Mohon tunggu...
Udo Z Karzi
Udo Z Karzi Mohon Tunggu... -

Tukang tulis. Lebih suka disebut begitu. Meskipun, jarang-jarang dibaca kompasianer. Hehee... Yang penting nulis aza. Biar nggak kenat-kenut...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jejak Islam Lampung dan Problem Penulisan Sejarah

23 Oktober 2017   21:58 Diperbarui: 23 Oktober 2017   22:30 2597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam sebuah rapat redaksi Lampung Post tahun 2010, yang di antaranya saya, diputuskan bahwa koran ini akan menyajikan sesuatu yang berbeda sebagai santapan rohani bagi kaum muslim selama Ramadan 1431 Hijriah, yaitu sejarah Islam di Lampung. Untuk itu dibentuklah sebuah tim yang akan menelusuri jejak masuknya agama Islam di Bumi Ruwa Jurai. Penelusuran dimulai dengan menggelar diskusi terbatas bersama tokoh agama K.H. Arief Makhya dan K.H. Nurvaif Chaniago, dosen IAIN Raden Intan Dr. Fauzie Nurdin, Khairuddin Tahmid, M.A, dan dosen STAIN Metro Drs. M. Soleh. Selanjutnya, Lampung Post juga melakukan reportase ke berbagai peninggalan sejarah Islam yang tersebar di Lampung.

Alhasil, lahirlah serial Jejak Islam di Lampung, mulai dari Jejak Islam di Lampung (1): Masuk lewat Tiga Penjuru (Lampung Post,  11 Agustus 2010) hingga Jejak Islam di Lampung (29-Habis): Budaya Lampung Menghargai Keberagaman (Lampung Post, 9 September 2010).

Tersebutlah dalam serial itu Masjid Jami' Al Anwar sebagai masjid tertua di Lampung dengan salah ulama pejuangnya, Muhammad Soleh atau yang lebih dikenal dengan nama Tubagus Buang asal Kesultanan Bone yang merintis rumah ibadah. Surau yang dibangun Muhammad Soleh dkk hancur saat Gunung Krakatau meletus, 1883. Lima tahun kemudian, 1888, rumah ibadah ini kembali dibangun menjadi masjid permanen.

Di pihak lain, ahli filologi Suryadi menemukan naskah kuno Syair Lampung Karam[8] yang ditulis Mohammad Saleh dari enam negara Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia, dan Indonesia serta mengumumkan ke publik.

Dari dua fakta itu, ada pernyaan yang mengusik adalah apakah benarkah Mohammad Soleh yang menulis Syair Lampung Karam yang dimaksud adalah Mohammad Soleh yang merintis pembangunan Masjid Jami' Al Anwar dan pernah menjadi Regent Telukbetung.

Sebuah testemen berbahasa Belanda, berangka bertanggal 24 Agustus 1864, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menyebutkan soal pewarisan harta dari Tomonggong Mohammad Ali, Regent dari Telok Betong. Salah satu ahli waris penerima bernama Mohammad Salah, umur 50 tahun.

Mengutip Jejak Islam di Lampung (20)[9], Kalau pada 1864 Mohammad Saleh berusia 50 tahun, maka pada 1883 ketika Gunung Krakatau meletus dan Syair Lampung Karam ditulis tiga bulan setelah itu, Mohammad Saleh berusia 69 tahun. Dua tahun kemudian, Mohammad Saleh meninggal. Kalau melihat data ini, mungkin saja Mohammas Saleh ini yang menulis.

Namun, bukankah Mohammad Saleh menjadi pemimpin dan ulama di Telukbetung? Sementara dalam naskah Syair Lampung Karam sebagaimana diungkap Suryadi menyebutkan, Mohammad Saleh memang sedang berada di Lampung saat letusan dahsyat Gunung Krakatau itu terjadi. Dan, dia selamat dan setelah itu dia pergi ke Singapura. "Saya menduga bahwa dia salah seorang pengungsi dari letusan itu dan dia mengatakan bahwa dia menulis itu di kampung Bangkahulu di Singapura. Sekarang menjadi Bengkulen Stree. Itu Singapura lama," kata Suryadi seperti dikutip dari website Radio Nederland Wereldomroep.

Namanya juga dugaan, John H. McGlynn yang melakukan penelitian untuk sebuah menerbitkan Syair Lampung Karam, telah menjawabnya: Muhammad Saleh penulis Syair Lampung Karam[10] bukan ulama perintis Masjid Jami' Al Anwar. Ya, sudah tak ada masalah.

Yang ingin saya katakan, letak kesulitan menulis sejarah adalah pada verifikasi dan validasi fakta-fakta empiris. Dalam kasus Lampung, kesulitannya lebih lagi karena tercampurnya sumber, bukti, dan fakta sejarah dengan mitos, legenda, dan cerita rakyat.

Waktu itu, ada keinginan untuk mehimpun ke-29 seri Jejak Islam di Lampung  di Lampung Post tersebut. Namun, tentu saja harus dilakukan riset ulang untuk menutupi bolong-bolong dari tulisan bersambung di koran itu. Sudah tujuh tahun niat membukukan itu tidak terealisasi. Oleh karena itu, terbitnya  buku Napak Tilas Islam Lampung patut disambut gembira. Apalagi membaca catatan kaki dan daftar pustaka, ternyata Serial Jejak Islam di Lampung dimaksud menjadi rujukan penting di buku ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun