Mohon tunggu...
Tyo Prakoso
Tyo Prakoso Mohon Tunggu... Penulis -

Pembaca dan perajin tulisan. Gemar nyemil upil sendiri dan berkegiatan di kedai literasi @gerakanaksara [http://gerakanaksara.blogspot.co.id/], dan penjual buku di Kedai Buku Mahatma [https://www.facebook.com/kedaibukumahatma/]. Surat-menyurat: tyo.cheprakoso0703@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Sekolah Menjadi Hal yang "Gak" Penting-penting Amat....

25 Mei 2016   18:05 Diperbarui: 25 Mei 2016   19:47 1308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi Illich, sekolah layaknya dunia aneh di tengah masyarakat yang begitu lekat terhadap realitas. Artinya, bagi Illich, sekolah mendistorsikan realitas masyarakat. Meskipun banyak salah-kaprah dan gagal-paham mengenai gagasan deschooling society-nya Illich; dikiranya Illich berupaya menegasikan sekolah. Saya rasa, Illich hanya berupaya mereinterpretasikan pemahaman kita tentang sekolah; bahwa sekolah bukanlah satu-satunya lembaga pendidikan yang sakral, Illich berharap ada altenatif yang bisa dan mampu memerankan fungsi sekolah pada masyarakat.

Di titik ini, kita tahu bahwa satu abad sebelum Illich mengemukakan gagasannya Haji Agus Salim telah mahfum perihal itu, bahkan ia mempraksiskan apa yang dikemukan Illich. Saya mengerti, kita memang kerap silau dengan segala sesuatu yang datang dari barat, padahal selama ini matari terbit di timur. Percayalah…

Bagi Haji Agus Salim sekolah memang sangat memperhatikan. Tapi—dalam konteks Indonesia 70 tahun yang lalu—ia masih mempercayai akan kegunaan sekolah bagi kehidupan bangsa dan negara, terlebih bagi bangsa yang baru saja merdeka seperti Indonesia. Haji Agus Salim selalu percaya—sama seperti para pendiri Republik kita yang lainnya—bahwa hanya pendidikanlah yang mampu membawa Indonesia sampai di tujuan dari Revolusi Indonesia 1945. Bukankah proklamasi 17 Agustus 1945 hanyalah jembatan emas menuju kesejahteraan Indonesia?

Di titik ini kita bisa berimaji: apa jadinya Indonesia tanpa sekolah? Tanpa ritual yang memualkan—meskipun kalau dipikir-pikir lucu juga; seperti upacara bendera saban hari Senin, memakai seragam yang berwarna ngejreng itu dan kita harus berbaris secara rapi dan menyanyikan lagu kebangsaan ketika bendera merah putih dikibarkan, hingga penerimaan raport setiap akhir semester.

Mungkin tanpa kita sadari, sekolah bagai burung merpati; malu-malu tapi mau. Jika sangsi, coba luangkan waktu untuk mengenang masa sekolah dulu: saat begitu malasnya kita bersekolah, namun (entah karena dipaksa orang tua atau keinginan diri sendiri untuk bermain-main dengan teman sekelas) kita tetap juga melangkahkan kaki saban pagi untuk menuju ruang kelas.

Di titik ini saya malu sendiri, saya ingat Zen RS; memang sekolah itu penting, tapi gak penting-penting amat sih…

Kita tidak seradikal Haji Agus Salim atau Illich, memang.

Pernyataan sekolah gak penting-penting amat—sebagaimanapun ngenyek-nya—haruslah dilihat secara positif, setidaknya didaktis. Setidak-tidak juga, adalah upaya kita untuk terus memikirkan masa depan sekolah. Entah bagaimana bentuk dan rupa sekolah itu. Tapi setidaknya, kita perlu merenunginya lagi. Terlebih di saat sekolah (secara lebih umum, Pendidikan) diguncang dan dipertanyakan kembali. Sebagai salah satu lembaga di mana nilai-nilai berkehidupan itu diproduksi, ditanam, dan akhirnya tumbuh menjadi sebuah pedoman. Selain terus menggali pengetahuan. Dan terus menggugatnya.

Abad ke-21 adalah abad di mana wacana hidup manusia dibuka selebar-lebarnya. Wacana itu begitu menyebalkan, ia berupa informasi. Dan setiap detik berbagai informasi yang datang secara tidak sopan di hadapan kita. Semau-maunya. Kita pun dipaksa untuk memilih. Memang harus memilih. Bila tidak, kita akan tersesat di hutan informasi yang menyesatkan itu.

Saya jadi ingat sebuah penelitian pendidikan di Jerman yang dibuat oleg Delphi-Bewegung yang saya baca dalam salah satu tulisan Romo Sindhunata, menyebutkan makin wacana kehidupan (baca: informasi) itu luas, makin orang sadar bahwa dirinya lemah dan tak berdaya. Secara ironis, hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang pernah didapati seseorang lewat pendidikan, ternyata tak dapat membantu apa-apa. Singkatnya, memang benar ada yang salah dengan pendidikan kita, dan itu kita ketahui bersama. Namun, bagaimana cara mengurainya?

Entah mengapa saya teringat buku Pahlawan-pahlawan Belia (KPG, 2001) karangan Saya Sasaki Shiraishi. Buku itu bercerita tentang bagaimana sebuah kekuasaan (baca: negara) dijalankan selayaknya sebuah keluarga; dengan ‘Bapak’ sebagai pusat setiap kebijakan dan keputusan keluarga, dan anggota keluarga lainnya harus patuh mengikuti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun