Setelah mengompos, saya mulai membuat dua kantong sampah: 1. sampah yang bisa dikompos (organik), dan 2. sampah yang tidak bisa dikompos (anorganik dan hewani).
Saya jadi kembali belajar tentang bahan apa-apa saja yang boleh dikompos, dan yang tidak. Ternyata tidak semua sampah makanan bisa dimasukkan ke ember komposter.
Tulang ayam dan ikan, misalnya. Sisa produk hewani tidak dianjurkan dikompos karena bisa mengundang belatung. Mereka akan lebih baik bila dimasukkan ke lubang biopori yang terpendam di tanah.
Setelah memilah-memilah sampah, frekuensi penyetoran sampah ke dalam tong pun semakin berkurang. Sekarang, kami hanya menyetor satu hingga dua kantong sampah per harinya.
2. Kegiatan bonding bersama keluarga
Mengompos adalah kegiatan yang membutuhkan kerja sama oleh semua pihak dalam keluarga.
Misalnya, ibu yang aktif memasak harus jadi orang pertama yang memilah sampah: mana yang bisa dikompos dan mana yang tidak.
Sering ibu saya bertanya, “ampas kelapa bisa dimasukkin gak, kak?” atau “koran-koran bisa kan ya?”, “nasi sisa juga bisa?” dan lain sebagainya. Setiap hari, ada saja obrolan terkait sampah yang kami perbincangkan.
Kemudian adik saya bertugas menyetor kantong sampah yang sudah dikumpulkan ibu ke ember komposter.
Saya bertugas mengaduk kompos di setiap minggu. Sedangkan ayah saya membantu mengangkat serta memindahkan karung dan ember komposter ke tempat-tempat yang teduh.
Ayah saya juga sudah memesan untuk pakai kompos tersebut jika sudah jadi nantinya. Ya, beliau suka menanam!
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!