[caption caption="sumber: Don Peppers Blog"][/caption]Bila bisa dijadikan suatu kebanggaan, mungkin “budaya korupsi” bisa dijadikan salah satu identitas bangsa Indonesia. Sayangnya budaya korupsi ini lebih mengarah kepada konotasi yang negatif alias tidak pantas dan sangat memalukan, namun “budaya korupsi” sudah merupakan hal yang lumrah di negara kita tercinta ini dari tingkat kehidupan terendah sampai tingkatan yang lebih tinggi sekalipun, baik skala kecil, skala besar, secara sembunyi-sembunyi/halus maupun terang-terangan.
Sudah banyak referensi yang membahas secara dalam mengenai budaya korupsi di Indonesia, dari mulai asal muasalnya, modus, motif, cara pencegahan, aspek hukum dan sebagainya. Tapi sejauh ini budaya yang sudah melekat kuat ini susah untuk dihilangkan. Bisa diibaratkan inilah petunjuk identitas terkuat bangsa Indonesia yang sesungguhnya.
Sekarang kita akan mencoba menela’ah secara pemikiran awam, mengapa budaya korupsi ini sangat mengakar kuat di Indonesia. Bila ditela’ah secara mendalam kemungkinan besar ada pola/cara pikir pada kebanyakan masyarakat Indonesia yang salah dan telah tertanam dalam alam bawah sadar dan menjadi budaya sejak jaman dahulu kala. Budaya ini secara perlahan dan pasti telah mulai ditanamkan sejak usia dini (masa kanak kanak). Pola pikir ini sangat mendasar, sederhana, tapi bisa mengubah masyarakat Indonesia kebanyakan menjadi koruptor mulai kelas teri sampai monster kelas kakap. Hal paling mendasar tersebut adalah: Cara pikir kebanyakan masyarakat Indonesia yang hanya berorientasi pada “hasil semata” bukan “proses menuju hasil”. Bagaimana hubungan cara pikir ini dengan budaya korupsi bangsa Indonesia ini? Tulisan ini akan mencoba menela’ah lebih lanjut.
Orientasi “Hasil Semata” vs Orientasi “Proses menuju Hasil”
Orientasi “hasil semata” adalah segala sesuatu hal yang dilakukan akan lebih mengutamakan “hasil yang diperoleh” daripada “proses untuk mencapai hasil tersebut”. Tidak peduli bagaimana prosesnya, bisa dengan proses yang benar ataupun dengan proses yang salah, yang penting hasilnya sesuai keinginan. Di dalam agama manapun, diajarkan bahwa proseslah yang terpenting, karena di dalamnya ada keberkahan dari Tuhan Yang Mahe Esa bila proses yang dijalani berada pada koridor yang benar menurut ajaran agama, tidak peduli bagaimana hasil akhirnya.
Hasil akhir hanyalah efek dari proses tersebut. Biasanya bila prosesnya baik dan benar, maka hasilnya pun akan maksimal. Kalaupun hasilnya tidak sesuai dengan harapan, namun proses yang baik dan benar tersebut telah memberikan banyak hikmah dan keberkahan, bisa berupa: pengalaman berharga, ilmu bermanfaat, hubungan relasi bertambah, kesehatan, waktu bermanfaat, terbukanya pintu rizki lainnya dan sebagainya.
Dari pengalaman hidup sehari-hari di negara kita tercinta ini, ternyata kebanyakan masyarakat Indonesia lebih mengutamakan “hasil” daripada “proses”. Kesuksesan hakiki di mata kebanyakan masyarakat Indonesia adalah hasil yang tampak, tidak peduli prosesnya bagaimana. Padahal hasil maksimal itu tidak selalu berwujud alias abstrak, namun karena pola pikir masyarakat Indonesia yang telah diracuni sejak usia dini, maka hasil maksimal itu adalah sesuatu yang tampak mentereng/mencolok dan bisa dikagumi secara langsung. Manusia yang intelek dan berwawasan luas tidak akan dengan mudah melihat “hasil semata”, tetapi akan berusaha memahami bagaimana “proses” yang telah dilalui dalam mencapai hasil tersebut atau dapat memahami arti dari hasil yang hakiki, bisa berwujud ataupun tak berwujud/abstrak.
