"Siapa yang pernah sangka atas kehidupan yang tidak diharapkan. Semua mengalir seakan tiba-tiba tanpa celah dan tanpa perencanaan. Beriring waktu kian berlalu, aku tatap di sekelilingku, masih sama dengan hal yang sama menyergap pemikiranku yang masih sangat bingung. Aku tidak tau mengungkapkan apa yang ada dihatiku. Jika aku merindu, aku pasti marah dalam tangisan. Hatiku menolak bibirku spontan menolak, namun nuraniku berbicara lain. Siapa aku sebenarnya? Kenapa aku harus hidup seperti ini? Itu pertanyaan konyol yang bermain dalam pikiranku. Hampir setiap insan mengatakan, Ibu adalah syurga, Ibu adalah malaikat tanpa sayap. Namun aku berpikir lain, tidak ada malaikat tanpa sayap bagiku. Tidak ada syurga bagiku. Sering sekali orang mengatakan, nanti kalau Ibu datang kamu ikut yah dengan Ibu. Hemmm dalam senyum menjijikkan aku meronta, Ibu, Ibu, Ibu hahahahha Ibu adalah satu-satunya wanita yang rela menukar nyawa untuk hidup anaknya. Lantas, sosok Ibu sangat mengerikan dalam hidupku. Kalau benar adanya Ibu dalam hidupku, kenapa harus aku dibiarkan besar tanpanya, kenapa dia rela menukar kebahagiaan dengan menyakitiku. Terkadang aku sendiri pilu saat memanggil saudara Ayahku dengan sebutan, Ibu. Tapi itulah kenyataannya. Setiap hari tanpa sehari pun aku melewati senja yang begitu indahnya. Terkadang senja tampak gelap sehingga menurunkan air dari langit, terkadang senja nampak begitu indah, sehingga melukiskan senyum dari jiwa. Ketika senja mampu mengalah pada malam. Aku pasti sabar mengalah pada rindu."
"Tante, lihatlah Matahari bersinar memancarkan cahaya, namun tidak untukku. Matahari tidak lagi memancarkan sinar untukku. Bahkan Matahari telah terbenam bersama jiwaku."
Elena mendekap gadis itu dengan erat. Elena berharap kehidupan Almayra akan bahagia dengan segala luka yang pernah ia lewati. Rindu ini harus ditunaikan. Jika memang Tuhan membuka hati Ibunya untuk kembali melihat Almayra. Elena sudah begitu ikhlas dan merelekan.
-Tamat-