Dibawah Jembatan Pahlawan yang menyatukan Siulak Mukai dan Siulak Gedang. Ditengah hari yang menyengat. Seorang perawan desa hadir disana. Kain panjang bermotif Angso Duo membalut tubuhnya. Dengan rambut dibiarkan terurai, lekukan biola tubuh itu sungguh memancing libido jejaka yang mengintip dibalik belukar. Jemari lentiknya mengeluarkan satu persatu kembang dari bakul, lalu ditebarkan ke sungai seiring mantra yang dikhatam semalam. Bibir tipis itu begitu lincah melafasnya. Kini telah lengkap, semua syarat telah ditunai. Seketika dia terjun menyambangi kembang tujuh warna itu, mencelupkan tubuh. Dan, ritual sang perawan dimulai.
***
Untuk kesekian kali kau menatap pantulan wajah mu di cermin petak nan retak peninggalan Nyai yang tetap kau pertahankan di pojok kamar. Konon seantero desa mengakui, dulu Nyai mu adalah gadis tercantik. Adalah sahih bila kau cucu tunggalnya ingin memiliki anugerah yang tak diwariskan itu. Untuk kesekian kali kau poles krim mahal yang kau beli ditoko Si Mancik sore tadi. “Tujuh hari kulit akan putih merona”, lirih mu (berlogat seperti bintang iklan krim tersebut). Lihat, jejeran produk yang menghiasi meja rias mu. Entah berapa banyak rupiah yang telah terbuang demi perawatan ini. Semua itu karena sebuah hasrat berharap dapat merubah kulit gelap menjadi terang. Gigih nian perjuangan mu. Walau jauh di lubuk hati kau meragukan semua itu.
Sebenarnya dia adalah gadis yang anggun, hanya kulitnya saja yang sedikit legam tak seperti kulit masyarakat negeri ini pada umumnya, kuning langsat. Rambut ikalnya menambah corak tersendiri, kriwilnya kian menggemaskan temani lesung pipi kala senyum manis terpapar. Silvia biasa dirinya disapa, cucu tunggal seorang Nyai terkaya dikampung itu. Banyak sudah lelaki yang terpikat, tapi urung segera menyergap. Strata sosial tentulah jawaban yang tepat, suatu hal yang berlaku mutlak di daerah itu.
***
“Apa sih eloknya Yepi itu?!”
Pecahan vas bunga keramik Persia yang berserak merupakan wujud amarah mu. Satu jam sudah kau berceloteh, mengumpat karib mu sejadi-jadinya.
“Mengapa harus dia!” lengkingan mu protes pada wanita disamping pria di pasar tadi.
Perjuangan itu berdinding sudah, usaha keras mempercantik diri-pun seakan tak berfaedah. Seperti raungan balita, kau menangis sesegukan hingga kau rasakan lagi asinnya air yang bermuara dari hidung mu.
***
Tersebutlah Hengki, pria beruntung yang mampu membuat saraf mu bekerja tak rasional. Tubuh yang berotot, rahang nan kokoh dan wajah rupawan. Wajar saja kau kian menggila ingin memilikinya. Namun, dia tak seberuntung mu. Terlahir dalam satu keluarga yg sederhana mengajarinya banyak hal, terutama akan status diri pada negeri yang “Harga Diri” terletak dari banyaknya berlian dalam genggaman. Tidak salah jika dia bungkam akan perasaannya pada mu, dia kebetulan lebih awal mengerti akan aturan sebuah tradisi.
Kau yang berbeda dengannya tak pernah mengerti hal ini. Pikiran mu hanya dipenuhi oleh trik bagaimana upaya untuk mendapatkannya. Seperti sore itu, hujan lumayan deras. Basah kuyublah kau dipinggir lapangan. Bukan karena ikut merampas bola, tapi kau hadir sebagai penonton tunggal untuk menyemangati Hengki berlaga bermain bola. Ruam kulit dipaha yang membiru adalah bukti hukuman kemurkaan ibu akan kelakuan nekad mu itu. Belum lagi aksi mengendap-endap yang kau peragakan pada malam menjelang tahun baru dulu, nafas mu berpacu dengan nadi yang tangkas menandakan bahwa kau cemas. Kau buka jendela, sangat hati-hati tanpa derit sedikit-pun. Bersijingkat, lalu kau melompat dan lari terengah meminta bantuan. Kau bagai suluh yang baru padam, asap dikepala mu begitu menyengat. Yepi lah yang membantu menyelamatkan rambut mu nan nyaris gosong karena mesin catok pelurus rambut.
Perhelatan perangai gila mu mewujudkan mimpi tidak cuma berakhir disana. Suatu malam kau pernah terjungkal dari ranjang, menyeruduk sesak. Padi jodoh yang kau dapatkan dari Ni Lin adalah penyebabnya. Setengah jam kau merebusnya dengan mantra yang tak putus diucap, keringat bercucuran, dan lidah letup tak berasa karena buru-buru ‘tuk menunaikannya. Alhasil, panas menyerang raga mu semalaman. Menganggap itu adalah efek si Padi Jodoh kau mencoba bertahan sekuat tenaga, hingga sesak yang tak terbilang membuat mu menyerah, menjambak adik mu yang terkulai lelap. Beruntung kau selamat.
***
Suatu sore, kala hitam mulai menggantikan pesona jingga, di senja yang syahdu itu butiran bening mata mu tak kuasa terbentung mendengar penuturan jujur seorang karib.
“Bukan! Aku bukan wanita beruntung yang dipilihnya”
“Hatinya telah tersimpul kokoh pada mu, aku adalah titian penghubung itu”
Tumpah-lah penyesalan mu, tertatih kalimat maaf terucap dari bibir mu pada karib yang sebenarnya begitu elegan membantu mu mewujudkan sebuah mimpi.
***
Adalah wajar jika senyuman terindah terukir jelas dari bibir mu. Sepanjang jalan kau sapa semua orang yang berpapasan dengan ramah. Tak kau pedulikan pikiran tergugu, aneh akan sikap asing mu. Rantang makanan dijinjingan-pun ikut bahagia. Mengapa tidak, makanan yang kau hantarkan begitu lahap disantap sang pujaan hati. Belum lagi sinyal restu dari ibunya saat menyambut mu. Sore itu juga sebelum pamit, Dia sempat menggenggam tangan mu berujar terima kasih, sontak membuat jantung mu melonjak. Amboi, sungguh indah nian hari ini.
Dan Lesung pipi mu-pun tak hentinya keluar dari persembunyiannya, rayuan bahagia tak bisa ditepisnya ‘tuk pamerkan diri. Malam yang indah, mustajablah perjuangan selama ini. Namun, kenapa tak sedari dulu. Andai… pasti tak akan ada malam sesak itu, aku-pun tak perlu terjerembab berulang kali panik berupaya menyelamatkan rambut yang merengas, dan kulit ku pun tak kan ruam membiru dipukul ibu dengan sendok tempurung. Agh… Hengki, sungguh kau sangat menyusahkan ku.
***
T-shirt kuning kesayangan terasa sangat spesial kau kenakan malam itu. ini adalah kencan perdana ba’da penantian yang sangat melelahkan. Ingin rasanya kau memutar jarum panjang arloji, hingga waktu yang telah dipatri segera hadir. Lima belas menit lebih awal kau telah mangkal di simpang jembatan, tempat hasil kesepakatan sebuah janji. Tak masalah bagi mu untuk menanti disini, Hengki belum memiliki sebentuk keberanian tuk menjemput langsung di beranda rumah. Halah, bisa bersama seperti ini saja sudah seperti mukjizat. Untuk apa ku permasalahkan semua itu, gumam mu.
Motor Hengki menderu memecah keheningan malam. Seolah tak ingin melepas, pengangan mu begitu erat, sangat kuat mencengkram pinggangnya. Kau nikmati betul tiap jengkal perjalanan, dua puluh menit terasa sangat singkat. Minang Soto, meja pojok kanan belakang menjadi saksi tatapan panjang mu. Suara Hengki membuyarkan lamunan. Kaget, buru-buru berkilah hingga kau lupa beda sendok dan sedotan.
Sama halnya dengan lantunan “TAK ADA YANG ABADI” milik grup musik papan atas negeri ini. Persuaan ini pun bernasib sama, na’as!.
Kala kau menumpahkan segala asa yang tersekat, menikmati klimaks dari sebuah penantian. Diluar sana, sepasang mata mengintai, begitu ketat.
***
Belum lagi salam terucap, makian ibu mendahului menerobos dingin malam yang seharusnya menusuk tulang. Jelas sekali kau lihat binar mata Hengki tenggelam berlalu dalam deru suara motornya. Tak kau rasakan lagi ikat pinggang yang mencumbui kulit mu. Kelu, tubuh mu kebal, mati rasa akan rajam yang seyogyanya membuat mu menjerit.
“Biar ku jelaskan Bu…”
“Berikan ku waktu ‘tuk bicara”
Mendadak kau menjelma menjadi tuna, suara mu seakan tak bersahabat, tersekat. Hingga dawai pintu yang dibanding kasar, merengkuh kau mendekap diantara lutut. Menopang pungung pada dinding kamar, beteman butiran air mata dalam kelam yang pekat.
Pilu kian menyayat kala sebuah pesan singkat kau terima di telepon genggam mu.
“SEPERTI APA KERAGUAN KU DULU, SEMUA TERJADI. MAAF, AKU PAMIT PERGI. KITA MEMANG BEDA, TAK ADA ALASAN YANG BISA MENYATUKAN KITA. -Hengki-”
“Tidak! Ini mimpi”
“Hengki tak mungkin pergi…”
Dengan langkah terseret, sepoyongan kau berlari ke gudang. Roundap racun serangga yang biasa digunakan ayah untuk membunuh serangga kau teguk dengan penuh dahaga. Ayah dan beberapa tetangga bergegas melarikan mu ke Puskesmas terdekat, dan membaringkan mu di ranjang Rumah Sakit kota setelah dirujuk dari Puskesmas.
***
Dua minggu berlalu setelah malam itu, ketika berita Gadis Roundap (Begitu mereka menyebut mu) membahana. Hengki lenyap tak berbekas dalam kehidupan mu. Hanya sekejap saja, lalu binasa. Kehadiran Yepi karib yang setia menemani-pun terasa hambar. Walau dia berupaya menghibur agar kau lebih tegar akan sebuah fakta yang sangat menyiksa.
Hari itu, dengan tekad yang bulat, pagi sekali kau meninggalkan rumah menuju gubuk di pinggir desa. Beberapa kali kau terjungkang menyusuri jalan pematang, embun dedaunan membasahi pakaian setiap kali kau menyibaknya. Ini adalah mufakat terakhir dari debat panjang pikiran mu, demi sebuah asa untuk mengembalikan dia yang telah pergi.
Seiring hari yang meninggi, kini kau telah bersimpuh di bale-bale yang terbuat dari bambu. Didepan mu duduk bersila seorang pria dengan garis usia diwajah yang menandakannya sudah tak muda lagi. Kau amati lamat-lamat gerak bibir Nantan Blehilei diantara asap rokok nipah yang dihembuskannya. Sesekali dia menyeruput kopi panas iringi tangan mu yang menoreh tinta. Setelah usai mencatat semua syarat dan beberapa bait mantra, kau lunasi jekad lalu pamit meninggalkan dukun yang terkenal sakti itu.
Kala mentari telah sejajar di atas kepala, sesuai dengan titah sang dukun, bergegas kau apit bakul dipinggang menuju kolong Jembatan Pahlawan, tempat yang telah disyaratkan.
***
Bukan nafsu yang memaksa pemuda itu untuk keluar dari belukar. Lima belas menit (Kurang lebih begitu lamanya) raga yang membuat libidonya meningkat itu tak hadir lagi ke permukaan adalah alasannya. Riuh seketika, penghuni kampung kini tumpah ditepian sungai, dibawah Jembatan Pahlawan. Gunjingan tetangga merambat mengelilingi wajah pasai kedua orang tua mu. Ibu meremas tangan ayah, menatap penuh sesal. Hingga dua lelaki paruh baya yang dikenal ahli menyelam dikampung itu muncul dari dalam sungai. Tubuh lunglai tergolek dipangkuan, jerit ibu menyambut mu. Satu dari penyelam itu dengan airmata yang meruah menyerahkan tubuh mu ke tangan medis. Ya, pria yang kau harapkan kembali kini hadir disamping mu, menemani setia kala kau diperiksa oleh medis itu. Mereka memompa dada mu tuk kesekian kali, mengulangnya lagi dan lagi. Hingga pria disamping mu itu berteriak lantang, membahana bersama duka yang mendalam kala mendengar petugas medis itu berujar “Maaf, terlambat. Dia telah pergi lebih awal…..”
---------------------------- *** ---------------------------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H