Mohon tunggu...
Tyo Prakoso
Tyo Prakoso Mohon Tunggu... Penulis -

Pembaca dan perajin tulisan. Gemar nyemil upil sendiri dan berkegiatan di kedai literasi @gerakanaksara [http://gerakanaksara.blogspot.co.id/], dan penjual buku di Kedai Buku Mahatma [https://www.facebook.com/kedaibukumahatma/]. Surat-menyurat: tyo.cheprakoso0703@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Sekolah Menjadi Hal yang "Gak" Penting-penting Amat....

25 Mei 2016   18:05 Diperbarui: 25 Mei 2016   19:47 1308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Kustiniyati Moctar @Seratus Tahun Haji Agus Salim (Sinar Harapan, 1984)

Pada tahun 1912, seorang pemuda berusia 28 tahun, yang baru saja pulang dari Tanah Suci untuk belajar agama, bekerja di konsulat sebagai penerjemah, dan menunaikan ibadah haji; setibanya di kampung halaman, ia segera meminang kembang-desa yang telah lama dilamarnya. Selepas menikah, pemuda berusia 28 tahun itu berpesan pada kembang-desa itu, yang baru saja resmi menjadi istrinya: banyak-banyaklah berzikir dan membaca...

Saya rasa, itu bukanlah pesan yang diharapkan di malam pertama; percayalah itu bukanlah pesan suami terhadap istri yang biasa-biasa saja. Mungkin ini pesan teramat penting, dan prinsipil. Sebab pemuda itu berharap pada istrinya, kelak ketika mereka memiliki anak, tidak akan disekolahkan di sekolah formal. Anak-anak akan dididiknya sendiri. Mungkin ini awal dari sebentuk kekecewaan atas sebuah formalitas yang bernama sekolah. Karena sekolah seringkali tak sesuai yang diharapkan. Sekolah adalah taman bermain yang batasannya tak pernah kita bisa mengerti. Taman bermain itu biasanya di luar kontrol pengendali sekolah. Mungkin itu alasan mengapa pemuda itu berpesan demikian.

Kemudian kita tahu, pemuda itu adalah Haji Agus Salim, dan kembang-desa itu—istrinya—adalah Zaitun Nahar. Lalu, sejarah pun mencatat, pasangan itu memiliki delapan anak, yakni Theodora Atia, Yusuf Taufik, Violet Hanisah, Maria Zenibiyang, Ahmad Syauket (meninggal dunia pada masa Revolusi), Islam Basari, Siti Asiah, dan Mansur Abdurrahman Sidik. Dan benar saja, kedelapan anak itu tak ada satu pun yang disekolahkan di sekolah formal, semua dididik oleh sang bapak dan ibunya, di rumah. Ya, di rumah.

Mungkin kita bertanya-tanya: mengapa Haji Agus Salim—seorang diplomat cerdas yang mampu menguasai berbagai bahasa asing, menteri luar negeri pertama negara Indonesia dan sahabat terbaik dan orang kepercayaan Soekarno di masa awal Revolusi dalam urusan berdiplomasi—tak ingin menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah formal? Apa karena Haji Agus Salim tak terlalu percaya dengan pendidikan sekolahan? Apa Haji Agus Salim lebih mempercayai konsep sekolah homeschoolingyang akhir-akhir ini telah trendi? Atau memang hanya karena ia memiliki pengalaman buruk dengan sekolah semasa ia remaja dulu, sehingga tak mau menyekolahkan anak-anaknya di sekolah formal?

Saya tidak tahu pasti. Saya menduga bahwa alasan mengapa salah satu orang kepercayaan HOS Tjokroaminoto—pemimpin Sarekat Islam itu, tak menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah formal adalah wujud perhatian dan cintanya terhadap keluarganya. Ia tidak mau keluarga, termasuk istri dan anak-anaknya, terpengaruh oleh pikiran dan kebudayaan penjajah. Itu dicatat oleh Kustiniyati Moctar dalam bukunya Seratus Tahun Haji Agus Salim(Sinar Harapan, 1984). 

Mungkin yang dimaksud Haji Agus Salim sebagai ‘terpengaruh oleh pikiran dan kebudayaan penjajah’ adalah sebuah refleksi atas pengalamannya semasa belajar di sekolah pemerintah kolonial; diskriminasi antara orang berkulit putih dan bukan, penjajah dan dijajah; anak priyayi dan anak petani; begitu kontras dan mencolok. Bahkan hal itulah yang diprioritaskan dan dilanggengkan dalam sistem pendidikan kolonial Belanda. Misalnya hanya kalangan tertentu yang berhak dan pantas menggunakan bahasa Belanda, padahal sebagian besar ilmu pengetahuan termaktub di buku-buku yang berbahasa Belanda. Saya rasa Haji Agus Salim paham betul mengenai ini; itu alasan mengapa Haji Agus Salim menguasai begitu banyak bahasa asing.

Haji Agus Salim menginginkan keluarganya berkepribadian seperti apa yang ia harapkan; menjadi manusia yang sederhana dan berbakti pada bangsa dan negara, serta menjunjung ilmu pengetahuan dan mengamalkan agama Islam sebagai pedoman hidup: sebuah harapan yang ia tidak yakin bisa ditanamkan di sekolah formal (baca: sekolah kolonial Belanda). Haji Agus Salim mengakui, memang tidak semuanya apa yang diajarkan ‘penjajah’ (baca: sekolah kolonial Belanda) itu buruk. Tapi ia tidak terlalu yakin dengan apa yang disebut dengan sekolah. Sebab, sekolah bagi Haji Agus Salim, seharusnya adalah rumah bagi siswa-siswanya, bukan malah menjadi penjara. Oleh karena itu ia sepakat dengan sahabatnya, Ki Hadjar Dewantara; sekolah adalah taman; sekolah adalah membebaskan; lahir dan batinnya.

Sementara itu, sebagai pengganti sekolah, di rumahnya, Haji Agus Salim mengajarkan tulis-baca, bahasa asing, budi pekerti, sejarah, ilmu bumi dan pelajaran agama. Untuk bahan ajar—selain koleksi buku-bukunya yang bejibun—Haji Agus Salim seringkali secara khusus mencari buku-buku bahan ajar ke toko buku loak, atau bila mendapat kabar salah seorang kawan sedang pergi ke luar negeri ia akan meminta tolong untuk mencarikan buku pelajaran; dan Sjahrir dan Hatta adalah dua orang yang seringkali diberikan ‘tugas’ itu. Dengan referensi buku yang beragam dan bejibun itu, ditambah diajar langsung oleh seorang Agus Salim—yang menurut salah satu surat Kartini pada tahun 1898; salah satu pemimpin pribumi yang tercerahkan dan mencerahkan—dengan pengetahuan yang luas, kita bisa membayangkan bagaimana proses belajar di rumah Haji Agus Salim, tentu sangat mengasikkan.

Haji Agus Salim juga mendidik dengan sifat kritis dan korektif. Artinya, ia selalu menghargai sebuah pendapat dan argumentasi yang diajukan oleh anak-anaknya. Haji Agus Salim membawa sebuah kegiatan belajar-mengajar menjadi sebuah dialogis yang mengasikkan. Yang menurutnya, itu mungkin tak didapatkan anak-anaknya bila bersekolah di sekolah formal. Sebagaimana kita ketahui, sekolah kerap diasosiasikan sebagai hal-hal yang menyeramkan, layaknya rumah hantu atau taman pemakaman. Tak terkecuali pada masa di mana Haji Agus Salim dan anak-anaknya tumbuh.

Membaca apa yang sudah dilakukan oleh Haji Agus Salim terhadap keluarganya, terutama anak-anaknya, mengenai pendidikan puluhan tahun yang lalu itu, mungkin ada baiknya kita merenungi pula: apa ‘sekolah’ masih relevan untuk hari ini dan masa depan? Jika iya, bagaimana model dan bentuk sekolah itu?

Lagi-lagi saya tidak tahu. Yang saya tahu, sekitar 30 puluhan tahun lalu, Ivan Illich (1926-2002), pemikir kelahiran Vienna, Austria itu, sudah mengingatkan perlunya kita melakukan—meminjam istilah budayawan-cum-sastrawan Romo Sindhunata mengenai konsep pendidikan Illich—‘de-sekolah-isasi masyarakat’ atau deschooling society. Memang, ada nada skeptis Illich di sini. Illich tak melihat kegunaan sekolah bagi hidup ‘sesungguhnya’ dalam bermasyarakat. 

Bagi Illich, sekolah layaknya dunia aneh di tengah masyarakat yang begitu lekat terhadap realitas. Artinya, bagi Illich, sekolah mendistorsikan realitas masyarakat. Meskipun banyak salah-kaprah dan gagal-paham mengenai gagasan deschooling society-nya Illich; dikiranya Illich berupaya menegasikan sekolah. Saya rasa, Illich hanya berupaya mereinterpretasikan pemahaman kita tentang sekolah; bahwa sekolah bukanlah satu-satunya lembaga pendidikan yang sakral, Illich berharap ada altenatif yang bisa dan mampu memerankan fungsi sekolah pada masyarakat.

Di titik ini, kita tahu bahwa satu abad sebelum Illich mengemukakan gagasannya Haji Agus Salim telah mahfum perihal itu, bahkan ia mempraksiskan apa yang dikemukan Illich. Saya mengerti, kita memang kerap silau dengan segala sesuatu yang datang dari barat, padahal selama ini matari terbit di timur. Percayalah…

Bagi Haji Agus Salim sekolah memang sangat memperhatikan. Tapi—dalam konteks Indonesia 70 tahun yang lalu—ia masih mempercayai akan kegunaan sekolah bagi kehidupan bangsa dan negara, terlebih bagi bangsa yang baru saja merdeka seperti Indonesia. Haji Agus Salim selalu percaya—sama seperti para pendiri Republik kita yang lainnya—bahwa hanya pendidikanlah yang mampu membawa Indonesia sampai di tujuan dari Revolusi Indonesia 1945. Bukankah proklamasi 17 Agustus 1945 hanyalah jembatan emas menuju kesejahteraan Indonesia?

Di titik ini kita bisa berimaji: apa jadinya Indonesia tanpa sekolah? Tanpa ritual yang memualkan—meskipun kalau dipikir-pikir lucu juga; seperti upacara bendera saban hari Senin, memakai seragam yang berwarna ngejreng itu dan kita harus berbaris secara rapi dan menyanyikan lagu kebangsaan ketika bendera merah putih dikibarkan, hingga penerimaan raport setiap akhir semester.

Mungkin tanpa kita sadari, sekolah bagai burung merpati; malu-malu tapi mau. Jika sangsi, coba luangkan waktu untuk mengenang masa sekolah dulu: saat begitu malasnya kita bersekolah, namun (entah karena dipaksa orang tua atau keinginan diri sendiri untuk bermain-main dengan teman sekelas) kita tetap juga melangkahkan kaki saban pagi untuk menuju ruang kelas.

Di titik ini saya malu sendiri, saya ingat Zen RS; memang sekolah itu penting, tapi gak penting-penting amat sih

Kita tidak seradikal Haji Agus Salim atau Illich, memang.

Pernyataan sekolah gak penting-penting amat—sebagaimanapun ngenyek-nya—haruslah dilihat secara positif, setidaknya didaktis. Setidak-tidak juga, adalah upaya kita untuk terus memikirkan masa depan sekolah. Entah bagaimana bentuk dan rupa sekolah itu. Tapi setidaknya, kita perlu merenunginya lagi. Terlebih di saat sekolah (secara lebih umum, Pendidikan) diguncang dan dipertanyakan kembali. Sebagai salah satu lembaga di mana nilai-nilai berkehidupan itu diproduksi, ditanam, dan akhirnya tumbuh menjadi sebuah pedoman. Selain terus menggali pengetahuan. Dan terus menggugatnya.

Abad ke-21 adalah abad di mana wacana hidup manusia dibuka selebar-lebarnya. Wacana itu begitu menyebalkan, ia berupa informasi. Dan setiap detik berbagai informasi yang datang secara tidak sopan di hadapan kita. Semau-maunya. Kita pun dipaksa untuk memilih. Memang harus memilih. Bila tidak, kita akan tersesat di hutan informasi yang menyesatkan itu.

Saya jadi ingat sebuah penelitian pendidikan di Jerman yang dibuat oleg Delphi-Bewegung yang saya baca dalam salah satu tulisan Romo Sindhunata, menyebutkan makin wacana kehidupan (baca: informasi) itu luas, makin orang sadar bahwa dirinya lemah dan tak berdaya. Secara ironis, hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang pernah didapati seseorang lewat pendidikan, ternyata tak dapat membantu apa-apa. Singkatnya, memang benar ada yang salah dengan pendidikan kita, dan itu kita ketahui bersama. Namun, bagaimana cara mengurainya?

