"Kok bisa? Kita kan belum pernah ketemuan? Aku jelek lho!"
"Kalo aku sih ganteng banget. Pintar, sensitif, romantis, menguasai semua kitab dunia, pernah nulis puisi yang dipuji pengamat sastra dari Jerman. Keluargaku kaya-raya tapi aku lebih suka tidur di jalan ketimbang di rumah. Aku punya semua yang dibutuhkan oleh manusia, dan seterusnya, dan semacamnya..." Rivai mulai melantur.
Widya tersenyum. "Tuh, bayangkan, apa kamu enggak salah pilih? Aku cuma apoteker yang melihara kucing kampung di kontrakanku yang kamar mandinya gabung dengan tetangga."
"Semua yang berwujud, satu waktu bakal hilang. Tapi kita selalu punya kemungkinan, terutama: kemungkinan untuk mencintai."
Widya mengernyit. Duh, ini lelaki serius amat! Dadanya berdesir. "Kok kamu bisa suka sama aku. Padahal, kamu baru tahu suaraku saja?"
"Suara itu datang dari dalam. Menembus semua penampilan luar, menyampaikan apa yang tersembunyi di dalam. Kenyataan yang sebenarnya tanpa kepura-puraan. Seorang ahli jiwa bisa mengetahui kepribadian seseorang dari suaranya. Aku bukan ahli jiwa tapi aku bisa mendengar juga, dan dari yang aku dengar... aku suka."
"Aku manja," Rajuk Widya.
"Aku pelupa," Jawab Rivai.
"Terus gimana dong?"
"Jadian yuk? Sebelum kiamat."
"Iihh, gimana yaa"?"
"Terserah kamu."
"Kamu orangnya perhatian enggak?"
"Aku kutu buku yang keracunan, setiap huruf aku lahap dengan teliti. Tentu saja, aku penuh dengan perhatian."
"Akan selalu siap mendampingi?"
"Aku selalu avontur, mengembara ke berbagai tempat."
Widya merengut, "Yah, gimana doong?"