Dengan langkah terseret, sepoyongan kau berlari ke gudang. Roundap racun serangga yang biasa digunakan ayah untuk membunuh serangga kau teguk dengan penuh dahaga. Ayah dan beberapa tetangga bergegas melarikan mu ke Puskesmas terdekat, dan membaringkan mu di ranjang Rumah Sakit kota setelah dirujuk dari Puskesmas.
***
Dua minggu berlalu setelah malam itu, ketika berita Gadis Roundap (Begitu mereka menyebut mu) membahana. Hengki lenyap tak berbekas dalam kehidupan mu. Hanya sekejap saja, lalu binasa. Kehadiran Yepi karib yang setia menemani-pun terasa hambar. Walau dia berupaya menghibur agar kau lebih tegar akan sebuah fakta yang sangat menyiksa.
Hari itu, dengan tekad yang bulat, pagi sekali kau meninggalkan rumah menuju gubuk di pinggir desa. Beberapa kali kau terjungkang menyusuri jalan pematang, embun dedaunan membasahi pakaian setiap kali kau menyibaknya. Ini adalah mufakat terakhir dari debat panjang pikiran mu, demi sebuah asa untuk mengembalikan dia yang telah pergi.
Seiring hari yang meninggi, kini kau telah bersimpuh di bale-bale yang terbuat dari bambu. Didepan mu duduk bersila seorang pria dengan garis usia diwajah yang menandakannya sudah tak muda lagi. Kau amati lamat-lamat gerak bibir Nantan Blehilei diantara asap rokok nipah yang dihembuskannya. Sesekali dia menyeruput kopi panas iringi tangan mu yang menoreh tinta. Setelah usai mencatat semua syarat dan beberapa bait mantra, kau lunasi jekad lalu pamit meninggalkan dukun yang terkenal sakti itu.
Kala mentari telah sejajar di atas kepala, sesuai dengan titah sang dukun, bergegas kau apit bakul dipinggang menuju kolong Jembatan Pahlawan, tempat yang telah disyaratkan.
***
Bukan nafsu yang memaksa pemuda itu untuk keluar dari belukar. Lima belas menit (Kurang lebih begitu lamanya) raga yang membuat libidonya meningkat itu tak hadir lagi ke permukaan adalah alasannya. Riuh seketika, penghuni kampung kini tumpah ditepian sungai, dibawah Jembatan Pahlawan. Gunjingan tetangga merambat mengelilingi wajah pasai kedua orang tua mu. Ibu meremas tangan ayah, menatap penuh sesal. Hingga dua lelaki paruh baya yang dikenal ahli menyelam dikampung itu muncul dari dalam sungai. Tubuh lunglai tergolek dipangkuan, jerit ibu menyambut mu. Satu dari penyelam itu dengan airmata yang meruah menyerahkan tubuh mu ke tangan medis. Ya, pria yang kau harapkan kembali kini hadir disamping mu, menemani setia kala kau diperiksa oleh medis itu. Mereka memompa dada mu tuk kesekian kali, mengulangnya lagi dan lagi. Hingga pria disamping mu itu berteriak lantang, membahana bersama duka yang mendalam kala mendengar petugas medis itu berujar “Maaf, terlambat. Dia telah pergi lebih awal…..”
---------------------------- *** ---------------------------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H