Entah mengapa saya teringat buku Pahlawan-pahlawan Belia (KPG, 2001) karangan Saya Sasaki Shiraishi. Buku itu bercerita tentang bagaimana sebuah kekuasaan (baca: negara) dijalankan selayaknya sebuah keluarga; dengan ‘Bapak’ sebagai pusat setiap kebijakan dan keputusan keluarga, dan anggota keluarga lainnya harus patuh mengikuti.

Yang menarik adalah apa yang ditampilkan istri sejarawan terkemuka Takashi Shiraishi, penulis buku Zaman Bergerak itu, pada bab VI buku Pahlawan-pahlawan Belia. Saya Sasaki bercerita, menggunakan ilustrasi cerita pendek Pramodeya Ananta Toer “Anak Haram” dalam kumpulan cerpen Cerita dari Blora, bagaimana sosok guru adalah salah satu instrumen penting dalam sang Bapak menjalankan kekuasaan itu. Saya Sasaki ingin mengatakan bahwa menjadi guru adalah hidup di dua dunia yang berbeda. Ia boleh jadi diremehkan di luar ruang kelasnya, baik dalam dalam kehidupan kehidupan sehari-hari berumah-tangga dan lingkungan sekitarnya. Di sana mungkin murid diam-diam balas dendam dengan menertawakannya. Di sisi lain, yang kerapkali tidak diketahui, sosok guru memiliki anggapan bahwa ia adalah “sepandai-pandainya orang”.

Dengan paparan Saya Sasaki, yang melalui cerpen Pram, saya mengira begitu lekatnya peran guru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Itu membuat kita kerapkali mengenang guru-guru dalam catatan sejarah sekolah kita. Mungkin ada berbagai hal yang kita kenang dengan guru sewaktu sekolah dulu. Yang jelas, setiap dari kita selalu memiliki kenangan dengan salah seorang guru. Baik ataupun buruk.

Dengan begini, saya meyakini peran guru begitu penting. Walau saya tak selalu mendefinisikan guru melulu mereka yang berdiri di depan ruang kelas, yang tengah sibuk dengan kapur ataupun papan tulis. Bagi saya, guru adalah siapa saja yang mengajarkan kehidupan. Mungkin juga seekor kuda, misalnya.

Nah, mungkin salah satu cara untuk mengurai silang-sengkarut persoalan pendidikan, dalam rangka menduga masa depan sekolah (entah itu model atau bentuknya), memperbaiki kualitas dan kuantitas seorang guru adalah pintu awal yang sangat mungkin untuk dicoba. Sebab kita sepakat guru adalah instrumen penting dalam pendidikan. Guru tidak bisa diganti dengan robot paling canggih sekalipun. Dengan catatan, sebagaimana saya katakan di atas, pemahaman kita tentang guru haruslah direvisi, bila kita tak sudi mengubahnya. Guru bukanlah jabatan ataupun sebuah karier sepanjang hidup, bila yang bersangkutan tidak mau berkarier sebagai pembelajar yang terus-menerus sepanjang hidup, maka janganlah kita berharap dan bermimpi menjadi guru. Meskipun gaji guru (PNS) sekarang jauh lebih tinggi daripada gaji buruh. Zaman ‘guru adalah Oemar Bakrie’ sudah lama berlalu.

Guru haruslah mengikuti perkembangan zaman. Saya percaya perubahan pendidikan Indonesia mestilah bermula dari perubahan kita memgenai hakikat, fungsi dan peran guru dalam proses belajar-mengajar di sekolah. Dengan begitu, sekolah pun mesti dituntut untuk terus melakukan empowerment bagi guru-gurunya. Konkretnya: revitalisasi Lembaga Penghasil Tenaga Kependidikan (LPTK) adalah jalan keluar paling mendesak hari ini. Misalnya, perketat dan seksama proses penyeleksian mahasiswa kependidikan; agar mereka yang kelak menjadi guru adalah mahasiswa-mahasiswa terpilih dan terbaik, sebab, kata Pram, guru-guru yang baik saja belum tentu menghasilkan murid-murid yang baik, apalagi bila sudah bebal pada dasarnya gurunya…

Bila sudah begini, kualitas dan kuantitas guru yang terpilih dan memadai dihasilkan LPTK, kita akan mendapati sebuah institusi kebudayaan yang dinamis, terus bergerak dan sangat mengedepankan realitas yang dihadapi. Dengan tidak menghilangkan daya kritis dan daya gugatnya. Sebab, bagi saya, daya-kritis dan daya-gugat adalah esensi terpenting dari sebuah proses pendidikan. Di titik itulah guru mengemban sebuah tugas yang maha-mulia; peradaban dan kebudayaan sebuah bangsa ada di ketiaknya…

