Mohon tunggu...
Agra Andromeda
Agra Andromeda Mohon Tunggu... -

Sang Pamungkas

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ritual Sang Perawan

3 Juli 2010   11:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:07 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

***

Adalah wajar jika senyuman terindah terukir jelas dari bibir mu. Sepanjang jalan kau sapa semua orang yang berpapasan dengan ramah. Tak kau pedulikan pikiran tergugu, aneh akan sikap asing mu. Rantang makanan dijinjingan-pun ikut bahagia. Mengapa tidak, makanan yang kau hantarkan begitu lahap disantap sang pujaan hati. Belum lagi sinyal restu dari ibunya saat menyambut mu. Sore itu juga sebelum pamit, Dia sempat menggenggam tangan mu berujar terima kasih, sontak membuat jantung mu melonjak. Amboi, sungguh indah nian hari ini.

Dan Lesung pipi mu-pun tak hentinya keluar dari persembunyiannya, rayuan bahagia tak bisa ditepisnya ‘tuk pamerkan diri. Malam yang indah, mustajablah perjuangan selama ini. Namun, kenapa tak sedari dulu. Andai… pasti tak akan ada malam sesak itu, aku-pun tak perlu terjerembab berulang kali panik berupaya menyelamatkan rambut yang merengas, dan kulit ku pun tak kan ruam membiru dipukul ibu dengan sendok tempurung. Agh… Hengki, sungguh kau sangat menyusahkan ku.

***
T-shirt kuning kesayangan terasa sangat spesial kau kenakan malam itu. ini adalah kencan perdana ba’da penantian yang sangat melelahkan. Ingin rasanya kau memutar jarum panjang arloji, hingga waktu yang telah dipatri segera hadir. Lima belas menit lebih awal kau telah mangkal di simpang jembatan, tempat hasil kesepakatan sebuah janji. Tak masalah bagi mu untuk menanti disini, Hengki belum memiliki sebentuk keberanian tuk menjemput langsung di beranda rumah. Halah, bisa bersama seperti ini saja sudah seperti mukjizat. Untuk apa ku permasalahkan semua itu, gumam mu.

Motor Hengki menderu memecah keheningan malam. Seolah tak ingin melepas, pengangan mu begitu erat, sangat kuat mencengkram pinggangnya. Kau nikmati betul tiap jengkal perjalanan, dua puluh menit terasa sangat singkat. Minang Soto, meja pojok kanan belakang menjadi saksi tatapan panjang mu. Suara Hengki membuyarkan lamunan. Kaget, buru-buru berkilah hingga kau lupa beda sendok dan sedotan.

Sama halnya dengan lantunan “TAK ADA YANG ABADI” milik grup musik papan atas negeri ini. Persuaan ini pun bernasib sama, na’as!.
Kala kau menumpahkan segala asa yang tersekat, menikmati klimaks dari sebuah penantian. Diluar sana, sepasang mata mengintai, begitu ketat.

***
Belum lagi salam terucap, makian ibu mendahului menerobos dingin malam yang seharusnya menusuk tulang. Jelas sekali kau lihat binar mata Hengki tenggelam berlalu dalam deru suara motornya. Tak kau rasakan lagi ikat pinggang yang mencumbui kulit mu. Kelu, tubuh mu kebal, mati rasa akan rajam yang seyogyanya membuat mu menjerit.

“Biar ku jelaskan Bu…”
“Berikan ku waktu ‘tuk bicara”

Mendadak kau menjelma menjadi tuna, suara mu seakan tak bersahabat, tersekat. Hingga dawai pintu yang dibanding kasar, merengkuh kau mendekap diantara lutut. Menopang pungung pada dinding kamar, beteman butiran air mata dalam kelam yang pekat.

Pilu kian menyayat kala sebuah pesan singkat kau terima di telepon genggam mu.
“SEPERTI APA KERAGUAN KU DULU, SEMUA TERJADI. MAAF, AKU PAMIT PERGI. KITA MEMANG BEDA, TAK ADA ALASAN YANG BISA MENYATUKAN KITA. -Hengki-”

“Tidak! Ini mimpi”
“Hengki tak mungkin pergi…”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun