Tergelitik dan geli setelah membaca pernyataan Azmi Fendri, selaku ahli Hukum Agraria yang dimuat di Harian Haluan pada Jumat, 29 September 2017 yang ternyata berbanding terbalik dengan penjelasan Prof Joko selaku Pakar Sejarah Hukum dari Universitas Indonesia.
Berita yang diposting diawali dengan kalimat di bawah ini yang dikutip dari link
"Apa mungkin PT KAI menyewakan tanah, notabenenya mereka tidak berwenang melakukan penyewaan. Itu perbuatan melanggar hukum. Tanah negara dengan status hak pakai sekalipun tidak boleh dikomersilkan"Azmi Fendri, Ahli Hukum Agraria.
Mengikuti penjelasan Prof. Dr. Maria Immaculatus Djoko Marihandono, S.S., M.Si., seorang pakar Sejarah Hukum dari Universitas Indonesia yang menjadi saksi ahli pada persidangan antara PT KAI (Persero) dengan pihak Basko Group H. Basrizal Koto, di Pengadilan Negeri (PN) Padang.
Profesor Djoko memberikan kesaksian yang dijelaskan secara runtut dalam persidangan, bahwa dalam sejarah ditemukan fakta bahwa kereta api di Hindia Belanda dikelola oleh dua institusi, yakni:
1. Kereta Api Negara (Staatspoorwegen) yang dikelola oleh Negara.
Kereta Api Negara (Staatspoorwegen)atau SS menggunakan tanah-tanah pemerintah yang diserahkan kepada SS dengan cara Bestemming (hak penguasaan lahan) didasarkan pada UU Perkeretaapian Belanda No.132 Tahun 1866, diperkuat dengan Agrarische Wet (Staatsblad 1870 No.55) dan Agrarische Besluit (Staatsblad 1870 No.118). Tanah pemerintah sendiri diatur penggunaannya dengan Staatsblad 1866 No.25. Dalam Undang-Undang itu disebutkan bahwa kepada SS tidak diberikan tanda bukti atas hak tanah. Bukti bagi SS yang merupakan asset pemerintah (diberikan secara Bestemming: Lihat Staatsblad van Nederlandsch Indie 1911No.10 dan Staatbald 1940 No.430)otomatis menjadi asset instansi pemerintah, dalam hal ini SS. Maka kepada SS tidak pernah diberikan tanda bukti hak atas tanah. Tanah-tanah SS ditindaklanjuti dengan pembuatan Grondkaart menurut teknik geodesi yang disahkan oleh petugas Petugas Pengukur Tanah saat itu (Landmeester).Grondkaart selalu disahkan oleh Kantor Kadaster dan Residen setempat.
Grondkaart merupakan hasil akhir yang tidak perlu ditindaklanjuti dengan surat pemberian hak oleh pemerintah. Grondkaart yang dimiliki oleh Kereta Api berfungsi sebagai petunjuk yang menjelaskan bahwa tanah yang diuraikan dalam Grondkaart merupakan kekayaan negara (asset Kereta Api). Dengan demikian, pemerintah tidak akan pernah mengeluarkan surat lain di atas tanah yang di-bestemming-kan. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa referensi arsip yang merujuk pada Surat Keputusan (SK) atau Ketetapan oleh para Pejabat Pemerintah terkait diatas Grondkaart tersebut, yang membedakannya dengan gambar teknik atau peta-peta lain.
Tanah-tanah negara termasuk tanah Kereta Api diserahkan oleh pemerintah Kolonial Belanda seiring dengan ditandatanganinya Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tangal 27 Desember 1949 yang intinya mengakui Kedaulatan Republik Indonesia, dan menyerahkan semua asset pemerintah kepada pemerintah Republik Indonesia yang berdaulat. Salah satu yang diserahkan adalah asset milik eks Kereta Api Belanda yang dikuasai oleh Pemerintah (SS). Sebagai tindak lanjutnya Menteri Perhubungan Indonesia melalui Pengumuman No.2 Tahun 1950 mengalihkan semua asset itu kepada DKA RI. Dengan demikian terhitung sejak 6 Januari 1950 semua asset SS berada dibawah kewenangan dan kepemilikan DKA RI, yang sekarang diwarisi oleh PT KAI (Persero).
Peraturan Pemeritah  No.8 Tahun 1953 dan Peraturan Menteri Agraria No.9 Tahun 1965 memberikan konversi Hak Pakai kepada kereta api apabila tanah itu akan digunakan oleh Kereta Api dan akan diberikan Hak Pengelolaan apabila akan digunakan oleh pihak lain.
Sementara itu Peraturan Menteri Keuangan No.33/PMK.06/2012 menyatakan bahwa dalam menyikapi perkembangan masyarakat PMK No.96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan asset Negara perlu ditinjau kembali. Â Dalam PMK No.33/PMK.06/2012 disebutkan bahwa pihak yang dapat penyewakan Barang Milik Negara (BMN) adalah:
- Pengelola Barang untuk BMN berupa tanah/bangunan yang berada pada pengelola barang;
- Pengguna Barang dengan persetujuan pengelola barang, untuk:
- BMN berupa sebagian tanah dan atau bangunan, atau
- BMN selain tanah/bangunan. (Lihat Pasal 5).