Mohon tunggu...
Uci Anwar
Uci Anwar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Karena Hidup Harus Bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Mencuri Ilmu Suku Baduy

5 Desember 2019   15:47 Diperbarui: 7 Desember 2019   07:45 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mau apa piknik ke Baduy ? Sungguh sulit menjawab pertanyaan seorang teman. Lagipula yang dilakukan 53 orang di bawah naungan Komunitas Pemangku ( Pemakai Angkutan Umum) tanggal 4 Desember 2019 kemarin, bukan piknik biasa. Kata piknik berkonotasi melakukan perjalanan bersenang-senang dengan akomodasi pelayanan, tanpa banyak susah payah. 

Misalnya anggota berkumpul di depan komplek perumahan, sekolah, atau perkantoran sebagai titik kumpul. Lalu sebuah bis yang bagus dan nyaman menjemput rombongan tersebut, membawanya ke destinasi wisata. Peserta langsung  bersenang-senang.

dokpri
dokpri
Kemarin tidak. Bahkan dari awal pun semua peserta "Pemangku Treking ke Baduy" ini sudah harus berjuang dari rumah, menuju titik kumpul di stasiun Commuter Line (CL) atau kerap disebut KRL, Stasiun Kebayoran. Anggota tersebar di seluruh daerah di Jakarta, bahkan Tangerang dan Bumi Serpong Damai (BSD). 

Mereka bisa memilih naik KRL, busway, gojek, atau angkot  untuk mencapai titik kumpul di Stasiun Kebayoran agar terangkut oleh KRL nomer 1922 pukul 06.08 arah Parung Panjang, Di Parung Panjang berganti kereta arah Rangkasbitung. Yang terlewati rute KRL, bisa memilih naik dari stasiun yang terlewati, seperti Rawa Buntu, Jurangmangu, Bintaro, atau menunggu saja di stasiun Parung Panjang.

dokpri
dokpri
Kegiatan ini diawali dengan pernyataan komitmen keikutsertaan yang ditandai dengan pembayaran 150 ribu rupiah per-orang, melalui transfer ke seorang volunteer, dengan batas waktu transfer tanggal 25 tepat pukul 24.00. Lewat batas itu, tidak diperkenankan ikut serta.

"Kedisiplinan waktu dan komitmen ini menyangkut akurasi jumlah peserta, untuk pemesanan makanan dan transportasi oleh penduduk lokal. Detik demi detik memang harus kami perhitungkan dengan teliti. Apalagi menjelang tanggal keberangkatan, tiba-tiba ada perubahan jadwal commuter line, sehingga itenerary dan nomer kereta pun segera disesuaikan lagi," Jelas Ketua Pemangku Iwan BSN.

dokpri
dokpri
img-20191204-wa0080-5deaf421d541df56695f9822.jpg
img-20191204-wa0080-5deaf421d541df56695f9822.jpg
Pemangku memang bukan sekedar menawarkan treking di lokasi. Salah satu misinya juga  memperkenalkan  "rasa kendaraan rakyat", menghindari penggunaan kendaraan pribadi. Salah seorang yang baru merasakan nikmatnya transportasi massal Jakarta adalah Rasam Syamsudin.  "Seumur hidup baru sekali ini saya naik KRL di Jakarta," ujar lelaki berumur menjelang kepala tujuh ini. 

Semasa bekerja, dia biasa dimanjakan oleh kendaraan pribadi dan kendaraan dinas. Dan dia terangguk-angguk bahagia menikmati perjalanan yang dimulai subuh dari rumah hingga tiba lagi sekitar pukul 22.30.

Itu bagian perjalanan nikmatnya. Anggota yang baru pertamakali ikut kegiatan komunitas ini berdegup hati, melihat ternyata "bis"  yang disediakan panitia berupa mobil Elf, mobil angkutan khas di daerah, tanpa AC tentu saja. Berhimpitan, kepanasan, terguncang-guncang, melalui kelokan-kelokan ekstrim, mendaki dan menurun tajam selama hampir 2 jam. 

Elf berlari kencang menuju Desa Ciboleger, pintu gerbang masuknya ke pemukiman Suku Baduy Luar dan Suku Baduy Dalam, yang terletak di Banten, tepatnya di perbukitan Gunung Kendeng, sekitar 75 kilometer arah selatan Rangkasbitung. Tapi tak ada yang mengeluh. Semua bertahan, mempersiapkan diri makan nasi bungkus yang disediakan di atas elf. Tak ada waktu berhenti untuk sekedar makan pun.

dokpri
dokpri
dokpri
dokpri
Dari gerbang desa Ciboleger inilah medan sesungguhnya  yang harus ditempuh oleh anggota yang rata-rata berumur 60 - 70 tahun ke atas ini. 

Semua diberi kesempatan untuk menggunakan toilet umum, karena 4 hingga 5 jam ke depan, keinginan buang hajat di toilet akan menjadi sesuatu yang mewah. 

Tentu saja tak ada toilet di hutan. Namun ternyata ada hadiah, di Baduy ada sebuah gubuk berisi bebatuan dengan saluran bambu yang mengalirkan air dari sungai, berfungsi sebagai toilet, hanya untuk buang air kecil.

dokpri
dokpri
Meniru Urang Kanekes, demikian suku ini juga biasa dipanggil, rombongan  berjalan "Babaduyan", yakni cara berjalan masyarakat Baduy yang berjalan berbaris seorang demi seorang, seperti antri, dimana pun, kendati jalan yang dilalui amat lebar. 

Kebiasaan ini tetap  mereka lakukan di kota besar, jika mereka akan bersilaturahmi dengan sanak keluarga di kota besar atau menjual hasil bumi, serta kerajinan tenun ke kota. Urang Kanekes terkenal sebagai suku yang hemat dan gemar berjalan kaki. Ini pelajaran pertama bagi orang kota.

dokpri
dokpri
Agar tidak kehilangan anggota di hutan, anggota dibagi menjadi 5 regu, dengan masing masing komandan regu. Tersebab rombongan besar ini belum saling mengenal, hanya komandan regu yang diperbolehkan menggunakan topi merah, hingga bisa terlihat dari kejauhan. 

Perjalanan  mendaki dan menurun dengan kemiringan 15 sampai 30 bahkan hingga 45 derajat ini, membukakan sebuah kesadaran baru. 

Ini penyebab sungguh sulit  mencari orang obesitas di Baduy. Perjalanan jauh, berliku, menanjak, menurun, membuat suku baduy tak sempat menimbun lemak di tubuh mereka. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa hingga kaum sepuh, semua langsing. 

dokpri
dokpri
Sementara ketika orang-orang kota ini terkapar menumpang istirahat di bale bambu, penduduk berlalu lalang memikul kayu, papan, kelapa, pisang, dengan formasi  berbaris tegap, tanpa deru nafas memburu. Bahkan  anak anak berlarian dengan riang dan enteng, beberapa tanpa alas kaki.

"Waktu naik, tas pinggang saya ketat di perut. Lihat, setelah turun dari Baduy, tasnya longgar. ," ujar Yanthy Nugroho, menunjukan perutnya yang mendadak langsing hanya dengan sekali perjalanan pulang pergi ke jembatan kayu, jembatan batas antara  Suku Baduy Dalam dan Luar.

dokpri
dokpri
Selain langsing,  perempuan suku baduy tampak cantik menarik. Kulit mereka bersih dan halus. Alam yang bersih memberikan karunia ini pada mereka. Orang-orang Baduy adalah orang orang yang bahagia. Mereka tidak terpenjara oleh harta. 

dokpri
dokpri
dokpri
dokpri
Kesederhanaan dan kesetaraan diperlihatkan dalam keseharian. Mereka menggunakan pakaian sehari-hari yang selalu sama, alias seragam. Suku Baduy Luar, biasa menggunakan atasan hitam dengan padu padan kain biru khas Baduy. Sementara suku Baduy Dalam menggunakan atasan berwarna putih. Dua warna ini memudahkan membedakan mereka dari suku baduy mana.

dokpri
dokpri
dokpri
dokpri
"Tinggalkan Kenangan Boleh, Tinggalkan Sampah Jangan". Sebuah  peringatan yang digantung di sebuah balai  peduduk ini, tentu saja ditujukan bagi orang kota. Penduduk Suku Baduy  terkenal bersih dan resik. Halaman-halaman rumahnya rapi. 

Memasuki rumah salah seorang penduduk Baduy Luar untuk makan bersama, terasa kebersihan itu. Tak banyak barang yang mereka miliki, membuat balai rumah mereka mudah dibersihkan.Sejalan dengan intruksi ketua rombongan untuk membawa pulang sampah pribadi dalam ransel masing masing.

dokpri
dokpri
Rombongan Pemangku merupakan rombongan yang unik, agak berbeda dengan rombongan lain yang biasa menjelajahi atau melakukan treking ke pedalaman ini. Betapa tidak, umumnya  rombongan lain adalah kaum muda yang masih sehat dengan kekuatan stamina prima. 

Seperti rombongan mahasiswa jurusan Jurnalistik Universitas Islam Negeri ( UIN) Bandung yang sedang menginap di sana. Kekuatan remaja mereka mendukung pencapaikan treking ini. Mereka menginap, hingga memberi waktu bagi tubuh untuk mengembalikan stamina saat pulang keesokan harinya.

dokpri
dokpri
Sebaliknya  rombongan Pemangku, selain berumur  60 tahun ke atas, hanya hitungan sebelah jari yang  berusia kepala 5, perjalanan ditempuh tanpa menginap. Membuat trek ini tergolong berat. Semua "menghemat lutut dan nafas" , menempuh perjalanan dengan menyesuaikan kapasitas kesehatan masing-masing.

"Dari alat monitoring heart beat saya, tercatat maksimal 108 beat per menit, masih di bawah target heart-beat yang saya capai dalam setiap latihan, yaitu maksimal  130. Saya tidak terlalu ngoyo untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan," ujar Wahjudi Jude. Kendati demikian, Wahjudi salah satu peserta tercepat menyelesaikan treking.

dokpri
dokpri
dokpri
dokpri
Dari 53 peserta,  hanya 6 orang yang memutuskan tidak menyelesaikan perjalanan secara keseluruhan. Ke enam orang tersebut menunggu di pos berbeda. Setelah beristirahat secukupnya, mereka kembali turun, menunggu di desa Ciboleger.Masih ada stamina yang harus dijaga untuk tubuh, kembali diguncang  mobil elf ke arah Stasiun Rangkas Bitung untuk makan malam, sebelum pulang ke kota.  

dokpri
dokpri
Dengan uang iuran 150 ribu rupiah itu, sudah diperoleh tiga kali makan, sewa tongkat, tiket masuk, suvenir berupa petai dan untuk membayar guide. Uang yang tersisa dibagikan kembali ke peserta masing-masing lima ribu rupiah, alias cashback.
dokpri
dokpri
Treking ini pun merupakan simbiosa mutualisme. Orang kota menumpang menghirup oksigen bersih di sana. Remaja  Baduy mengulurkan bahu  untuk jasa mengangkut ransel. Ransel memang bertambah berat. Gula aren alami sungguh menggoda untuk dibawa pulang. Ada pula madu hutan. Kain tenun. Sebuah treking yang layak direkomendasikan bagi siapapun.  Curilah ilmu dari Suku Baduy, agar selalu bersyukur dan bahagia. (Uci Anwar)
dokpri
dokpri
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun