Mohon tunggu...
Tu Yuda
Tu Yuda Mohon Tunggu... Petani - Belajar adalah sebuah proses perjalanan

ijinkan saya untuk belajar dan jangan lupa dipandu demi kebaikan bersama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kularung Sebuah Rindu dalam Secarik Surat

27 September 2022   07:09 Diperbarui: 28 September 2022   10:02 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixel2013 / 2446 images/ pixabay. com

Secarik kerinduan, dalam dekapan laut

Deburan ombak menemani kesunyian ini , tempat dimana keluh kesah tertumpah tanpa arah. Dermaga tua dengan pemandangan lengkap bangunan termakan jaman, seolah menyapaku ditengah kegundahan jiwa yang membekaskan tanya tentang kehidupan.

17.00 Wita, hujan gerimis...

Samar- samar terlihat perahu kecil di tengah lautan, hingga akhirnya mendekat ke tepian dan ku sapa penuh lantang, Ayaaaah...., benarkah itu ayah ? Ternyata tepat. Caping berwarna kusam melekat erat menemani perjalanannya melaut untuk mencari rejeki demi keluarga tercinta.

"Hai Nak, Ayah telah kembali dan bersyukur, begitu banyak ikan yang bisa Ayah tangkap hari ini.  Perahunya kian menepi dan bersandar di atas hamparan pasir beewarna hitam pekat.

 "Lihat apa yang Ayah dapatkan hari ini, ". Senyumnya seolah memberikan kekuatan bahwa harapan itu ada untuk aku dan keluarga.

Apakah kamu sudah lama menanti, sementara ini hujan, mengapa tidak membawa payung ? Ayah khawatir kamu sakit karena kehujanan. Lihat, pakaianmu telah basah dan tanganmu seolah mengkerut oleh terpaan air hujan, Ayo segera bergegas pulang, " Katanya.

Baik Ayah, Paman dan Bibi penjual ikan telah menanti Ayah sejak siang tadi. Aku akan membawakan hasil tangkapan ayah kepadanya.

"Bagaimana tadi Ayah, apakah Ayah baik- baik saja selama menangkap ikan , mengapa Ayah pergi melaut sementara cuaca seperti ini  tanyaku karena ada khawatir cuaca buruk seketika datang dan bisa saja berakibat fatal.

Tidak ada masalah sedikitpun Nak, Ayah baik- baik saja, jawab Ayah sembari melempar senyum khasnya kepadaku. Sudah, besok Ayah akan melaut kembali, sebaiknya kau cepat hantarkan ikan ini pada Paman dan Bibi penjual ikan. Baik Ayah, jawabku. 

Namun seolah tiada henti perasaan tidak enak kembali menghampiriku, entah apa yang menyebabkan, aku tidak tahu.

04.35 Wita, cuaca nampak tidak bersahabat. Aku keluar kamar dan kudapati ibu sedang memasak di dapur dan akupun bertanya, " Bu apakah ayah sudah berangkat melaut ? Tanyaku perlahan. Sudah Nak, ayahmu telah berangkat pukul 03.00 Wita tadi.

Gemuruh suara angin diluar rumah, semakin mengkhawatirkan perasaanku terhadap ayah. Namun dalam hati doa terbaik agar Ayah baik- baik saja dalam perjalanan senantiasa terucap meskipun rasa itu tidak yakin.


Kenapa kamu diam ? Tanya Ibu menantapku yang tak diduga pandanganku terlihat kosong sembari duduk menatap keluar rumah, betapa cuaca hari ini tidak begitu baik. " Tidak apa- apa Bu, jawabku seolah meyakinkan bahwa firasatku hanya sebuah pemikiran yang tidak sejatinya dapat aku percaya.

Akupun kembali ke kamar dan mata ini tidak bisa terpejam, padahal hari masih gelap, karena aku bangun lebih awal. Hujan semakin deras, perasaanku semakin tidak karuan, hingga ku putuskan untuk pergi ke dermaga dengan payung seadanya.


Nampak berjejer dipinggir laut, perahu- perahu nelayan yang biasa melaut bersama ayah, hari ini terlihat tidak melakukan aktivitas seperti biasanya. Akupun menoleh pada salah satu rumah sahabat ayahku dan aku memberanikan diri untuk bertanya.


Selamat Paman , aku memanggilnya dari luar rumah . Paman pun terdengar menjawab salamku, Iya selamat pagi, siapa itu ? Katanya. Ini aku Paman, ia pun membuka pintu dan melihatku dengan sebagian tubuh basah akibat hujan." Hei hujan- hujan begini kamu mau kemana ? Aku bilang, Ayahku melaut paman, apakah ia sempat mengajakmu pergi juga ?

Tidak, tidak sama sekali. 

Kemarin memang sempat paman bersama dia pergi untuk melaut tapi cuaca buruk seperti ini, memangnya Ayahmu pergi juga ? Tanya Paman balik kepadaku. Dan aku pun mengatakan yang sebenarnya bahwa Ayahku pergi melaut hari ini dan itu yang membuatku semakin khawatir, 

hingga akhirnya...


Pukul 07.15 Wita, salah seorang nelayan melihat perahu terbalik ditengah lautan , dan iapun segara memanggil nelayan lain untuk mencari tahu perahu yang terbalik itu. Dan benar saja, ketika aku mendekat ke bibir pantai dan yang kulihat adalah warna perahu itu, hatiku semakin tidak karuan, " Itu perahu Ayahku, dengan gemetar aku berusaha tetap yakin bahwa ayahku baik- baik saja.

Namun sayang, keyakinan itu meluluh lantakkan jiwa dan hati ini, perahu yang terbalik itu tanpa awak, dan entah dimana Ayahku saat ini. Air mataku tak bisa terbendung, hingga akhirnya Ibu datang dan memelukku penuh erat, iapun tak kuasa menahan kesedihan setelah perahu itu berhasil dibawa ketepian oleh salah seorang nelayan.

Dan sampai akhirnya aku tidak tahu keberadaan Ayah....

Kutulis perasaanku untuk ayah dan ku hayut kelaut, berharap apa yang aku tuliskan untuk Ayah dapat terkabul, sekalipun dalam kenyataan aku tak pernah kembali melihat senyum dan kasih sayangmu Ayah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun