**
Waktu mungkin bisa menghapus rasa sakit, tapi tidak dengan kenangan. Setiap yang bernama kenangan tentu akan abadi. Meskipun tersimpan di alam bawah sadar, suatu ketika akan muncul ke permukaan jika ada pemantik. Lima tahun setelah kejadian itu, semua kembali normal. Tapi tidak dengan hati, meski Almayra berkaca dan sadar diri.Â
Nenek dari pihak Ibunya beberapa kali berkunjung dan tidak putus berucap hal yang tidak ada kaitan dengan Ibunya. Menitipkan beberapa potong baju-baju murah untuk dipakai Almayra dan Alfatih. Tidak seberapa memang, tapi entah itu dari bentuk kesungguhan atau hanya drama seperti tahun-tahun sebelumnya, semua terlihat tidak begitu jelas di sana.
"Almayra pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik, Bu. Kita harus ikhlas membesarkan dan merawatnya. Dia sekarang tumbuh menjadi gadis cantik."
"Almayra... Kakak May yang sudah setinggi dengan Tante. Apa cita-citamu nanti?" tanya Elena yang sedang menggoreng tempe kesukaan Almayra.
"Cita-citaku dan harapanku adalah mengubur semua kenangan bersama wanita yang bernama Andini," ucap gadis kecil itu dengan wajah datar.
Deg
Seketika Elena menghentikan kegiatannya dan mematikan kompor. Dia menatap serius ke arah gadis kecil itu. Meski dalam hati Elena sangat kecewa dan benci terhadap Andini. Namun setelah dipikir-pikir, tempat terbaik dan ternyaman bagi anak adalah pulang kepangkuan Ibunya.
"Kak, nanti setelah kamu dewasa kamu akan paham. Jadilah pemaaf. Ibu adalah tempat terbaik untuk kita," ucap Elena dengan hati-hati.
"Katanya, Ibu adalah malaikat tak bersayap. Ibu rela menukar nyawanya untuk kebahagiaan anak. Kasih Ibu sepanjang napasnya. Namun, Ibuku tidak satu pun termasuk di dalamnya."
"Tante...!"Â