Mohon tunggu...
Mubaidi Sulaeman
Mubaidi Sulaeman Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Islamic Studies UIN Sunan Ampel Surabaya

Magister Agama -Dirasah Islamiyah-UIN Sunan Ampel Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemerintah Ini Bagaimana atau Rakyat Harus Bagaimana?

9 Juli 2020   15:36 Diperbarui: 9 Juli 2020   19:25 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari ini dunia "persilatan" politik Indonesia memanas. Bukan karena adu gagasan tentang penanganan pandemi covid-19 yang "menyehatkan" tetapi justru disebabkan Pemerintah dan para pendukungnya akhir-akhir ini bersikap antipati terhadap kritikan dan hilangnya budaya mendengarkan dengan seksama. Di mana ini mengancam demokrasi di negeri ini. Gawat.

Karena kondisi yang serba "lucu" ini, Najwa Shihab sampai membuat vlog  berjudul "Yang Lucu tapi Tidak Mau Ditertawakan" untuk menggambarkan betapa gawatnya kondisi "darurat humor nan krisis legowo" dalam menerima kritikan para pejabat saat ini.

Padahal karena sifat politik itu "power tends to corrupt", cenderung korup dan menyeleweng maka memang seharusnya dibutuhkan kritik dari semua elemen untuk mengontrolnya, biar tidak menyelewengnya terlalu jauh. FYI, pada dasarnya sekotor apapun, kita tetap membutuhkan politik untuk mengatur jalannya roda kekuasaan di suatu pemerintahan.

 Ada puisi Gus Mus (KH. Ahmad Musthofa Bisri) berjudul "Kau ini Bagaimana atau Aku harus Bagaimana?" yang perlu kita cermati, meski sudah berusia 33 tahun rasanya  masih relevan sampai sekarang, yang menggambarkan rakyat selalu salah di mata Pejabat.

Kau ini bagaimana? kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya
kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kapir.
aku harus bagaimana? kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai

kau ini bagaimana? kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin plan

aku harus bagaimana? aku kau suruh maju, aku mau maju kau serimpung kakiku,
kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku

kau ini bagaimana?kau suruh aku takwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa,
kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya.

aku harus bagaimana? Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya.
aku kau suruh berdisiplin, kau mencontohkan yang lain

kau ini bagaimana? Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara tiap saat. 

kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai
aku harus bagaimana? Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya.

aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya.
kau ini bagaimana? Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah.

kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah
aku harus bagaimana? Aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi. 

aku kau suruh bertanggungjawab, kau sendiri terus berucap wallahu a'lam bissawab.
kau ini bagaimana? Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku 

kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku
aku harus bagaimana? aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah kupilih kau bertindak sendiri semaumu. 

kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu
kau ini bagaimana? kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis.

kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis
aku harus bagaimana?kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah. 

kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja
kau ini bagaimana?aku bilang terserah kau, kau tidak mau 

aku bilang terserah kita, kau tak suka,
aku bilang terserah aku, kau memakiku
kau ini bagaimana? atau aku harus bagaimana?

(KH. Musthofa Bisri, Rembang, 1987).

Semua kelucuan ini berawal dari Presiden Joko Widodo "marah-marah" 18 Juni 2020 kepada para Menterinya, karena dianggap bekerja kurang maksimal dalam menangani pandemi virus covid-19 --bahkan presiden menyebutnya "tidak punya perasaan" melihat kondisi krisis ini-. Hingga menyebabkan beberapa Kementerian bermanuver dengan kesan "kejar target" menunjukkan respon terhadap kemarahan Presiden tersebut.

Ada Menteri Dalam Negeri Jend. Pol. Tito Karnavian yang "terkesan" saking idealisnya mengatakan bahwa Pemilukada serentak 9 Desember 2020 dapat membantu menghambat laju penyebaran virus covid-19.

Dengan rasionalisasi bahwa dengan adanya Pemilukada yang dilakukan di tengah Pandemi covid-19, akan memunculkan gagasan-gagasan baru dari calon kepala daerah untuk mampu mengatasi dampak pandemi ini.

Baik dari segi kesehatan, politik, dan ekonomi masyarakat akan membaik dengan adanya Pemilukada pada tanggal 9 Desember 2020 mendatang. Maaf logika ini seolah mengatakan. Apapun kondisi daruratnya kampanye Pemilukada solusinya". Kami harus bagaimana pak Menteri? Kita dilarang "berjudi" oleh pemerintah, tetapi permainan spekulasi para Pejabat sudah menjadi-jadi.

Bukan hanya itu, ada yang lebih absurd lagi dari Kementerian "sebelah" --Kementerian Pertanian- yang melakukan pengumuman tentang produksi masal "kalung anti covid-19", terkesan "dipaksakan" dilaksanakan pada bulan Agustus 2020 mendatang.

Meskipun belum teruji secara klinis, dengan alasan Kementerian tersebut melakukan ini demi membantu percepatan penanggulangan penyebaran virus covid-19 di Indonesia yang semakin hari --ketika telah dideklarasikan memasuki new normal- justru semakin banyak yang terinfeksi virus ini.

Yang menjadi absurd dan banyak menuai kritikan --ingat lho kritikan- dan nyiyiran --cacian yang tidak logis-, yaitu Kementerian tersebut tidak menunjukkan itikad baik secara serius membantu pemulihan kesehatan dan perekonomian masyarakat yang terjepit karena pandemi.

Justru terkesan berpihak kepada pengusaha farmasi besar untuk meraup untung, dengan jalan, "menjual" hasil risetnya kepada perusahaan farmasi untuk diproduksi masal kemudian didistribusikan kepada masyarakat, tentunya dengan membelinya.

Menjadi runyam dan semrawut ketika kritikan yang dilontarkan oleh masyarakat kepada para Kementerian tersebut justru ditanggapi nyiyiran oleh sebagian masyarakat yang lain karena dianggap tidak mau khusnudzon kepada Kementerian tersebut.

Lebih parahnya kritikan tersebut dibalas dengan nyiyiran. "Jangan nyiyir saja, mereka (kementerian tersebut) sedang ikhtiar, apa yang telah kalian berikan kepada Negara untuk mengatasi pandemic covid-19?" baca tulisan Ahmad Abu Rifai di Terminal Mojok, Biar tercerahkan gih.

Kau ini Bagaimana, Katanya ini Negara demokrasi, kalau Pemerintah salah, suruh mengkritik, lantas kenapa harus marah kalau dikritik? Tentu hal ini tidak benar sama sekali. Yang harus dipahami perbedaan nyiyiran dengan kritikan yaitu, nyiyiran hanya menimbulkan kesan "cacian" tanpa dasar logis dan tidak ditemukan fakta --berdasarkan asumsi semata- terhadap objek "nyiyiran".

Tetapi kritikan justru ingin menunjukan hal-hal yang bertentangan akal sehat manusia dalam melihat fakta. Karena kritikan bersifat jujur dan apa adanya, meskipun dibumbui beberapa opini dan argumen, memang terkesan menjatuhkan dan menyakiti hati dari objek yang dikritik. 

Tetapi pada dasarnya justru kritikan merupakan sebuah ekspresi kepedulian untuk menggugah si "objek" kritik untuk segera menyadari kesalahannya, lantas segera mencari solusi.

Kau ini bagaimana, Rakyat kurang sabar bagaimana "coba"? mereka masih bersabar hingga diinjak tengkuknya --istilah Gus Mus dalam puisi di atas"-. Bahkan Effendi Ghozali di Acara ILC pun sampai menerjemahkan kemarahan presiden itu, karena betapa tidak punya perasaanya para Menteri ini. "kayak mantan yang ninggalin pas lagi saying-sayang e".

Di saat rakyat tidak tahu bagaimana lagi cara mendapatkan uang tetapi tahu semua kebutuhan apa yang harus mereka beli untuk menghadapi situasi krisis ini, justru Ada Kementerian Kesehatan yang dimodali Pemerintah 75 Trilliun, tidak tahu apa yang harus dibeli dan tidak membelanjakannya --karena baru terpakai 1,53 % saja-.

Maka jangan salahkan masyarakat jika nanti bersikap apatis, dan memilih diam tidak mau tahu tentang persoalan bangsa ini. Menurut saya inilah yang dimaksud Najwa Shihab sebagai "alarm" bahaya alam demokrasi kita. Saat ingin tertawa saja "harus waspada" dan mengkritik dianggap "mencaci".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun