Gerakan hijau yang inklusif harus dimulai dengan mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya mereka. Pengakuan ini bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga strategi praktis untuk menjaga ekosistem. Studi yang diterbitkan oleh World Resources Institute (2019) menunjukkan bahwa wilayah yang dikelola oleh masyarakat adat cenderung lebih lestari dibandingkan kawasan yang dikelola oleh pemerintah atau perusahaan swasta. Hal ini mendukung pandangan Shiva bahwa “komunitas lokal adalah penjaga sejati keanekaragaman hayati.”
Selain masyarakat adat, gerakan hijau juga harus melibatkan petani kecil dan perempuan, yang sering kali menjadi aktor tak terlihat dalam perjuangan lingkungan. Shiva dalam Manifestos on the Future of Food and Seed (2007) misalnya, menyoroti pentingnya peran perempuan dalam mempertahankan keanekaragaman hayati melalui pertanian tradisional. Di Indonesia, perempuan di pedesaan sering kali menjadi penjaga benih lokal dan praktik pertanian berkelanjutan. Namun, kebijakan pertanian yang lebih mendukung monokultur dan benih transgenik mengancam peran ini. Gerakan hijau harus memberikan ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif, tidak hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga sebagai pengambil keputusan.
Gerakan hijau yang inklusif juga harus mengatasi relasi kuasa yang timpang antara korporasi besar dan masyarakat lokal. Vandana Shiva dalam Oneness vs. the 1%: Shattering Illusions, Seeding Freedom (2018) mengkritik bagaimana dominasi segelintir elite global telah menciptakan ketimpangan struktural yang memperburuk krisis lingkungan. Di Indonesia, dominasi ini terlihat dalam penguasaan lahan oleh perusahaan multinasional untuk perkebunan dan tambang, yang sering kali mengorbankan kepentingan lokal. Untuk mengatasinya, pemerintah harus memperkuat regulasi yang melindungi hak masyarakat atas tanah dan sumber daya alam, sekaligus memperketat pengawasan terhadap perusahaan yang melanggar aturan.
Pendekatan inklusif juga berarti membuka ruang dialog antara pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas lokal. Vandana Shiva dalam Making Peace with the Earth (2012) menekankan pentingnya membangun “demokrasi ekologis,” di mana keputusan terkait lingkungan tidak hanya dibuat oleh elite politik, tetapi melibatkan semua pihak yang terdampak. Di Indonesia, ini bisa diwujudkan melalui pembentukan forum-forum partisipatif yang melibatkan masyarakat adat, petani, perempuan, dan generasi muda dalam merancang kebijakan lingkungan. Langkah ini tidak hanya akan memperkuat legitimasi kebijakan, tetapi juga memastikan bahwa solusi yang diambil benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal.
Generasi muda juga harus menjadi bagian integral dari gerakan hijau yang inklusif. Mereka adalah pewaris masa depan yang paling terdampak oleh krisis lingkungan saat ini. Gerakan global seperti Fridays for Future, yang dimotori oleh Greta Thunberg, menunjukkan bahwa suara generasi muda dapat menjadi kekuatan besar dalam mendorong perubahan kebijakan. Di Indonesia, inisiatif serupa dapat digerakkan dengan fokus pada isu-isu lokal, seperti deforestasi, pencemaran air, dan transisi energi.
Gerakan hijau yang inklusif bukan hanya tentang menyelamatkan lingkungan, tetapi juga tentang menciptakan masyarakat yang lebih adil. Sebagaimana Shiva tegaskan, “Keadilan ekologis tidak dapat dipisahkan dari keadilan sosial.” Dengan melibatkan semua elemen masyarakat—dari masyarakat adat hingga generasi muda—Indonesia dapat membangun gerakan hijau yang kuat dan berkelanjutan. Gerakan ini tidak hanya akan melindungi lingkungan, tetapi juga menciptakan ruang bagi masyarakat untuk mendapatkan kembali kendali atas tanah, air, dan masa depan mereka. Sebagaimana Shiva nyatakan dalam Earth Democracy, “Gerakan hijau sejati adalah gerakan untuk kehidupan, keadilan, dan kebebasan bagi semua.” Saatnya Indonesia menjadikan ini sebagai fondasi gerakan lingkungannya. Semoga !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H