Hal ini memaksa kita—terutama para guru dan calon guru—, di antaranya, sebagaimana yang dicatat Romo Sindhunata, untuk mengerti bahwa konsep ilmu zaman sekarang mengalami sebuah perubahan yang radikal. Ilmu bukan lagi hanya sekedar yang dipelajari, tapi juga dilibatkan. Artinya, ilmu tak lagi bisa disampaikan hanya dengan “diajar” atau “pengajaran”, tapi juga dengan “dialami” atau “pengalaman”. Mengetahui sesuatu berarti masuk dan berpartisipasi ke dalam sesuatu itu, lalu mengorientasikan diri di dalamnya, mengakrabkan diri dengannya, baru kemudian menyatakan apa yang diketahui. Guru dan murid adalah sebuah subyek, dan realitas sosial adalah objek. Dengan demikian, menurut saya, pengertian guru, sekolah, dan pendidikan yang selamanya kita pahami (atau sepakati secara bisu) tak lagi relevan, percayalah…

Hal ini memaksa kita, misalnya, mengakui bahwa seorang sastrawan dengan karya-karyanya adalah seorang guru bagi pembacanya juga; atau seorang penyair dengan puisinya adalah guru bagi pembacanya yang tekun melacak makna-makna dalam setiap bait dan larik puisinya; atau seorang pemain teater adalah guru bagi penonton setiap lakon-lakonnya.

Jika begitu, lagi-lagi kita menjadi sangsi, bahwa model dan bentuk sekolah masa depan tak lagi sebatas hubungan guru-murid yang dipertemukan saban pagi sampai siang hari dan dipertemukan oleh ruang kelas, lengkap dengan pernak-perniknya. Tapi saya membayangkan, hubungan “guru-murid” itu begitu mesra, intim dan didaktis. Layaknya seseorang yang tengah membaca sebuah novel ataupun puisi dengan khidmat dan takjub. Dengan kata lain, saya berharap sudah saatnya kita tidak lagi memandang sekolah sebagai lembaga pendidikan satu-satunya dalam upaya memproduksi, menanam, dan menumbuhkan nilai-nilai kehidupan yang menjadi pedoman. 

Tapi banyak ‘lembaga-lembaga’ lain yang bisa dan mampu melakukan peran dan fungsi tersebut. Dan saya pun berdoa—jika pun sekolah mesti tetap ada—agar sekolah tidak selalu menjadi sebuah lembaga yang membelenggu dengan aturan-aturan birokrasi, yang memaksa sebuah rutinitas yang menjenuhkan. Tapi sekolah menjadi sebuah perjalanan yang begitu mengasikkan; guru dan murid layaknya seorang flaneur yang tengah berkelana ke berbagai belahan dunia; menikmati beragam hal yang menakjubkan, mengerikan hingga hal yang biasa-biasa saja. Begitu pun seharusnya sekolah, saya rasa. Haruslah menumbuh-bentukkan rasa, karsa, dan karya setiap murid dan gurunya.

Ah, jika sudah begini, saya selalu ingin segera mengayuh sepeda keliling kampung sekitar rumah, atau masuk takjub ke dalam keindahan bahasa yang diutarakan oleh berbagai karya sastra. Mungkin memang begitu riwayat hal yang gak penting-penting amat. Ia kerap dilupakan oleh sekerumunan orang, hanya karena hal itu dipandang tak berfaedah atau dirasa semua orang telah mengetahui dan memahaminya; sehingga melakukan hal yang gak penting-penting amat adalah sebuah kemewahan di era ketergesaan-kelekasan-keserbacepatan dan ke-ke-ke… yang lainnya.

Tapi tunggu dulu, sebelum saya menutup esei ini, saya jadi teringat imbauan salah seorang seniman kampus saya: hati-hati sekolahmu mengganggu pendidikanmu! Dan saya kira imbauan itu sudah disadari oleh Haji Agus Salim satu abad yang lalu.

Ah, kita memang selalu begitu kan; tidak pernah mau belajar dari sejarah. Astaga!

*Tyo Prakoso, Mahasiswa Sejarah UNJ, bergiat di komunitas kedai @gerakanaksara. Buku pertamanya berjudul Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra(2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun