Walaupun nilainya biasa saja, tapi anak ini sangat menikmati proses perkembangannya, tidak terlalu dipaksa harus ini dan itu tapi semuanya mengalir dengan alami. Di sini, walaupun kelihatan berbeda hasil akhirnya, tapi proses dari anak yang dianggap tidak pandailah yang sukses. Karakternya berhasil dibentuk dengan baik, bukan sekedar dipaksakan mengejar nilai tinggi, tapi mungkin juga bisa membentuk manusia yang kreatif dan inovatif di kemudian hari;
Dan masih banyak contoh lainnya, yang bisa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari kita, di mana kebanyakan masyarakat Indonesia hanya menitik-beratkan pada “hasil akhir semata”, bahkan sering “masa bodoh” dengan “proses” yang sedang dijalani.
Dari uraian di atas, semoga dapat membuka lebar mata hati kita arti kata “sukses” tidak selalu harus berpijak pada “hasil akhir”, tetapi harus juga dipahami bagaiman “proses” yang sedang dijalani tersebut.
Korelasi antara Orientasi “Hasil Semata” dan “Budaya Korupsi”
Dari uraian sebelumnya dapat dengan mudah disimpulkan bagaimana karakter umum masyarakat Indonesia, yaitu lebih berorientasi pada “hasil semata”. Manusia adalah mahluk yang butuh penghargaan, walaupun tidak selalu tampak, tapi seperti itulah manusia. Hanya dalam memberikan penghargaan ini terkadang salah caranya. Hal inilah yang harus diluruskan agar tidak semakin menjadi-jadi. Bagaimanakah sebenarnya korelasi antara orientasi “hasil semata” dan “budya korupsi”? Akan coba kita bahas pada sub bagian ini.
Manusia bagaimanapun butuh penghargaan dari orang-orang di sekitarnya, sadar maupun tidak sadar, ini karena sifat dari mahluk sosial. Pada masyarakat yang hanya berorientasi pada “hasil semata”, maka salah satu cara supaya mendapat penghargaan tersebut adalah dengan mengubah segala sesuatu dari kondisi diri agar orang bisa melirik dan melihat ke arah manusia tersebut, bahkan terkadang melalui kompetisi/persaingan yang tidak sehat. Akhirnya “prosesnya” sudah tidak dipedulikan lagi, benar ataupun salah, yang penting bisa memberikan hasil akhir semaksimal mungkin, sementereng mungkin, semenarik mungkin, semenyolok mungkin dan sebagainya, agar orang di sekelilingnya tersadar untuk sejenak melirik dan melihat, betapa suksesnya orang tersebut.
Tapi terkadang sukses ini hanya semu belaka, karena proses yang salah, maka tidak memberikan ketenangan dan kebahagiaan. Proses yang dimaksud untuk mencapai kesuksesan semu ini adalah melalui “jalan pintas”. Bisa dengan berbagai cara dan salah satu caranya adalah dengan melakukan “korupsi”, dari skala kecil sampai skala besar. Pada akhirnya akan membentuk suatu “budaya korupsi”.
Mungkin pada awalnya seseorang itu tampak baik dan jujur, namun bila setiap saat di-bombardier dengan persaingan yang tidak sehat dan proses yang sedang dijalani tidak mendapatkan penghargaan, maka “korupsi” adalah salah satu jalan pintas mencapai “hasil akhir” yang maksimal. Baik korupsi waktu maupun keuangan. Bagaiman jadinya jika setiap saat pikiran dicekoki oleh perkataan orang lain seperti contoh berikut: Dia sukses sekali, mobilnya baru, rumahnya banyak, sering bepergian ke luar negri dan sebagainya.
Jika ketahanan mental seseorang tidak kuat dan dia berada di lingkungan demikian, sedangkan dia sendiri sedang berproses , namun tidak dihargai. Jika ada kesempatan untuk melakukan korupsi, pada akhirnya akan dilakoni juga, tidak peduli lagi dengan moral, yang penting bisa secepatnya tampak menyolok di mata orang-orang sekelilingnya, serta dihargai tentunya, walaupun dengan “kesuksesan semu” sekalipun. Pada akhirnya keadaan ini menjadi hal yang lumrah dan dilakukan secara bersama-sama/kelompok dan menjadi suatu “budaya korupsi”. Semua orang berlomba-lomba mencapai hasil akhir semaksimal mungkin dengan segala cara, halal atau haram tidak dipedulikan lagi.
“Budaya Korupsi” identik dengan minim Hasil Karya
Sebelum membahas lebih lanjut, kita renungkan dulu, Berapa banyakkah hasil karya orang Indonesia yang bermanfaat bagi orang banyak dan mendunia? Mungkin ada saja, tapi jumlahnya sangat sedikit dengan prosentase yang tidak sebanding dengan jumlah rakyat Indonesia yang mencapai ratusan juta jiwa. Mengapa demikian? Ya karena inilah efek dari “budaya korupsi” sebagai akibat dari cara pikir yang hanya berorientasi pada “hasil semata”. Orang Indonesia umumnya berlomba-lomba mencapai hasil akhir semaksimal mungkin, tidak peduli lagi dengan prosesnya. Padahal proses adalah bisa dianggap sesuatu yang sangat sakral, harus dilakukan dengan baik dan benar, karena akan memberikan hasil yang sangat dasyat dan pondasi yang kuat dari segala hal yang dilakukan.
Sebagai contoh Negara Jerman, banyak penemuan penting kelas dunia dihasilkan dari pemikiran orang Jerman. Hal ini karena mereka sangat peduli terhadap proses. Walaupun hasil akhirnya tidak maksimal, tetapi proses yang teramat penting ini sangat diperhatikan dan dihargai. Tidak peduli kaya, miskin, tua, muda dan perbedaan apapun, jika suatu proses yang dijalani punya misi dan visi jelas, maka akan sangat dihargai, bahkan jika hasil akhirnya mengecewakan, tapi setidaknya telah dibangun suatu pondasi kuat untuk menuju arah perbaikan.
Negara maju umumnya sangat menghargai proses yang sedang dijalani seseorang ataupun kelompok. Proses-proses dengan misi dan visi yang jelas dan terarah inilah yang biasanya bisa memberikan hasil yang dasyat, walaupun tidak semuanya. Sebagai contoh kasus, ada seorang ilmuan yang berprofesi sebagai dosen di salah satu universitas di Indonesia, dicemooh oleh keluarga besarnya, hanya karena dia hidup sederhana dalam idealisme sebagai ilmuan sejati. Hal ini hanya karena penampilan yang biasa-biasa saja, kendaraan yang biasa dan rumah yang juga biasa saja.