Beberapa contoh sederhana berikut dapat memberikan sedikit gambaran, bagaimana bentuk dari orientasi pada “hasil semata”:
Ada percakapan beberapa orang (mungkin makelar), intinya percakapan mereka membahas mengenai beruntungnya jadi makelar hasil pertanian, tidak perlu lelah melakukan proses tanam, bisa mengatur harga dan untung lebih besar, sedangkan petani harus kerja berat melakukan proses tanam dan untungnya pun tidak seberapa. Di sini mereka hanya berorientasi pada hasil, tanpa memikirkan proses.
Kalau makelar yang tidak curang mungkin tidak masalah, tapi kalau makelar yang curang maka hasilnya kemungkinan tidak membawa keberkahan walaupun dengan hasil keuntungan yang melimpah. Petani sendiri kemungkinan melakukan hal yang lebih berkah dan bernilai moral tinggi, mereka telah sukses melakukan proses tanam dengan kesungguhan dan menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan orang banyak. Petanilah yang sukses, kalau kita melihat dari prosesnya, bukan sekedar dari hasil keuntungan petani. Mungkin petani hidup pas-pasan, tetapi mereka menikmati proses tersebut dan mungkin juga memberikan kebahagian;
Dari obrolan beberapa orang, salah satu dari mereka membicarakan temannya yang kebetulan sedang tidak di sana, dia bilang temannya itu suskes sekali, mobilnya baru dan rumahnya bagus. Mereka tidak peduli bagaimana prosesnya yang penting tampak mentereng hasilnya. Selain itu mereka juga membicarakan teman yang lainnya yang kebetulan juga tidak hadir, bahwa temannya tersebut manusia gagal, berkali-kali usaha tetapi gagal. Mereka tidak menghargai proses yang sedang dijalani temannya tersebut. Padahal temannya yang sedang berproses itulah yang sukses. Sukses melakukan aksi bukan sekedar diam diri tanpa usaha. Sedangkan teman yang dibilang sukses dengan mobil baru dan rumah bagus tersebut, semuanya didapat dari warisan orang tuanya;
Ada seseorang yang sangat membanggakan anaknya yang punya nilai sangat baik di sekolahnya, dia bilang anaknya sukses sekolahnya nilainya bagus-bagus, sedangkan ada orang yang tidak begitu membanggakan anaknya, bahkan anaknya sendiri dibilang tidak terlampau pandai karena nilai sekolahnya yang biasa saja. Namun ternyata anak yang nilainya bagus tersebut sangat egois, tidak ringan tangan dan sering menyuruh orang orang lain. Berbeda dengan anak yang dianggap tidak pandai, anaknya ringan tangan/suka menolong, tidak egois, suka membaca dan banyak bertanya tentang berbagai hal karena rasa ingin tahunya yang sangat besar.
Walaupun nilainya biasa saja, tapi anak ini sangat menikmati proses perkembangannya, tidak terlalu dipaksa harus ini dan itu tapi semuanya mengalir dengan alami. Di sini, walaupun kelihatan berbeda hasil akhirnya, tapi proses dari anak yang dianggap tidak pandailah yang sukses. Karakternya berhasil dibentuk dengan baik, bukan sekedar dipaksakan mengejar nilai tinggi, tapi mungkin juga bisa membentuk manusia yang kreatif dan inovatif di kemudian hari;
Dan masih banyak contoh lainnya, yang bisa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari kita, di mana kebanyakan masyarakat Indonesia hanya menitik-beratkan pada “hasil akhir semata”, bahkan sering “masa bodoh” dengan “proses” yang sedang dijalani.
Dari uraian di atas, semoga dapat membuka lebar mata hati kita arti kata “sukses” tidak selalu harus berpijak pada “hasil akhir”, tetapi harus juga dipahami bagaiman “proses” yang sedang dijalani tersebut.
Korelasi antara Orientasi “Hasil Semata” dan “Budaya Korupsi”
Dari uraian sebelumnya dapat dengan mudah disimpulkan bagaimana karakter umum masyarakat Indonesia, yaitu lebih berorientasi pada “hasil semata”. Manusia adalah mahluk yang butuh penghargaan, walaupun tidak selalu tampak, tapi seperti itulah manusia. Hanya dalam memberikan penghargaan ini terkadang salah caranya. Hal inilah yang harus diluruskan agar tidak semakin menjadi-jadi. Bagaimanakah sebenarnya korelasi antara orientasi “hasil semata” dan “budya korupsi”? Akan coba kita bahas pada sub bagian ini.
Manusia bagaimanapun butuh penghargaan dari orang-orang di sekitarnya, sadar maupun tidak sadar, ini karena sifat dari mahluk sosial. Pada masyarakat yang hanya berorientasi pada “hasil semata”, maka salah satu cara supaya mendapat penghargaan tersebut adalah dengan mengubah segala sesuatu dari kondisi diri agar orang bisa melirik dan melihat ke arah manusia tersebut, bahkan terkadang melalui kompetisi/persaingan yang tidak sehat. Akhirnya “prosesnya” sudah tidak dipedulikan lagi, benar ataupun salah, yang penting bisa memberikan hasil akhir semaksimal mungkin, sementereng mungkin, semenarik mungkin, semenyolok mungkin dan sebagainya, agar orang di sekelilingnya tersadar untuk sejenak melirik dan melihat, betapa suksesnya orang tersebut.
Tapi terkadang sukses ini hanya semu belaka, karena proses yang salah, maka tidak memberikan ketenangan dan kebahagiaan. Proses yang dimaksud untuk mencapai kesuksesan semu ini adalah melalui “jalan pintas”. Bisa dengan berbagai cara dan salah satu caranya adalah dengan melakukan “korupsi”, dari skala kecil sampai skala besar. Pada akhirnya akan membentuk suatu “budaya korupsi”.
Mungkin pada awalnya seseorang itu tampak baik dan jujur, namun bila setiap saat di-bombardier dengan persaingan yang tidak sehat dan proses yang sedang dijalani tidak mendapatkan penghargaan, maka “korupsi” adalah salah satu jalan pintas mencapai “hasil akhir” yang maksimal. Baik korupsi waktu maupun keuangan. Bagaiman jadinya jika setiap saat pikiran dicekoki oleh perkataan orang lain seperti contoh berikut: Dia sukses sekali, mobilnya baru, rumahnya banyak, sering bepergian ke luar negri dan sebagainya.
Jika ketahanan mental seseorang tidak kuat dan dia berada di lingkungan demikian, sedangkan dia sendiri sedang berproses , namun tidak dihargai. Jika ada kesempatan untuk melakukan korupsi, pada akhirnya akan dilakoni juga, tidak peduli lagi dengan moral, yang penting bisa secepatnya tampak menyolok di mata orang-orang sekelilingnya, serta dihargai tentunya, walaupun dengan “kesuksesan semu” sekalipun. Pada akhirnya keadaan ini menjadi hal yang lumrah dan dilakukan secara bersama-sama/kelompok dan menjadi suatu “budaya korupsi”. Semua orang berlomba-lomba mencapai hasil akhir semaksimal mungkin dengan segala cara, halal atau haram tidak dipedulikan lagi.
“Budaya Korupsi” identik dengan minim Hasil Karya
Sebelum membahas lebih lanjut, kita renungkan dulu, Berapa banyakkah hasil karya orang Indonesia yang bermanfaat bagi orang banyak dan mendunia? Mungkin ada saja, tapi jumlahnya sangat sedikit dengan prosentase yang tidak sebanding dengan jumlah rakyat Indonesia yang mencapai ratusan juta jiwa. Mengapa demikian? Ya karena inilah efek dari “budaya korupsi” sebagai akibat dari cara pikir yang hanya berorientasi pada “hasil semata”. Orang Indonesia umumnya berlomba-lomba mencapai hasil akhir semaksimal mungkin, tidak peduli lagi dengan prosesnya. Padahal proses adalah bisa dianggap sesuatu yang sangat sakral, harus dilakukan dengan baik dan benar, karena akan memberikan hasil yang sangat dasyat dan pondasi yang kuat dari segala hal yang dilakukan.
Sebagai contoh Negara Jerman, banyak penemuan penting kelas dunia dihasilkan dari pemikiran orang Jerman. Hal ini karena mereka sangat peduli terhadap proses. Walaupun hasil akhirnya tidak maksimal, tetapi proses yang teramat penting ini sangat diperhatikan dan dihargai. Tidak peduli kaya, miskin, tua, muda dan perbedaan apapun, jika suatu proses yang dijalani punya misi dan visi jelas, maka akan sangat dihargai, bahkan jika hasil akhirnya mengecewakan, tapi setidaknya telah dibangun suatu pondasi kuat untuk menuju arah perbaikan.
Negara maju umumnya sangat menghargai proses yang sedang dijalani seseorang ataupun kelompok. Proses-proses dengan misi dan visi yang jelas dan terarah inilah yang biasanya bisa memberikan hasil yang dasyat, walaupun tidak semuanya. Sebagai contoh kasus, ada seorang ilmuan yang berprofesi sebagai dosen di salah satu universitas di Indonesia, dicemooh oleh keluarga besarnya, hanya karena dia hidup sederhana dalam idealisme sebagai ilmuan sejati. Hal ini hanya karena penampilan yang biasa-biasa saja, kendaraan yang biasa dan rumah yang juga biasa saja.
Padahal proses yang dijalaninya adalah membagi ilmunya kepada orang banyak. Semakin tinggi strata seseorang di Indonesia, maka dalam benak kebanyakan orang Indonesia harus sudah memiliki harta yang melimpah. Bila disederhanakan maksudnya, semakin tinggi strata orang di Indonesia, maka harus semakin melimpah kekayaannya. Berbeda dengan para dosen di universitas negara maju, tidak peduli seperti apapun penampilannya, selama dia berproses dengan baik dan benar yaitu memajukan ilmu yang digelutinya, maka akan sangat dihargai.
Solusi untuk mencegah “Budaya Korupsi”
Bila berbicara solusi untuk “budaya korupsi” yang sudah menjadi epidemic, maka terlihat merupakan suatu hal sangat mustahil. Namun mungkin bisa dicoba beberapa upaya-upaya berikut yang hanya bagian kecil dari banyak upaya yang bisa dan telah dilakukan:
1. Perlu ditanamkan kepada para generasi penerus bangsa sejak dini, hasil akhir bukanlah segala-galanya, tapi proses dengan misi dan visi yang jelas dan terarahlah yang terpenting. Generasi muda harus dibina agar senantiasa berproses dengan misi, visi dan komitmen, hasil akhir hanyalah merupakan efek dari proses;
2. Nilai akhir hanyalah pelengkap, setiap manusia harus diberikan kesempatan untuk berkarya sesuai dengan minat dan kemampuannya. Seseorang yang dianggap sukses seharusnya diukur dari apa yang dihasilkan apakah bermanfaat bagi orang banyak atau tidak. Percuma kalau hasil akhir/nilai akademis baik, tapi tidak fair dalam prosesnya atau ilmunya tidak bermanfaat untuk orang lain;
3. Perlu ditanamkan sejak usia dini dalam kehidupan yang sesaat ini di dunia, tidak hanya mengejar materi semata dengan membabi buta, tetapi harus punya misi dan visi yang baik dan terarah sehingga kelak bisa berproses untuk menghasilkan karya yang bermanfaat bagi orang banyak. Berkacalah pada Negara maju, di mana mereka telah banyak menghasilkan karya yang sangat bermanfaat bagi umat manusia, seperti: pesawat terbang, mesin, computer dan sebagainya;
4. Setiap individu harus diberikan kesempatan berproses, tidak dipaksa untuk secepatnya mendapatkan hasil;
5. Cara pandang terhadap suatu kesuksesan perlu diubah, harusnya penghargaan tertinggi diberikan kepada siapa saja yang sudah berproses dengan sungguh-sungguh, tidak dengan cara yang salah. Cara pandang kebanyakan masyarakat Indonesia terhadap kesuksesan seharusnyua tidak hanya berdasarkan seberapa melimpah kekayaannya sesuai dengan strata pendidikannya, tapi bagaiman proses yang dijalaninya. Tukang sampah sekalipun tidak bisa dibilang manusia gagal, jika dia telah sukses mengolah sampah dan ahli dalam bidang persampahan, maka dia dapat dikategorikan sebagai orang yang sukses. Apapun profesinya dan bagaimanapun hasil yang didapatnya, penentuan tingkat kesusksesan seseorang sebaiknya dilihat dari proses yang dijalaninya.
Mungkin masih banyak cara lainnya untuk melawan atau bahkan menghilangkan ”budaya korupsi” ini, tapi yang pasti cara pikir kebanyakan masyarakat Indonesia harus diubah, supaya bisa berpikir seperti masyarakat di negara-negara maju (walaupun ada juga praktek korupsi di negara maju, namun tidak sebringas di indonesia).
Semakin tinggi strata pendidikan seseorang, bisa dikatakan “sukses”, jika dapat menghasilkan semakin banyak karya yang bermanfaat untuk orang banyak di bidang yang digelutinya. Semoga dengan perubahan pola pikir ini, akhirnya bangsa Indonesia dapat menghasilkan semakin banyak karya yang bermanfaat bagi orang banyak, mendunia dan menghilangkan “budaya korupsi” yang telah mengakar kuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H