Mohon tunggu...
Mubaidi Sulaeman
Mubaidi Sulaeman Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Islamic Studies UIN Sunan Ampel Surabaya

Magister Agama -Dirasah Islamiyah-UIN Sunan Ampel Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemerintah Ini Bagaimana atau Rakyat Harus Bagaimana?

9 Juli 2020   15:36 Diperbarui: 9 Juli 2020   19:25 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baik dari segi kesehatan, politik, dan ekonomi masyarakat akan membaik dengan adanya Pemilukada pada tanggal 9 Desember 2020 mendatang. Maaf logika ini seolah mengatakan. Apapun kondisi daruratnya kampanye Pemilukada solusinya". Kami harus bagaimana pak Menteri? Kita dilarang "berjudi" oleh pemerintah, tetapi permainan spekulasi para Pejabat sudah menjadi-jadi.

Bukan hanya itu, ada yang lebih absurd lagi dari Kementerian "sebelah" --Kementerian Pertanian- yang melakukan pengumuman tentang produksi masal "kalung anti covid-19", terkesan "dipaksakan" dilaksanakan pada bulan Agustus 2020 mendatang.

Meskipun belum teruji secara klinis, dengan alasan Kementerian tersebut melakukan ini demi membantu percepatan penanggulangan penyebaran virus covid-19 di Indonesia yang semakin hari --ketika telah dideklarasikan memasuki new normal- justru semakin banyak yang terinfeksi virus ini.

Yang menjadi absurd dan banyak menuai kritikan --ingat lho kritikan- dan nyiyiran --cacian yang tidak logis-, yaitu Kementerian tersebut tidak menunjukkan itikad baik secara serius membantu pemulihan kesehatan dan perekonomian masyarakat yang terjepit karena pandemi.

Justru terkesan berpihak kepada pengusaha farmasi besar untuk meraup untung, dengan jalan, "menjual" hasil risetnya kepada perusahaan farmasi untuk diproduksi masal kemudian didistribusikan kepada masyarakat, tentunya dengan membelinya.

Menjadi runyam dan semrawut ketika kritikan yang dilontarkan oleh masyarakat kepada para Kementerian tersebut justru ditanggapi nyiyiran oleh sebagian masyarakat yang lain karena dianggap tidak mau khusnudzon kepada Kementerian tersebut.

Lebih parahnya kritikan tersebut dibalas dengan nyiyiran. "Jangan nyiyir saja, mereka (kementerian tersebut) sedang ikhtiar, apa yang telah kalian berikan kepada Negara untuk mengatasi pandemic covid-19?" baca tulisan Ahmad Abu Rifai di Terminal Mojok, Biar tercerahkan gih.

Kau ini Bagaimana, Katanya ini Negara demokrasi, kalau Pemerintah salah, suruh mengkritik, lantas kenapa harus marah kalau dikritik? Tentu hal ini tidak benar sama sekali. Yang harus dipahami perbedaan nyiyiran dengan kritikan yaitu, nyiyiran hanya menimbulkan kesan "cacian" tanpa dasar logis dan tidak ditemukan fakta --berdasarkan asumsi semata- terhadap objek "nyiyiran".

Tetapi kritikan justru ingin menunjukan hal-hal yang bertentangan akal sehat manusia dalam melihat fakta. Karena kritikan bersifat jujur dan apa adanya, meskipun dibumbui beberapa opini dan argumen, memang terkesan menjatuhkan dan menyakiti hati dari objek yang dikritik. 

Tetapi pada dasarnya justru kritikan merupakan sebuah ekspresi kepedulian untuk menggugah si "objek" kritik untuk segera menyadari kesalahannya, lantas segera mencari solusi.

Kau ini bagaimana, Rakyat kurang sabar bagaimana "coba"? mereka masih bersabar hingga diinjak tengkuknya --istilah Gus Mus dalam puisi di atas"-. Bahkan Effendi Ghozali di Acara ILC pun sampai menerjemahkan kemarahan presiden itu, karena betapa tidak punya perasaanya para Menteri ini. "kayak mantan yang ninggalin pas lagi saying-sayang e".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun