang dimotori oleh Greta Thunberg, menunjukkan bahwa suara generasi muda dapat menjadi kekuatan besar dalam mendorong perubahan kebijakan. Di Indonesia, inisiatif serupa dapat digerakkan dengan fokus pada isu-isu lokal, seperti deforestasi, pencemaran air, dan transisi energi.

Gerakan hijau yang inklusif bukan hanya tentang menyelamatkan lingkungan, tetapi juga tentang menciptakan masyarakat yang lebih adil. Sebagaimana Shiva tegaskan, “Keadilan ekologis tidak dapat dipisahkan dari keadilan sosial.” Dengan melibatkan semua elemen masyarakat—dari masyarakat adat hingga generasi muda—Indonesia dapat membangun gerakan hijau yang kuat dan berkelanjutan. Gerakan ini tidak hanya akan melindungi lingkungan, tetapi juga menciptakan ruang bagi masyarakat untuk mendapatkan kembali kendali atas tanah, air, dan masa depan mereka. Sebagaimana Shiva nyatakan dalam Earth Democracy, “Gerakan hijau sejati adalah gerakan untuk kehidupan, keadilan, dan kebebasan bagi semua.” Saatnya Indonesia menjadikan ini sebagai fondasi gerakan lingkungannya. Semoga !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun