Widya jadi malu, "Eh, enggak, Bu, anu... saya sedang latihan deklamasi buat ikutan Festival Puisi Citeureup."
"Oohh, begitu... bagus tuh! Anak Ibu pernah juga ikutan lho! Dulu tapi, waktu panitianya masih si Indra. Kemana ya anak itu sekarang? Katanya diculik suku terasing di Papua gara-gara nyolong buku? Kasihan deh, anak itu, padahal dia ditawar-tawari sama perusahaan asing buat buat jadi Staf Manajemen. Ealaahh, kok ya malah ngeransel kesana-kemari ngurusin puisi. Tapi namanya hidup, mesti ada yang beda kayak gitu, supaya enggak monoton dan jadi kacung semua. Kacung negeri waw-waw, negeri wok-wow... iihh, apalagi itu negara tetangga yang suka main cambuk dan setrika, aduuuuhhhh! Eh, bau apa ini ya? Wah, Ibu lupa! Ibu lagi ngejerang penisilin tadi, waahh, toloong... Wid, tolong siniiii...!"
Widya jadi tambah pusing.
****
Suatu malam, Widya sedang asyik membaca kumpulan puisi Indra Afriza yang dia pinjam dari Bu Fatma. Saking asyiknya dia membaca sampai tidak mempedulikan pengunjung yang datang.
"Pemisii... saya mau beli Nytrazepham 700mg," Tanya si pengunjung.
"Wah, obat keras tuh, ada resep dokternya enggak?" Jawab Widya cuek dan tanpa menoleh.
"Ada nih, resep dari dokter spesialis kutu busuk."
Secara refleks Widya berdiri. Dia kenal suara itu, suara yang telah membuatnya gelisah, suara yang dia rindukan! Kini pemilik suaranya telah hadir dengan tatapan tenang tapi meminta jawaban, dan senyum di wajah Widya adalah jawaban terbaik untuknya.................. lho kok titik-titik? Ya, urusan selanjutnya biarlah kita serahkan pada mereka yang sedang dibuai rasa. Khusus untuk kita sebagai pengamat, mari kita cukupkan sampai di sini saja.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H