Sejak mulai mengompos, saya jadi sering memerhatikan sampah.
Di pasar, sampah sayur dan buah busuk dibiarkan teronggok begitu saja di pojokan. Daun-daun kering di jalan, serbuk kayu hasil gergajian dan sekam padi, lebih sering dibakar agar tidak berterbangan dan mempercepat pembuangan.
Ah, andaikan mereka tahu... Seberapa besar bahaya zat metana akibat timbunan sampah dan karbon dioksida dari hasil bakaran sampah, untuk ozon bumi. Mungkin mereka (dan saya) akan lebih menyadari pentingnya mengelola sampah, terutama sampah yang kita hasilkan sendiri.
Mengompos telah banyak membawa perubahan bagi diri saya pribadi maupun keluarga.
Kami jadi lebih sadar tentang sampah dan belajar untuk memilahnya. Kami juga sering berbagi tugas untuk mengolah kompos, serta memupuk rasa tanggung jawab pada lingkungan.
1. Belajar memilah sampah
Sebelum mengompos, kami sekeluarga selalu menyatukan sampah di kantong yang sama.
Sisa-sisa makanan, potongan sayur, tulang ayam, bungkus royko, plastik es, semua dimasukkan ke dalam satu kantong untuk kemudian dibuang di tong dekat rumah.
Dalam sehari, kami bisa menyetor dua hingga lima kantong sampah (tergantung frekuensi memasak).
Setelah mengompos, saya mulai membuat dua kantong sampah: 1. sampah yang bisa dikompos (organik), dan 2. sampah yang tidak bisa dikompos (anorganik dan hewani).
Saya jadi kembali belajar tentang bahan apa-apa saja yang boleh dikompos, dan yang tidak. Ternyata tidak semua sampah makanan bisa dimasukkan ke ember komposter.
Tulang ayam dan ikan, misalnya. Sisa produk hewani tidak dianjurkan dikompos karena bisa mengundang belatung. Mereka akan lebih baik bila dimasukkan ke lubang biopori yang terpendam di tanah.
Setelah memilah-memilah sampah, frekuensi penyetoran sampah ke dalam tong pun semakin berkurang. Sekarang, kami hanya menyetor satu hingga dua kantong sampah per harinya.
2. Kegiatan bonding bersama keluarga
Mengompos adalah kegiatan yang membutuhkan kerja sama oleh semua pihak dalam keluarga.
Misalnya, ibu yang aktif memasak harus jadi orang pertama yang memilah sampah: mana yang bisa dikompos dan mana yang tidak.
Sering ibu saya bertanya, “ampas kelapa bisa dimasukkin gak, kak?” atau “koran-koran bisa kan ya?”, “nasi sisa juga bisa?” dan lain sebagainya. Setiap hari, ada saja obrolan terkait sampah yang kami perbincangkan.
Kemudian adik saya bertugas menyetor kantong sampah yang sudah dikumpulkan ibu ke ember komposter.
Saya bertugas mengaduk kompos di setiap minggu. Sedangkan ayah saya membantu mengangkat serta memindahkan karung dan ember komposter ke tempat-tempat yang teduh.
Ayah saya juga sudah memesan untuk pakai kompos tersebut jika sudah jadi nantinya. Ya, beliau suka menanam!
Dengan begini, mengompos jadi ajang edukasi serta kegiatan bonding untuk memperkuat kekompakan dan ikatan emosional dalam keluarga.
3. Memupuk rasa tanggung jawab
Tadinya saya berpikir, tanggung jawab saya terhadap sampah hanya sebatas membayar iuran bulanan yang ditagihkan Pak RT. Saya bayar, petugas sampah mengangkut, dan sudah selesai.
Namun, pandangan itu keliru.
Ibarat menyewa baby sitter, kita tidak mungkin menyerahkan anak-anak begitu saja bukan? Walaupun kita sudah membayar mahal sang pengasuh, kita tetap mengeceknya sebentar-sebentar lewat telepon atau CCTV.
Begitu juga dengan sampah. Setelah membayar petugas pengangkut sampah, kita seharusnya turut mengecek bagaimana keadaan sampah kita di Tempat Pembuangan Akhir/Sampah Terpadu (TPA/TPST).
Apakah sampah-sampah tersebut terurai dengan baik di sana? Apakah sampah-sampah kita tidak membahayakan para pekerja? Atau tidak akan meledak, karena tumpukan gas metana?
Sejak mengompos, saya menyadari bahwa sisa-sisa makanan alias sampah organik memiliki porsi terbesar dalam sampah yang dihasilkan rumah tangga. Sayangnya selama ini saya membiarkannya menumpuk di TPA.
Andaikan saya mengomposnya sejak dulu, pasti kami akan memiliki tabungan media tanam yang banyak, untuk kemudian diisi dengan berbagai tanaman sayur dan buah.
Namun waktu tidak dapat diputar, dan tidak ada waktu terlambat untuk belajar.
Yuk, saya maupun kamu pasti bisa untuk mengompos. Demi menjaga bumi, lingkungan, serta masyarakat yang hidup di sekitar tempat pembuangan sampah.
—
Tutut Setyorinie,
21 Juni 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H