Mau apa piknik ke Baduy ? Sungguh sulit menjawab pertanyaan seorang teman. Lagipula yang dilakukan 53 orang di bawah naungan Komunitas Pemangku ( Pemakai Angkutan Umum) tanggal 4 Desember 2019 kemarin, bukan piknik biasa. Kata piknik berkonotasi melakukan perjalanan bersenang-senang dengan akomodasi pelayanan, tanpa banyak susah payah.Â
Misalnya anggota berkumpul di depan komplek perumahan, sekolah, atau perkantoran sebagai titik kumpul. Lalu sebuah bis yang bagus dan nyaman menjemput rombongan tersebut, membawanya ke destinasi wisata. Peserta langsung  bersenang-senang.
Mereka bisa memilih naik KRL, busway, gojek, atau angkot  untuk mencapai titik kumpul di Stasiun Kebayoran agar terangkut oleh KRL nomer 1922 pukul 06.08 arah Parung Panjang, Di Parung Panjang berganti kereta arah Rangkasbitung. Yang terlewati rute KRL, bisa memilih naik dari stasiun yang terlewati, seperti Rawa Buntu, Jurangmangu, Bintaro, atau menunggu saja di stasiun Parung Panjang.
"Kedisiplinan waktu dan komitmen ini menyangkut akurasi jumlah peserta, untuk pemesanan makanan dan transportasi oleh penduduk lokal. Detik demi detik memang harus kami perhitungkan dengan teliti. Apalagi menjelang tanggal keberangkatan, tiba-tiba ada perubahan jadwal commuter line, sehingga itenerary dan nomer kereta pun segera disesuaikan lagi," Jelas Ketua Pemangku Iwan BSN.
Semasa bekerja, dia biasa dimanjakan oleh kendaraan pribadi dan kendaraan dinas. Dan dia terangguk-angguk bahagia menikmati perjalanan yang dimulai subuh dari rumah hingga tiba lagi sekitar pukul 22.30.
Itu bagian perjalanan nikmatnya. Anggota yang baru pertamakali ikut kegiatan komunitas ini berdegup hati, melihat ternyata "bis" Â yang disediakan panitia berupa mobil Elf, mobil angkutan khas di daerah, tanpa AC tentu saja. Berhimpitan, kepanasan, terguncang-guncang, melalui kelokan-kelokan ekstrim, mendaki dan menurun tajam selama hampir 2 jam.Â
Elf berlari kencang menuju Desa Ciboleger, pintu gerbang masuknya ke pemukiman Suku Baduy Luar dan Suku Baduy Dalam, yang terletak di Banten, tepatnya di perbukitan Gunung Kendeng, sekitar 75 kilometer arah selatan Rangkasbitung. Tapi tak ada yang mengeluh. Semua bertahan, mempersiapkan diri makan nasi bungkus yang disediakan di atas elf. Tak ada waktu berhenti untuk sekedar makan pun.
Semua diberi kesempatan untuk menggunakan toilet umum, karena 4 hingga 5 jam ke depan, keinginan buang hajat di toilet akan menjadi sesuatu yang mewah.Â
Tentu saja tak ada toilet di hutan. Namun ternyata ada hadiah, di Baduy ada sebuah gubuk berisi bebatuan dengan saluran bambu yang mengalirkan air dari sungai, berfungsi sebagai toilet, hanya untuk buang air kecil.
Kebiasaan ini tetap  mereka lakukan di kota besar, jika mereka akan bersilaturahmi dengan sanak keluarga di kota besar atau menjual hasil bumi, serta kerajinan tenun ke kota. Urang Kanekes terkenal sebagai suku yang hemat dan gemar berjalan kaki. Ini pelajaran pertama bagi orang kota.
Perjalanan  mendaki dan menurun dengan kemiringan 15 sampai 30 bahkan hingga 45 derajat ini, membukakan sebuah kesadaran baru.Â
Ini penyebab sungguh sulit mencari orang obesitas di Baduy. Perjalanan jauh, berliku, menanjak, menurun, membuat suku baduy tak sempat menimbun lemak di tubuh mereka. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa hingga kaum sepuh, semua langsing.Â
"Waktu naik, tas pinggang saya ketat di perut. Lihat, setelah turun dari Baduy, tasnya longgar. ," ujar Yanthy Nugroho, menunjukan perutnya yang mendadak langsing hanya dengan sekali perjalanan pulang pergi ke jembatan kayu, jembatan batas antara  Suku Baduy Dalam dan Luar.
Memasuki rumah salah seorang penduduk Baduy Luar untuk makan bersama, terasa kebersihan itu. Tak banyak barang yang mereka miliki, membuat balai rumah mereka mudah dibersihkan.Sejalan dengan intruksi ketua rombongan untuk membawa pulang sampah pribadi dalam ransel masing masing.
Rombongan Pemangku merupakan rombongan yang unik, agak berbeda dengan rombongan lain yang biasa menjelajahi atau melakukan treking ke pedalaman ini. Betapa tidak, umumnya  rombongan lain adalah kaum muda yang masih sehat dengan kekuatan stamina prima.Â
Seperti rombongan mahasiswa jurusan Jurnalistik Universitas Islam Negeri ( UIN) Bandung yang sedang menginap di sana. Kekuatan remaja mereka mendukung pencapaikan treking ini. Mereka menginap, hingga memberi waktu bagi tubuh untuk mengembalikan stamina saat pulang keesokan harinya.
"Dari alat monitoring heart beat saya, tercatat maksimal 108 beat per menit, masih di bawah target heart-beat yang saya capai dalam setiap latihan, yaitu maksimal  130. Saya tidak terlalu ngoyo untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan," ujar Wahjudi Jude. Kendati demikian, Wahjudi salah satu peserta tercepat menyelesaikan treking.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H