Di awal Januari 2018, pemuda berumur 25 tahun yang bernama Afo, tewas dihakimi massa di Desa Cenggu, Kecamatan Belo, Kabupaten Bima. Penyebabnya, dia ditangkap saat mencuri motor. Kemudian diadili secara brutal. Karena mengalami luka parah, tubuhnya babak belur, warga Parado itu meninggal dunia.
Sebulan berlalu, pada Februari 2018, seorang pemuda dari Desa Tangga Baru, Kecamatan Monta, Kabupaten Bima, dibakar massa bersama motor yang dicurinya. Korban kebringasan yang bernama Julkifli (20) itu tewan di tempat.
Kabarnya, almarhum dibakar warga karena mencuri kambing. Dia ditangkap setelah satu temannya kepergok saat mengambil ternakan warga itu.
Kasus ini mendapat perhatian luas di tingkat nasional. Sudah berulang kali hal serupa terjadi di Bima. Beberapa tahun yang lalu, seorang pemuda dibakar di pinggir jalan di Kota Bima. Penyebabnya sama, pelaku mencuri motor warga.
Masyarakat geram karena acap terjadi kasus serupa di daerah itu. Perbedaannya dengan kasus pertama, hanya pada "benda" yang dicuri. Sejumlah fenomena brutal itu berakhir pada penghakiman.
Rabu (21/11) lalu, beberapa teman saya di media sosial facebook membagikan aksi super kejam yang dilakukan empat orang. Satunya memegang parang. Beberapa orang memukul, menendang, dan melabrak anak muda yang berpakaian lusuh itu. Dia menjerit kesakitan. Mukanya babak-belur. Beberapa menit berlalu, darah bersimbah di sekujur tumbuhnya.
Seorang teman membuat keterangan bahwa kasus tersebut terjadi di areal bandara Kabupaten Bima. Penyebabnya, pemuda malang itu kedapatan mencuri motor warga. Tak ada penjelasan lebih lanjut bagaimana proses penangkapan dilakukan. Saya tidak tega menyaksikan video dengan durasi satu menit itu.
Orang-orang di media sosial membagikan aksi barbar itu dengan suka cita. Diiringi ucapan bernada pembelaan terhadap massa yang melakukan kekerasan pada pemuda itu.
Saya mencoba mengonfirmasi kasus tersebut di laman beberapa media arus utama di Bima. Belum ada satu pun yang memberitakan aksi tidak beradab itu. Terlepas dari benar atau salahnya lokasi penghakiman itu, catatan panjang kebrutalan dan main hakim sendiri di Kabupaten Bima sudah berada di ambang batas kewajaran.
Aksi keji itu, baik dilihat dari aspek kemanusiaan, hukum, maupun agama Islam, tidak dibenarkan. Masyarakat mestinya berusaha bersikap adil terhadap siapapun yang telah mencuri milik warga. Di satu sisi, kita mafhum bahwa mengambil milik orang lain itu tidak dibenarkan. Tetapi di sisi lain, main hakim sendiri adalah kesalahan yang tidak dapat ditoleransi.
Saya mengindentifikasi beberapa alasan di balik merebaknya kasus main hakim sendiri di daerah tersebut. Di antaranya: Pertama, masyarakat geram dengan kasus pencurian. Pada titik ini, penduduk setempat seolah tidak percaya hukum negara. Alasannya bisa beragam. Salah satunya, hukuman ringan yang kerap dijatuhkan kepada pencuri.