Setiap orang tua pasti berharap dapat menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan yang terbaik. Dalam hal ini, definisi atau kategori terbaik tentu amat subjektif. Namun demikian, kiranya ada beberapa hal yang dapat dianggap sebagai kesepakatan umum atau relatif objektif seperti perlunya lingkungan sekolah yang bersih, aman, dan nyaman. Satu lagi, dan kini marak menjadi perbincangan dan buruan para orang tua, adalah sekolah modern.
Istilah sekolah modern yang dimaksud bukan sekadar berkutat pada urusan ketersediaan fasilitas belajar yang dianggap canggih macam adanya laboratorium komputer, internet atau telah menggunakan aplikasi tertentu untuk menunjang pembelajaran secara daring.
Lebih dari itu, sekolah modern adalah sekolah yang mampu menawarkan, bahkan menerapkan, sistem pendidikan dan metode belajar mengajar yang dapat membantu para muridnya menjadi mandiri dalam belajar, memiliki pengetahuan akademik yang mumpuni, inovatif, berani kritis serta siap mengaplikasikan pengetahuannya dalam beragam konteks.
Terlebih pada masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, di mana setiap orang dianjurkan untuk beraktivitas di dalam rumah masing-masing dan atau wajib menerapkan social distancing, konsep sekolah modern kian menjadi wacana seksi sekaligus alternatif yang menjanjikan. Masalahnya, adakah sekolah modern seperti yang disinggung di atas? Atau, jika tidak perlu seekstrem itu, berapa banyak sekolah yang telah melakukan transformasi menjadi sekolah modern?
Sungguh, saya tidak punya data yang detil dan lengkap untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun demikian, saya yakin ada sekolah yang telah dan terus melakukan transformasi menjadi sekolah modern, meskipun jumlahnya belum banyak. Secara umum, dengan tidak bermaksud mengecilkan atau menafikan upaya sekolah-sekolah negeri, transformasi tersebut biasanya dimotori oleh sekolah-sekolah swasta yang muridnya dari kalangan menengah ke atas.
Tantangan Era Metaverse
Mengapa transformasi sekolah penting dilakukan? Karena kita mafhum bahwa dunia ini tidak statis. Dunia ini terus berputar dan pada putarannya dunia mengalami fase-fase peradaban yang terus berubah. Hingga detik ini, fase perubahan dunia tengah memasuki zaman yang jamak disebut sebagai era revolusi digital atau era industri 4.0.
Mengarungi era macam ini, narasi ihwal perubahan telah menjadi percakapan umum dan santer di ruang publik, baik yang dikemas secara serius di forum-forum diskusi dan seminar maupun perbincangan ngalor-ngidul di warung kopi. Pun demikian yang terjadi di jagat maya.
Bahkan, saking cepatnya perubahan di era mutakhir ini, belum juga kita rampung mengupas tuntas istilah era industri 4.0, akhir-akhir ini kita sudah digempur lagi dengan istilah metaverse dengan segala konsekuensinya, yang menuntut setiap orang agar lekas berubah serta beradaptasi. Sayangnya, saya yakin, banyak dari kita yang masih gagap membayangkan kehidupan yang (akan) terjadi di era metaverse ini.
Namun demikian, barangkali setidaknya kita sempat membaca berita ihwal pernyataan bos perusahaan software multinasional, Bill Gates, bahwa metaverse akan mengubah budaya kerja. Itu artinya, ada dampak yang niscaya mengubah beberapa aspek penting dalam kehidupan umat manusia. Selain kian banyaknya mesin-mesin atau robot yang menggantikan tenaga manusia, juga pasti memengaruhi mindset atau pola pikir manusia dalam memaknai hidup.
Dunia di era metaverse tidak (akan) lagi bergantung pada banyaknya tenaga manusia. Buktinya, kini kita sudah merasakan betapa kecanggihan teknologi yang mewujud dalam beragam aplikasi telah menjamur dan menggantikan peran manusia. Coba saja cermati, dahulu mesin-mesin di setiap pabrik harus dioperasikan oleh banyak orang, kini cukup dioperasikan dengan satu komputer yang dipegang oleh satu orang. Selain itu, lingkar birokrasi yang dahulu rumit dan lelet, kini kian ramping dan supercepat.
Sebagai imbasnya, terutama dari kacamata ekonomi, selain pekerjaan menjadi lebih praktis, juga dapat mengurangi biaya operasional. Konsekuensinya, hal itu pasti berdampak pada banyaknya manusia yang kehilangan pekerjaan. Dengan demikian, persaingan manusia di dunia kerja kian ketat dan pasti amat selektif.
Lalu, bagaimana peran sekolah atau dunia pendidikan dalam melihat dan merespons fenomena tersebut? Tentu, kita berharap, jawaban atas pertanyaan itu tidak lantas mengerucut atau terjebak pada urusan masih lega atau kian sempitnya peluang kerja belaka. Sebab ada yang lebih penting dari itu, yakni bagaimana agar hidup manusia di era metaverse itu tidak merasa terasing atau tersisihkan. Sebaliknya, agar umat manusia, khususnya para generasi penerus setelah kita, harus lebih cerdas, inovatif, dan penuh makna.
Sekolah Modern
Membahas ihwal pentingnya peran pendidikan dalam merespons setiap perubahan zaman, kiranya amat relevan jika saya kutip pernyataan jenial dari seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, yakni Ali bin Abi Thalib. Ia pernah berpesan dengan amat jelas dan lugas. "Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka, bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian."
