Mohon tunggu...
uhan subhan
uhan subhan Mohon Tunggu... Guru - penikmat buku dan traveling

penikmat buku dan traveling.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah yang Menjawab Tantangan Era Metaverse

9 Februari 2022   08:09 Diperbarui: 9 Februari 2022   08:21 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terang saja, pendidikan dan pembentukan karakter tidak mungkin lagi hanya dibebankan pada sekolah. Orang tua dalam lingkup keluarga, mau tidak mau, bisa atau tidak bisa, harus banyak berperan dalam penanaman nilai-nilai terbaik bagi anak-anak dengan memberi teladan. Demikian pula dengan peran masyarakat, baik yang dekat maupun yang jauh dengan lingkungan rumah. Artinya, setiap orang di setiap ruang publik harus menjadi role model.

Kedua, meskipun namanya tidak sepopuler Ki Hadjar Dewantara, kita patut berterima kasih kepada YB Mangunwijaya atau biasa dipanggil dengan Romo Mangun. Selain sebagai sastrawan yang karya-karyanya telah diapresiasi dengan baik oleh dunia, ia juga merupakan pemikir sekaligus praktisi pendidikan. Jauh sebelum adanya hiruk pikuk istilah merdeka belajar, ia telah menerapkan konsep sekolah modern yang mengusung pendidikan pemerdekaan.

Romo Mangun menekankan bahwa pendidikan haruslah berorientasi untuk memanusiakan manusia. Untuk mencapai hal tersebut, ia bahkan mengimplementasikan konsepnya sejak pendidikan dasar. Sungguh bukan tanpa alasan. Sebab ia menyadari bahwa proses pendidikan saat itu justeru menjadikan para muridnya menjadi tidak kreatif dan tidak kritis. Alih-alih mencetak para murid yang bermental merdeka atau memiliki kebebasan berpikir, yang terjadi malah kian mengentalnya kejumudan karena sekolah terlalu berfokus pada 'dogma' teks yang berakar dari kacaunya kurikulum.

Berangkat dari permasalah tersebut, Romo Mangun kemudian mendirikan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar sebagai upaya alternatif untuk mendobrak persoalan-persoalan yang terjadi pada kurikulum. Ia telah melihat, sekolah-sekolah yang dikelola dengan cara demikian telah kehilangan ruhnya sebagai lembaga pendidikan yang mestinya memanusiakan manusia. Baginya, sekolah kala itu hanya sibuk mencetak murid yang mencandu ranking akademis dan amat kental dengan nuansa bisnis.

Terakhir, seraya mengutip catatan Carl Roger, seorang psikolog dan pemikir ideologi humanistik, dalam bukunya yang bertajuk Freedom to Learn, belajar yang sebenarnya tidak dapat berlangsung jika tidak ada keterlibatan intelektual dan emosional anak. Sebab itu kita layak dan banyak berharap, kiranya sekolah-sekolah di Indonesia lekas melakukan transformasi pendidikan dengan benar-benar menjadikan belajar dan mengajar lebih manusiawi dan penuh makna, terutama untuk menjawab banyak tantangan di era metaverse.*|

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun