Dengan begini, mengompos jadi ajang edukasi serta kegiatan bonding untuk memperkuat kekompakan dan ikatan emosional dalam keluarga.
3. Memupuk rasa tanggung jawab
Tadinya saya berpikir, tanggung jawab saya terhadap sampah hanya sebatas membayar iuran bulanan yang ditagihkan Pak RT. Saya bayar, petugas sampah mengangkut, dan sudah selesai.
Namun, pandangan itu keliru.
Ibarat menyewa baby sitter, kita tidak mungkin menyerahkan anak-anak begitu saja bukan? Walaupun kita sudah membayar mahal sang pengasuh, kita tetap mengeceknya sebentar-sebentar lewat telepon atau CCTV.
Begitu juga dengan sampah. Setelah membayar petugas pengangkut sampah, kita seharusnya turut mengecek bagaimana keadaan sampah kita di Tempat Pembuangan Akhir/Sampah Terpadu (TPA/TPST).
Apakah sampah-sampah tersebut terurai dengan baik di sana? Apakah sampah-sampah kita tidak membahayakan para pekerja? Atau tidak akan meledak, karena tumpukan gas metana?
Sejak mengompos, saya menyadari bahwa sisa-sisa makanan alias sampah organik memiliki porsi terbesar dalam sampah yang dihasilkan rumah tangga. Sayangnya selama ini saya membiarkannya menumpuk di TPA.
Andaikan saya mengomposnya sejak dulu, pasti kami akan memiliki tabungan media tanam yang banyak, untuk kemudian diisi dengan berbagai tanaman sayur dan buah.
Namun waktu tidak dapat diputar, dan tidak ada waktu terlambat untuk belajar.
Yuk, saya maupun kamu pasti bisa untuk mengompos. Demi menjaga bumi, lingkungan, serta masyarakat yang hidup di sekitar tempat pembuangan sampah.