Saya yakin, di luar urusan teknis, siapa pun yang memahami pesan tersebut pasti akan setuju dan memilih lembaga pendidikan atau sekolah yang modern dibanding yang masih tradisional atau konservatif. Menghadapi dan mengarungi era metaverse yang serbadigital dan rentan dengan perubahan, sekolah-sekolah modern telah siap dengan rumusan pendidikan yang visional, yang dihasilkan dari kajian yang mendalam.
Seperti telah disinggung di awal tulisan, sekolah modern adalah sekolah yang mampu menawarkan, bahkan menerapkan, sistem pendidikan dan metode belajar mengajar yang dapat membantu para muridnya menjadi mandiri dalam belajar, memiliki pengetahuan akademik yang mumpuni, inovatif, berani kritis serta siap mengaplikasikan pengetahuannya dalam beragam konteks. Di dalamnya, tentu, sudah mengakomodir dan memperkuat pendidikan karakter yang bersifat terbuka dan fleksibel.
Dalam konteks Indonesia kini, sekolah yang demikian merupakan sekolah yang menerapkan prinsip merdeka belajar seperti yang gencar dikampanyekan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim. Kita mafhum bahwa paradigma yang diusung di dalamnya adalah upaya untuk menjawab tantangan perubahan yang harus terjadi agar pembelajaran itu mulai diterapkan di berbagai sekolah.
Sebab itu, bagi sekolah-sekolah yang belum melakukan transformasi, kini kiranya waktu yang tepat untuk segera berbenah agar tidak tergerus zaman. Lebih dari itu, jika sekolah tidak mau berubah, kita khawatir malah akan menjadi penghambat bagi perkembangan para generasi bangsa.
Sejatinya, konsep sekolah modern bukanlah ide baru. Gagasan tersebut telah muncul berpuluh-puluh tahun lalu. Di Indonesia, setidaknya, kita mengenalnya lewat dua tokoh yang cukup berpengaruh. Pertama, dari Ki Hadjar Dewantara yang sempat mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan bertajuk Taman Siswa. Dari sanalah konsep merdeka belajar yang kini diusung oleh Nadiem Anwar Makarim itu diadopsi. Ki Hadjar Dewantara menekankan agar para murid senantiasa mandiri, berpikiran terbuka, dan tidak bergantung pada pikiran-pikiran orang lain.
Demi mengembangkan dan memperkuat karakter tersebut, Ki Hadjar Dewantara telah memberikan konsep belajar yang senantiasa relevan hingga saat ini yaitu konsep tripusat pendidikan yang mencakup sekolah, rumah, dan masyarakat. Terlebih, pada masa pandemi Covid-19 seperti sekarang, konsep tersebut terasa kian penting untuk diterapkan.
Terang saja, pendidikan dan pembentukan karakter tidak mungkin lagi hanya dibebankan pada sekolah. Orang tua dalam lingkup keluarga, mau tidak mau, bisa atau tidak bisa, harus banyak berperan dalam penanaman nilai-nilai terbaik bagi anak-anak dengan memberi teladan. Demikian pula dengan peran masyarakat, baik yang dekat maupun yang jauh dengan lingkungan rumah. Artinya, setiap orang di setiap ruang publik harus menjadi role model.
Kedua, meskipun namanya tidak sepopuler Ki Hadjar Dewantara, kita patut berterima kasih kepada YB Mangunwijaya atau biasa dipanggil dengan Romo Mangun. Selain sebagai sastrawan yang karya-karyanya telah diapresiasi dengan baik oleh dunia, ia juga merupakan pemikir sekaligus praktisi pendidikan. Jauh sebelum adanya hiruk pikuk istilah merdeka belajar, ia telah menerapkan konsep sekolah modern yang mengusung pendidikan pemerdekaan.
Romo Mangun menekankan bahwa pendidikan haruslah berorientasi untuk memanusiakan manusia. Untuk mencapai hal tersebut, ia bahkan mengimplementasikan konsepnya sejak pendidikan dasar. Sungguh bukan tanpa alasan. Sebab ia menyadari bahwa proses pendidikan saat itu justeru menjadikan para muridnya menjadi tidak kreatif dan tidak kritis. Alih-alih mencetak para murid yang bermental merdeka atau memiliki kebebasan berpikir, yang terjadi malah kian mengentalnya kejumudan karena sekolah terlalu berfokus pada 'dogma' teks yang berakar dari kacaunya kurikulum.
Berangkat dari permasalah tersebut, Romo Mangun kemudian mendirikan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar sebagai upaya alternatif untuk mendobrak persoalan-persoalan yang terjadi pada kurikulum. Ia telah melihat, sekolah-sekolah yang dikelola dengan cara demikian telah kehilangan ruhnya sebagai lembaga pendidikan yang mestinya memanusiakan manusia. Baginya, sekolah kala itu hanya sibuk mencetak murid yang mencandu ranking akademis dan amat kental dengan nuansa bisnis.
Terakhir, seraya mengutip catatan Carl Roger, seorang psikolog dan pemikir ideologi humanistik, dalam bukunya yang bertajuk Freedom to Learn, belajar yang sebenarnya tidak dapat berlangsung jika tidak ada keterlibatan intelektual dan emosional anak. Sebab itu kita layak dan banyak berharap, kiranya sekolah-sekolah di Indonesia lekas melakukan transformasi pendidikan dengan benar-benar menjadikan belajar dan mengajar lebih manusiawi dan penuh makna, terutama untuk menjawab banyak tantangan di era metaverse.*|
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H