2. Kereta Api Swasta, dikelola oleh pihak swasta yang memperoleh hak konsesi dalam periode tertentu.
Kereta Api swasta beroperasi di Hindia Belanda sejak akhir abad XIX, pertama-tama dengan menggunakan tanah pemerintah (Gouvernement Gronden). Dalam mengembangkan bisnisnya, perusahaan swasta diizinkan untuk memperluas wilayah usahanya, termasuk kereta api swasta. Oleh karena itu tidak jarang ditemukan adanya  tanah yang memiliki hak (recht), seperti recht van eigendom, recht van postal, dan recht van erfpacht.
Setelah pengakuan kemerdekaan RI oleh pemerintah Belanda, pemerintah RI akan menggunakan semua Kereta Api yang ada di wilayah Republik Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nasionalisasi No.86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan milik Belanda. Undang-undang ini diikuti dengan Peraturan pemerintah No. 40 Tahun 1959 tentang Nasionalisasi 10 perusahaan kereta api swasta di Jawa dan Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1959 tentang Nasionalisasi Perusahaan Kereta Api dan Tilpon milik Belanda.
Dengan demikian hanya perusahaan Kereta Api swasta saja yang dinasionalisasi oleh pemerintah RI, sementara SS tidak ada nasionalisasi. Perundingan tentang pembayaraan asset Kereta Api swasta telah dibahas secara tuntas oleh Sultan HB IX selaku wakil dari Pemerintar Republik Indonesia dan J. Loens sebagai wakil dari pemerintah Belanda. Hutang-hutang pemerintah Indonesia untuk pembayaran ganti rugi Kereta Api swasta bekas milik Belanda dituangkan dalam verdeelwet, yang baru berakhir pembayarannya dilakukan pemerintah Indonesia pada 2002.
Ada tiga poin kesimpulan yang bisa dirangkum melalui keterangan Profesor Djoko diatas sebagai berikut :
- Tanah yang sudah di-bestemming-kan tidak akan bahkan tidak akan pernah diterbitkan surat hak atas tanah yang lain;
- Kereta Api selaku BUMN berhak untuk menyewakan tanah-tanah yang berada di dalam penguasaanya;
- Hanya tanah-tanah Kereta Api swasta yang dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia.
Pada poin kedua sudah sangat jelas menjawab ketidaktahuan dan ketidakpahaman DR. Azmi Fendi selaku Ahli Hukum Agraria dari Universitas Andalas.
Penjelasan dari Pofesor Djoko diatas sudah sangat gamblang menjawab ketidaktahuan dan ketidakpahaman pihak H. Basrizal Koto. Namun ada baiknya kita kupas habis kerancuan penjelasan DR Azmi yang di release di Harian Haluan (28/9/2017) satu persatu.
Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) No. 200, 201, dan 205 yang pernah dikeluarkan BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kota Padang tahun 2010 pada kasus yang disampaikan Azmi selaku pakar Hukum Agraria dapat dibatalkan melalui PTUN, dan seperti pada kasus serupa di Jawa, rata-rata sertipikat yang dikeluarkan di atas tanah asset PT KAI di batalkan setelah di PTUN-kan karena Grondkaart sah dinilai sebagai alat bukti kepemilikan dan berkekuatan hukum. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan pihak PT KAI (Persero) bahwa terbitnya HGB tersebut dianggap melanggar Undang-Undang No.23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, karena menilai HGB terbit di atas asset PT KAI dengan dasar kepemilikan Grondkaart 1888. Selain kepemilikan Grondkaart dan catatan akutansi milik PT KAI (Persero) yang tembusannya di Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Grondkaart cukup kuat untuk dijadikan alat bukti bagi PT KAI (Persero) untuk menyelamatkan asset negara. Ada dua peraturan penting berkaitan tentang Grondkaart didalamnya. Pertama, mengacu pada Surat Keputusan Menteri Agraria No.9 Tahun 1965 menyebutkan bahwa Grondkaart merupakan dasar kepemilikan tanah dan bisa menjadi dasar sertifikasi. Kedua mengacu pada Surat Instruksi Menteri Keuangan tanggal 14 Januari 1995 yang menyatakan Grondkaart adalah bukti kepemilikan tanah Perumka (PT KAI). Selain itu ada PP No.8 Tahun 1953 yang menyatakan semua perusahaan eks Belanda menjadi milik negara.
Belajar pada kasus serupa di Jawa Tengah, Permen Agraria Tahun 1965, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) ditambah surat dari Kementerian Keuangan tanggal 15 Januari 1995 yang telah digunakan PTUN Jawa Tengah untuk mencabut sertipikat yang dikeluarkan diatas Grondkaart PT KAI (Persero). Surat Kementerian Keuangan tersebut menyatakan bahwa tanah yang tertera di dalam Grondkaart adalah tanah milik Perumka. Menteri Keuangan adalah Kementerian yang bertanggung jawab atas semua tanah negara termasuk yang digunakan oleh BUMN, dasarnya adalah Pasal 2 UU No.86 Tahun 1958.
Lebih jauh Azmi juga menjelaskan kepada Harian Haluan bahwa di masa Hindia Belanda, bukti kepemilikan atas tanah terdiri dari beberapa jenis seperti, Eigendom, Erfpacht, dan Opstal. Menurut PT KAI hal tersebut hanya berlaku bagi swasta, dan tidak berlaku bagi negara atau BUMN. Eigendom yang dimaksud Azmi pada asset PT KAI adalah tidak mungkin karena semua tanah yang disebutkan dalam Grondkaart adalah tanah negara yang tidak mengenal Eigendom, Erfpacht, dan Opstal. Yang ada hanyalah Gouvernement Grond (Tanah Pemerintah), Landsdomein (Tanah Negara) atau Staatsdomein (Tanah Negara Bebas) dan tanah yang tertera diatas Grondkaart bukan termasuk tanah negara bebas. Grondkaart ditandatangani oleh pejabat berwenang pada waktu itu dan diukur oleh Kadaster serta ditandatangani oleh Direktur Perhubungan, Direktur BUMN, Direktur PU dan Kepala Daerah sehingga Grondkaart berkekuatan hukum yang menunjukan kepemilikan secara otomatis atas nama pemerintah.