Yang menarik adalah apa yang ditampilkan istri sejarawan terkemuka Takashi Shiraishi, penulis buku Zaman Bergerak itu, pada bab VI buku Pahlawan-pahlawan Belia. Saya Sasaki bercerita, menggunakan ilustrasi cerita pendek Pramodeya Ananta Toer “Anak Haram” dalam kumpulan cerpen Cerita dari Blora, bagaimana sosok guru adalah salah satu instrumen penting dalam sang Bapak menjalankan kekuasaan itu. Saya Sasaki ingin mengatakan bahwa menjadi guru adalah hidup di dua dunia yang berbeda. Ia boleh jadi diremehkan di luar ruang kelasnya, baik dalam dalam kehidupan kehidupan sehari-hari berumah-tangga dan lingkungan sekitarnya. Di sana mungkin murid diam-diam balas dendam dengan menertawakannya. Di sisi lain, yang kerapkali tidak diketahui, sosok guru memiliki anggapan bahwa ia adalah “sepandai-pandainya orang”.
Dengan paparan Saya Sasaki, yang melalui cerpen Pram, saya mengira begitu lekatnya peran guru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Itu membuat kita kerapkali mengenang guru-guru dalam catatan sejarah sekolah kita. Mungkin ada berbagai hal yang kita kenang dengan guru sewaktu sekolah dulu. Yang jelas, setiap dari kita selalu memiliki kenangan dengan salah seorang guru. Baik ataupun buruk.
Dengan begini, saya meyakini peran guru begitu penting. Walau saya tak selalu mendefinisikan guru melulu mereka yang berdiri di depan ruang kelas, yang tengah sibuk dengan kapur ataupun papan tulis. Bagi saya, guru adalah siapa saja yang mengajarkan kehidupan. Mungkin juga seekor kuda, misalnya.
Nah, mungkin salah satu cara untuk mengurai silang-sengkarut persoalan pendidikan, dalam rangka menduga masa depan sekolah (entah itu model atau bentuknya), memperbaiki kualitas dan kuantitas seorang guru adalah pintu awal yang sangat mungkin untuk dicoba. Sebab kita sepakat guru adalah instrumen penting dalam pendidikan. Guru tidak bisa diganti dengan robot paling canggih sekalipun. Dengan catatan, sebagaimana saya katakan di atas, pemahaman kita tentang guru haruslah direvisi, bila kita tak sudi mengubahnya. Guru bukanlah jabatan ataupun sebuah karier sepanjang hidup, bila yang bersangkutan tidak mau berkarier sebagai pembelajar yang terus-menerus sepanjang hidup, maka janganlah kita berharap dan bermimpi menjadi guru. Meskipun gaji guru (PNS) sekarang jauh lebih tinggi daripada gaji buruh. Zaman ‘guru adalah Oemar Bakrie’ sudah lama berlalu.
Guru haruslah mengikuti perkembangan zaman. Saya percaya perubahan pendidikan Indonesia mestilah bermula dari perubahan kita memgenai hakikat, fungsi dan peran guru dalam proses belajar-mengajar di sekolah. Dengan begitu, sekolah pun mesti dituntut untuk terus melakukan empowerment bagi guru-gurunya. Konkretnya: revitalisasi Lembaga Penghasil Tenaga Kependidikan (LPTK) adalah jalan keluar paling mendesak hari ini. Misalnya, perketat dan seksama proses penyeleksian mahasiswa kependidikan; agar mereka yang kelak menjadi guru adalah mahasiswa-mahasiswa terpilih dan terbaik, sebab, kata Pram, guru-guru yang baik saja belum tentu menghasilkan murid-murid yang baik, apalagi bila sudah bebal pada dasarnya gurunya…
Bila sudah begini, kualitas dan kuantitas guru yang terpilih dan memadai dihasilkan LPTK, kita akan mendapati sebuah institusi kebudayaan yang dinamis, terus bergerak dan sangat mengedepankan realitas yang dihadapi. Dengan tidak menghilangkan daya kritis dan daya gugatnya. Sebab, bagi saya, daya-kritis dan daya-gugat adalah esensi terpenting dari sebuah proses pendidikan. Di titik itulah guru mengemban sebuah tugas yang maha-mulia; peradaban dan kebudayaan sebuah bangsa ada di ketiaknya…
Hal ini memaksa kita—terutama para guru dan calon guru—, di antaranya, sebagaimana yang dicatat Romo Sindhunata, untuk mengerti bahwa konsep ilmu zaman sekarang mengalami sebuah perubahan yang radikal. Ilmu bukan lagi hanya sekedar yang dipelajari, tapi juga dilibatkan. Artinya, ilmu tak lagi bisa disampaikan hanya dengan “diajar” atau “pengajaran”, tapi juga dengan “dialami” atau “pengalaman”. Mengetahui sesuatu berarti masuk dan berpartisipasi ke dalam sesuatu itu, lalu mengorientasikan diri di dalamnya, mengakrabkan diri dengannya, baru kemudian menyatakan apa yang diketahui. Guru dan murid adalah sebuah subyek, dan realitas sosial adalah objek. Dengan demikian, menurut saya, pengertian guru, sekolah, dan pendidikan yang selamanya kita pahami (atau sepakati secara bisu) tak lagi relevan, percayalah…
Hal ini memaksa kita, misalnya, mengakui bahwa seorang sastrawan dengan karya-karyanya adalah seorang guru bagi pembacanya juga; atau seorang penyair dengan puisinya adalah guru bagi pembacanya yang tekun melacak makna-makna dalam setiap bait dan larik puisinya; atau seorang pemain teater adalah guru bagi penonton setiap lakon-lakonnya.
Jika begitu, lagi-lagi kita menjadi sangsi, bahwa model dan bentuk sekolah masa depan tak lagi sebatas hubungan guru-murid yang dipertemukan saban pagi sampai siang hari dan dipertemukan oleh ruang kelas, lengkap dengan pernak-perniknya. Tapi saya membayangkan, hubungan “guru-murid” itu begitu mesra, intim dan didaktis. Layaknya seseorang yang tengah membaca sebuah novel ataupun puisi dengan khidmat dan takjub. Dengan kata lain, saya berharap sudah saatnya kita tidak lagi memandang sekolah sebagai lembaga pendidikan satu-satunya dalam upaya memproduksi, menanam, dan menumbuhkan nilai-nilai kehidupan yang menjadi pedoman.
Tapi banyak ‘lembaga-lembaga’ lain yang bisa dan mampu melakukan peran dan fungsi tersebut. Dan saya pun berdoa—jika pun sekolah mesti tetap ada—agar sekolah tidak selalu menjadi sebuah lembaga yang membelenggu dengan aturan-aturan birokrasi, yang memaksa sebuah rutinitas yang menjenuhkan. Tapi sekolah menjadi sebuah perjalanan yang begitu mengasikkan; guru dan murid layaknya seorang flaneur yang tengah berkelana ke berbagai belahan dunia; menikmati beragam hal yang menakjubkan, mengerikan hingga hal yang biasa-biasa saja. Begitu pun seharusnya sekolah, saya rasa. Haruslah menumbuh-bentukkan rasa, karsa, dan karya setiap murid dan gurunya.
Ah, jika sudah begini, saya selalu ingin segera mengayuh sepeda keliling kampung sekitar rumah, atau masuk takjub ke dalam keindahan bahasa yang diutarakan oleh berbagai karya sastra. Mungkin memang begitu riwayat hal yang gak penting-penting amat. Ia kerap dilupakan oleh sekerumunan orang, hanya karena hal itu dipandang tak berfaedah atau dirasa semua orang telah mengetahui dan memahaminya; sehingga melakukan hal yang gak penting-penting amat adalah sebuah kemewahan di era ketergesaan-kelekasan-keserbacepatan dan ke-ke-ke… yang lainnya.