Vandana Shiva dalam bukunya Biopiracy: The Plunder of Nature and Knowledge (1997) menyebut bahwa eksploitasi sumber daya alam yang terjadi di negara-negara berkembang sering kali tidak hanya berorientasi pada ekonomi, tetapi juga memiliki dimensi kolonial. Shiva menegaskan bahwa sumber daya alam dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dieksploitasi untuk mendukung sistem ekonomi global yang menguntungkan negara-negara maju. Proses ini sering kali dilakukan melalui perusahaan multinasional yang memonopoli akses terhadap tanah, air, dan keanekaragaman hayati, sementara masyarakat lokal hanya menjadi penonton yang merasakan dampak buruknya.
Contoh nyata dari paradigma ini adalah ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perkebunan sawit telah menjadi motor penggerak ekonomi Indonesia, tetapi dengan biaya ekologis dan sosial yang sangat besar. Deforestasi untuk pembukaan lahan sawit tidak hanya menghancurkan hutan tropis, tetapi juga menggusur masyarakat adat dari tanah mereka. Laporan dari Rainforest Action Network (2020) menyebutkan bahwa lebih dari 50% perkebunan sawit di Indonesia berada di atas tanah yang dulunya merupakan hutan primer. Hal ini menciptakan apa yang disebut Shiva dalam Earth Democracy (2005) sebagai "krisis keadilan ekologis," di mana ekosistem yang menjadi penopang kehidupan dihancurkan demi kepentingan pasar global.
Shiva juga mengkritik pendekatan ekonomi yang berfokus pada "pertumbuhan tanpa batas" sebagai ilusi yang berbahaya. Dalam Staying Alive: Women, Ecology, and Development (1988), ia menekankan bahwa "sumber daya alam bukan hanya komoditas ekonomi, tetapi juga dasar kehidupan manusia dan budaya." Ketika pembangunan hanya diukur dari produk domestik bruto (PDB), kita mengabaikan biaya sosial dan ekologis yang tidak terhitung, seperti hilangnya tanah adat, polusi air, dan bencana ekologis yang semakin sering terjadi.
Indonesia juga menghadapi tantangan besar dalam sektor energi, di mana ketergantungan pada bahan bakar fosil seperti batu bara terus mendominasi. Subsidi energi fosil yang mencapai Rp 200 triliun per tahun (Kementerian Keuangan, 2022) tidak hanya memperburuk krisis lingkungan, tetapi juga mencerminkan kebijakan yang masih terjebak dalam paradigma eksploitasi. Shiva dalam Making Peace with the Earth (2012) menyatakan bahwa ketergantungan pada bahan bakar fosil adalah "bentuk perbudakan modern," di mana masyarakat dan ekosistem terjebak dalam sistem yang tidak berkelanjutan.
Paradigma eksploitatif ini juga berdampak langsung pada hilangnya keanekaragaman hayati. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan megabiodiversitas, menghadapi ancaman besar terhadap flora dan fauna endemiknya akibat pembukaan lahan yang masif. Shiva dalam Manifestos on the Future of Food and Seed (2007) menekankan bahwa keanekaragaman hayati adalah kunci keberlanjutan ekosistem. Namun, praktik monokultur yang dominan, seperti dalam perkebunan sawit, menghancurkan keseimbangan alam dan menciptakan kerentanan ekologis yang besar.
Untuk melawan paradigma ini, Vandana Shiva menawarkan alternatif yang disebutnya sebagai "ekonomi berbasis keanekaragaman hayati." Dalam pandangan ini, pembangunan harus berakar pada prinsip keberlanjutan yang menghormati hubungan antara manusia dan alam. Model ini menekankan perlunya melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam, memperkuat hak-hak mereka atas tanah, dan mempromosikan sistem ekonomi yang tidak hanya mengutamakan keuntungan, tetapi juga keberlanjutan ekologis dan sosial.
Shiva juga menyerukan pergeseran dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi regeneratif, di mana sumber daya alam tidak lagi dieksploitasi secara berlebihan, tetapi dikelola dengan bijaksana untuk memulihkan ekosistem. Prinsip ini relevan dengan potensi Indonesia dalam pengembangan energi terbarukan, seperti energi matahari, angin, dan panas bumi, yang sejauh ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Dengan berinvestasi dalam energi terbarukan, Indonesia tidak hanya dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, tetapi juga menciptakan lapangan kerja hijau yang inklusif dan berkelanjutan.
Melawan paradigma eksploitasi juga berarti mendekonstruksi sistem kekuasaan yang timpang antara korporasi besar dan masyarakat lokal. Shiva menegaskan bahwa solusi sejati terhadap krisis lingkungan tidak akan tercapai tanpa memperbaiki relasi kuasa ini. Dalam konteks Indonesia, ini berarti memberikan ruang yang lebih besar bagi masyarakat adat, petani kecil, dan komunitas lokal untuk menjadi aktor utama dalam pengelolaan sumber daya alam. Pendekatan ini tidak hanya akan memperkuat keadilan sosial, tetapi juga menciptakan model pembangunan yang lebih tahan terhadap krisis ekologis.
Dengan mengadopsi prinsip-prinsip yang ditawarkan Vandana Shiva, Indonesia dapat bergerak menuju paradigma pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan. Ini bukan hanya tentang melindungi lingkungan, tetapi juga tentang menciptakan masa depan di mana manusia dan alam dapat hidup dalam harmoni. Paradigma eksploitasi harus digantikan oleh paradigma regenerasi, di mana keberlanjutan menjadi inti dari setiap keputusan pembangunan. Sebagaimana Shiva menyatakan, "Keberlanjutan adalah tentang menciptakan sistem yang menghormati batas-batas alam dan hak-hak manusia." Sudah saatnya Indonesia meninggalkan jalan eksploitatif dan memilih jalan keberlanjutan untuk masa depan yang lebih baik.
Gerakan Hijau yang Inklusif
Krisis lingkungan di Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih radikal dan inklusif, melibatkan semua elemen masyarakat—terutama mereka yang selama ini paling terdampak. Dari masyarakat adat yang tanahnya dirampas hingga petani kecil yang terjebak dalam siklus kemiskinan akibat kerusakan ekosistem, kelompok-kelompok ini harus menjadi aktor utama dalam gerakan lingkungan. Namun, kenyataannya, kebijakan lingkungan sering kali hanya menjadi domain elite politik dan teknokrat, tanpa menyentuh kebutuhan mendasar masyarakat lokal. Ini adalah persoalan keadilan ekologis dan sosial, sebagaimana yang ditegaskan Vandana Shiva dalam Earth Democracy (2005): “Gerakan lingkungan sejati hanya dapat lahir dari demokrasi berbasis komunitas.”
Di Indonesia, masyarakat adat memainkan peran penting dalam menjaga keanekaragaman hayati dan keberlanjutan lingkungan. Namun, mereka sering kali menjadi korban dari proyek pembangunan skala besar seperti perkebunan kelapa sawit, tambang, dan infrastruktur. Menurut laporan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, 2021), lebih dari 20 juta hektare tanah adat belum diakui secara hukum. Ketidakpastian ini membuat mereka rentan terhadap penggusuran dan kriminalisasi. Vandana Shiva dalam Staying Alive: Women, Ecology, and Development (1988) juga menyebut bahwa penyingkiran masyarakat lokal dari tanah mereka adalah bentuk kolonialisme modern yang merusak tidak hanya ekosistem, tetapi juga struktur sosial dan budaya lokal.